Thursday, February 18, 2016

Menurut APA, kepercayaan keagamaan menjadi gangguan mental jika....



Lewat kajian yang cukup lama, 5 tahun, APA (American Psychological Association) akhirnya menyatakan sesuatu yang banyak orang selama ini mungkin sudah melihatnya dan juga sudah mengatakannya dengan jelas.

Menurut APA, jika iman dan kepercayaan seseorang kepada Tuhannya membuat orang itu tidak bisa mengambil keputusan yang benar, yang berlandaskan kesadaran moral dan akal sehat dan akal ilmiah, atas banyak soal penting dalam kehidupannya, orang itu harus dikategorikan sedang mengalami gangguan mental. Dalam sikon terkena gangguan mental ini, orang lain (seorang dokter misalnya) dapat mengintervensi untuk menolong orang itu demi kebaikannya dan kebaikan keluarganya. 

APA antara lain menyatakan hal ini:
According to the American Psychological Association (APA), a strong and passionate belief in a deity or higher power, to the point where it impairs one’s ability to make conscientious decisions about common sense matters, will now be classified as a mental illness.
Saya terjemahkan:
Menurut APA, suatu kepercayaan yang kuat dan sangat bergairah pada suatu sosok yang diilahikan atau pada suatu kuasa adikodrati, yang berakibat melumpuhkan kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan-keputusan yang sadar dan benar tentang hal-hal yang lazim menurut akal sehat, kini dapat digolongkan sebagai gangguan mental.
Juga ditulis,
The controversial ruling comes after a 5-year study by the APA showed devoutly religious people often suffered from anxiety, emotional distress, hallucinations, and paranoia. The study stated that those who perceived God as punitive was directly related to their poorer health, while those who viewed God as benevolent did not suffer as many mental problems. The religious views of both groups often resulted in them being disconnected from reality.
Terjemahannya ini:
Keputusan resmi yang kontroversial ini diambil setelah diadakan studi selama 5 tahun. Lewat studi ini ditemukan bahwa orang yang sangat taat beragama seringkali menderita rasa cemas, keresahan emosional, halusinasi, dan paranoia. Studi ini menyatakan bahwa orang yang memandang Allah sebagai Allah penghukum terkait langsung dengan kondisi kesehatan mereka yang lebih buruk, sementara orang yang melihat Allah sebagai Tuhan yang mahapemurah dan mahabaik tidak menderita banyak masalah mental sebanyak orang yang pertama. Pandangan-pandangan keagamaan dua golongan orang ini membuat mereka terputus dari dunia nyata.
Juga ditegaskan hal lain lebih jauh bahwa
Religious belief and the angry God phenomenon has caused chaos, destruction, death, and wars for centuries. The time for evolving into a modern society and classifying these archaic beliefs as a mental disorder has been long overdue. This is the first of many steps to a positive direction.”
Ini terjemahannya:
Kepercayaan keagamaan dan fenomena Allah yang murka dan geram telah menimbulkan banyak kekacauan, kehancuran, kematian, dan perang, selama berabad-abad. Waktunya sudah lama dinanti untuk umat manusia berevolusi masuk ke era modern dan menggolongkan kepercayaan-kepercayaan purba ini sebagai suatu gangguan mental. Ini adalah sebuah langkah pertama dari banyak langkah menuju arah yang positif.
Detail beritanya silakan anda baca sendiri di sini http://tmzworldnews.com/american-psychological-association-classifies-belief-in-god-as-mental-illness/.


 Holy wars are not holy at all!

Jika anda karena agama anda, anda menjadi orang yang lemah-lembut, kalem, relaks, penuh cinta kasih kepada semua manusia tanpa diskriminasi (karena alasan-alasan beda agama, beda aliran, beda orientasi seksual, dst), murah hati, toleran, cinta dan memperjuangkan kedamaian dan persaudaraan, selalu memakai akal sehat, dan cinta ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan dalam kehidupan, dan ikut berjuang mempertahankan kehidupan dan memajukan peradaban, dan terus-menerus makin cerdas dan makin tegar dalam segala suka dan duka, maka jangan khawatir, anda sudah beragama dengan sehat, benar dan cerdas. Anda tidak sedang menderita gangguan jiwa. 

Be happy, relaxed and smart in being religious. Berbahagialah, santailah dan cerdaslah dalam beragama. 

N.B. Berita di atas adalah sebuah satir/sindiranya sindiran yang kena dan dengan memakai argumen yang valid. Mungkin masih diperlukan waktu minimal 5 tahun lagi untuk APA dengan resmi dapat mengambil posisi seperti yang telah dibeberkan dalam satir di atas.

Ok, saya mau lanjutkan. Kenalkah anda dengan neurosaintis dari Universitas Oxford, Inggris, Ms. Prof. Kathleen Taylor? Dia di tahun 2006 pernah menulis sebuah buku yang sangat membantu saya dalam memahami hubungan fanatisme ideologis (religius dan non-religius) dan cuci otak (brainwashing) sebagai sebuah metode mengontrol pikiran orang. Bukunya ini berjudul Brainwashing: The Science of Thought Control (2006). Bukunya yang mutakhir juga sangat berguna dalam kajian fenomena keagamaan, berjudul The Brain Supremacy.

Dalam kesempatan ceramah di Hay Literary Festivals di Wales, 2 Juni 2013, Ms. Kathleen Taylor menyatakan hal berikut ini: 
One of the surprises may be to see people with certain beliefs as people who can be treated. Someone who has for example become radicalized to a cult ideologywe might stop seeing that as a personal choice that they have chosen as a result of pure free will and may start treating it as some kind of mental disturbance.”/*/
Saya terjemahkan:
Salah satu hal yang mengejutkan bisa jadi adalah melihat orang yang menganut kepercayaan-kepercayaan tertentu sebagai orang yang dapat diobati. Seseorang yang, misalnya, menjadi radikal saat dia masuk ke suatu ideologi kultiskita dapat tidak lagi memandangnya sebagai satu pribadi yang dengan kehendak bebasnya yang murni telah memilih sendiri apa yang dia telah pilih. Kita perlu mulai memandangnya sebagai seorang yang sedang terkena sejenis gangguan mental. 
Ms. Kathleen Taylor bukan saja mengarahkan pandangannya itu ke para radikalis Muslim, tetapi juga ke banyak praktek yang dilakukan orang Barat juga. Bacalah sendiri pendapat-pendapatnya yang mencerahkan di sini: http://m.digitaljournal.com/article/351347#ixzz40X9wLrlu.

Note:
/*/ Lihat Johnthomas Didymus, Religious fundamentalism could soon be treated as mental illness, Digital Journal, 2 June 2013, pada http://www.digitaljournal.com/article/351347#ixzz40X9wLrlu

Jakarta, 18 Februari 2016
ioanes rakhmat