Monday, October 26, 2015

Akar-akar moralitas



Di manakah moralitas berakar? 


TANYA-JAWAB

- Pak, untuk menjadi orang baik, apakah beragama satu-satunya jalan?

+ Ya, ada orang yang karena ajaran-ajaran agama mereka berhasil menjadi orang baik. Itu bagus. Dalam hal ini, agama menjadi jalan menuju kebaikan, bahkan juga jalan menuju keagungan. Tetapi, jangan lupa, juga ada sangat banyak orang yang beragama, karena ajaran-ajaran agama, malah menjadi orang yang bejat dan tidak bermoral.

- Masak sih Pak? Apa ada ajaran agama yang akan membuat orang jadi tidak baik?

+ Ya ada. Tidak semua ajaran agama itu, jika diikuti apa adanya, akan menghasilkan orang baik. “Baik” di sini dalam arti berguna dan bermanfaat positif bagi sesama manusia, sesama makhluk, peradaban, dan dunia ini dengan segala kemajemukannya.

- Ya, Pak, saya setuju bahwa beragama saja memang tidak cukup untuk menjadikan orang baik. Saya sudah melihat fakta-faktanya. Apakah dengan demikian, pilihannya adalah menjadi ateis supaya manusia menjadi baik?

+ Ada orang ateis yang berhasil menjadi orang baik, bahkan menjadi sosok dunia yang agung, sekalipun mereka tidak beragama. Tetapi, jangan lupa, ada juga banyak orang ateis yang bejat dan tidak bermoral.

- Jadi?

+ Ya, baik teisme maupun ateisme, sama-sama punya peluang untuk menjadikan orang baik dan juga untuk menjadikan orang tidak baik. Yang satu tidak melebihi yang lain. Teisme dan ateisme bukan obat mujarab yang magis, yang pasti dengan cespleng akan menjadikan orang baik. Tidak ada obat magis dalam dunia ini. Jika orang ateis memandang ateisme sebagai obat mujarab yang magis, maka mereka telah menempatkan ateisme di posisi agama, sebab hanya agama yang mengklaim diri sendiri sebagai obat mujarab dan magis bagi semua penyakit.

- Oh begitu ya Pak. Jadi, jika agama-agama bisa gagal menjadikan orang baik, ateisme ternyata juga bukan sebuah alternatif yang bagus.

+ Ya, saya sudah menemukan, ateisme juga kini sedang menjadi sebuah penjara baru setelah orang melepaskan agama-agama yang mereka pandang sebagai penjara. Para ateis dewasa ini, saya temukan, sedang terpenjara dalam kebencian terhadap agama-agama (dinamakan religiofobia) dan dalam penolakan kuat terhadap iman atau kepercayaan (dinamakan fidofobia). Padahal faktanya adalah agama-agama, iman dan kepercayaan adalah juga bagian dari kehidupan kita yang sehat dan normal. Ada banyak hal yang baik yang dapat diberikan agama-agama, iman dan kepercayaan, di samping tentu saja hal-hal yang tidak baik.

- Jadi, mereka keluar dari penjara lama agama-agama hanya untuk masuk lagi ke dalam sebuah penjara baru ateisme?

+ Tepat!

- That’s fine! Pak, sebagai orang Kristen yang sudah dilahirkan kembali oleh Roh Kudus, boleh saya tawarkan sesuatu kepada Bapak?

+ Silakan.

- Begini Pak. Hemat saya, semua agama tidak akan berhasil menjadikan orang baik, juga agama Kristen. Yang saya yakini, hanya Yesus pribadi saja yang bisa mengubah orang, dari jahat menjadi baik, lewat Roh-nya yang akan diberikan kepada setiap orang yang mau percaya dan beriman kepadanya, dan menjadi bagian dari komunitas yang didirikan-Nya, yang terus bermetamorfosa.

+ Loh, bukankah Yesus kini juga bagian dari agama Kristen? Apa bisa Yesus diceraikan dari agama Kristen yang sekarang ini terdiri atas sangat banyak aliran? Apakah bisa Yesus bicara sendiri tanpa memakai aliran-aliran agama Kristen yang anda katakan terus berubah?

- Sangat bisa, Pak. Yesus itu jauh lebih besar dari agama Kristen aliran apapun, dan tidak bisa dikuasai oleh satu aliran Kristen apapun. Yesus itu pribadi yang hidup, dan tidak bisa dibatasi dalam kekristenan aliran apapun. Yesus sanggup muncul sendiri sebagai sang Pria kemilau berjubah putih, langsung ke orang yang sedang membutuhkannya, lalu menyampaikan firman-firman-Nya. Atau sebagai sosok insan yang dibuat menderita oleh para pembenci Yesus.

+ Hemat saya, jika kamu melihat Yesus hadir sebagai sosok kemilau berjubah putih dan berbicara kepadamu, kamu mengalami halusinasi. Pemicunya neurologis, ada pada lobus temporalis organ otakmu. Jangan salah, terlepas dari fakta real yang empiris, halusinasi tentang Yesus sedemikian rupa juga punya fungsi positif untuk menguatkan mental para pengikut-Nya. 

- Gaak begitu, Pak. Maksud saya, itu Yesus sungguhan yang datang kepada orang yang beriman dan percaya pada-Nya. Saya yakin itu Yesus betulan. Banyak orang telah mengalaminya. 

+ Nah, pernyataanmu tentang Yesus itu, sedalam apapun kamu yakini kebenarannya, itu tetap sebuah pendapatmu, pendapat aliran gerejamu juga.

- Aaaahhh...gaaak begitu, Pak. Tapi.... ya... ya.... ya itulah yang diajarkan ke saya oleh sang pendeta besar gereja saya.

+ Ya, yang kamu hormati dan junjung tinggi-tinggi sebetulnya bukan Yesus, tetapi ajaran sang pendeta gerejamu, yang kamu sebut tadi sang pendeta besar. Yesus yang dia sebut-sebut itu, ya Yesus kepunyaannya. Pendeta-pendeta lain juga punya Yesus mereka sendiri-sendiri, Yesus yang sesuai aliran gereja mereka masing-masing. Mustahil menceraikan Yesus dari aliran-aliran agama Kristen. Dan juga, seperti kata anda, Yesus memang tidak pernah bisa dikuasai dan dihabiskan oleh satu aliran agama Kristen saja. Selalu muncul tafsiran-tafsiran baru terhadap Yesus sejalan dengan perubahan zaman dan konteks kehidupan, dan juga dengan kepentingan-kepentingan dan ambisi-ambisi sosioekonomis dan politis para pebisnis injil.

- Tapi, hemat saya, itulah ajaran yang terbenar tentang Yesus, yang sudah dipikirkan dalam-dalam dan sangat lama oleh sang pendeta besar gereja saya. Sang pendeta besar gereja saya ini tidak mungkin salah, Pak. Dia sudah meraih gelar doktor dalam apologetika, Pak.

+ Loh, kalau sang pendeta besar gerejamu itu tidak bisa salah, dia sudah sama dong dengan Tuhan Yesus dalam kepercayaanmu. Katamu tadi, Yesus selalu jauh lebih besar dari aliran Kristen apapun. Ternyata sekarang, sang pendeta besar gerejamu tampaknya malah lebih besar dari Yesus.

- Uuppps. Betul juga ya. Jadi,.... sang pendeta besar gereja saya itu salah ya, Pak? Ah, masak sih dia salah. Gaaaaakkkk mungkin deeeh! Gaak mungkin. Gaaakkk mungkin. Gaaaakkkkkk!

+ Terserah penilaianmu sendiri. Pakailah pengalaman dan akalmu sendiri untuk menilai.

- Jadi, sang pendeta besar gereja saya itu bisa salah ya, Pak?

+ Kalau dia memang pakar apologetika, pasti dia akan keluarkan banyak alasan dan banyak jurus silat untuk membela dirinya sendiri, dengan dipoles sana sini oleh ayat-ayat Alkitab.

- Apologetika itu sebetulnya apa, Pak? Pasti bukan ilmu sihir, bukan?

+ Apologetika itu.... ya itu.... ilmu membela kepercayaan sendiri dari semua keberatan dan kritik. Para apologet semacam sang pendeta besar gerejamu itu selalu memakai sebuah kacamata kuda hitam tebal dalam memandang dunia ini. Saking piawainya dia membela dan mempertahankan kepercayaan keagamaannya, sebagai apologet dia sering menyihirmu dan warga gerejamu.

- Ooh begitu. Jadi, selama ini saya sudah tersihirkah olehnya?

+ Ya, periksa dirimu sendiri dengan jujur, dan gunakan akalmu untuk menemukan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang berguna dan mana yang tidak berguna. Usahakan untuk selalu eling dan sadar. Jangan sampai tersihir oleh apapun.

- Oooh, jadi akal kita bisa menuntun kita untuk tahu memilah-milah nilai-nilai moral. Apa betul begitu, Pak? Selama ini, saya hanya diajarkan satu hal: jadikanlah Alkitab sebagai satu-satunya sumber moralitas, sumber akhlak.

+ Tentu, sejauh masih relevan, Alkitabmu dapat kamu gunakan sebagai salah satu sumber ajaran moral, tetapi bukan satu-satunya sumber. Ada sangat banyak sumber yang tersedia untuk kita gunakan sebagai sumber-sumber ajaran moral.

- Ada banyak sumber ajaran moral? Apa saja itu, Pak? Saya jadi tertarik nih.

+ Dulu, sebelum lahir agama tertua (70.000 tahun lalu di Afrika Selatan), moyang kita Homo sapiens sudah hidup selama tiga ratus ribu tahun lebih tanpa agama apapun. Meskipun demikian, mereka sudah punya moralitas (dalam bentuk masih sederhana) yang membuat mereka dapat membangun dan mempertahankan masyarakat-masyarakat mereka. Tanpa nilai-nilai moral yang mengendalikan suatu masyarakat, masyarakat manapun akan cepat roboh dan lenyap.

- Jika belum ada agama apapun, lantas dari mana moyang kita mendapatkan nilai-nilai moral?

+ Dari banyak sumber lain: dari berbagai pengalaman kehidupan, dari dunia alam yang luas, dari lingkungan sosiobudaya, dari contoh-contoh yang mereka amati dalam dunia kehidupan hewan-hewan lain, dari pengetahuan-pengetahuan sederhana yang mereka akumulasi secara bertahap, dari intuisi mereka sendiri, dan dari kegiatan berpikir dan merenung panjang dan luas.

- Ooh begitu ya. Baru terbuka pikiran saya sekarang. Selama ini otak saya terus diselubungi awan-awan gelap. Akibatnya, yang saya lihat setiap hari hanya agama, agama dan lagi agama.

+ Yang terpenting adalah akal sebagai sumber moralitas. Lewat akal yang digunakan dengan aktif dan cermat, semua hal yang moyang kita alami dalam kehidupan sehari-hari dipikirkan dan direnungi matang-matang oleh mereka. Aktivitas kognitif dalam organ otak inilah yang kemudian melahirkan nilai-nilai moral. Kognisi mental adalah sumber utama atau akar terdalam moralitas dalam kehidupan Homo sapiens.

- Apakah sebelum manusia, Homo sapiens, muncul di muka Bumi sebagai bagian dari evolusi biologis, sudah ada hewan-hewan lain yang juga mengerti dan menghayati moralitas?

+ Pertanyaan yang sangat bagus. Saya cukup heran, kamu mampu bertanya demikian.

- Begitu ya, Pak.

+ Ya,... hewan-hewan lain yang tergolong primata, khususnya yang disebut kera-kera besar (great apes), seperti bonobo dan simpanse, ditemukan lewat studi-studi ilmiah mampu memperlihatkan sikap dan kelakuan bermoral. Mereka menjalani kehidupan mereka sehari-hari dalam masing-masing komunitas mereka bukan hanya lewat naluri, tetapi juga lewat nilai-nilai moral. Otak primata ini juga sanggup melahirkan kognisi yang memunculkan moralitas dan kesadaran.

- Tapi, apakah Bapak bermaksud menyatakan ada pertalian biologis antara kita, Homo sapiens, dan simpanse dan bonobo, dan mungkin juga dengan gorilla dan orangutan?

+ Ya, sudah lama ditemukan, Homo sapiens dan kera-kera besar memiliki pertalian biologis, tepatnya pertalian genetik, yang menunjukkan kita dan mereka memiliki moyang bersama dalam sejarah evolusi kita dan sejarah evousi kera-kera besar. Pendek kata, kita dan great apes adalah sesama sepupu.

- Aaahh, Pak, apa yang Bapak katakan sebagai “pertalian genetik” dan “sesama sepupu” antara manusia dan kera-kera besar, adalah hal yang paling dibenci oleh sang pendeta besar gereja saya.

+ Ya, saya sudah menduga hal itu. Tetapi, itulah salah satu fakta sains terbesar dan paling signifikan, yang ditunjang bukti-bukti yang semakin banyak dari berbagai disiplin ilmu.

- Aaah, Bapak tadi sudah berhasil membuka penglihatan saya bahwa agama bukanlah satu-satunya sumber ajaran moral, tetapi ada banyak, khususnya akal budi atau kemampuan kognitif manusia.

+ Itu sungguh-sungguh sebuah mukjizat dari anda. Supaya maju selangkah lagi, ya anda terimalah fakta sains evolusi itu. Jika anda sanggup, itulah mukjizat kedua buat anda.

- Aaahh, gaaak lah Pak. Saya takut kena laknat dari mulut sang pendeta besar gereja saya.

+ Sebaiknya awan-awan gelap itu anda singkirkan secepatnya supaya sang Mentari pencerah menyinari anda tanpa awan penghalang.

- Tapi saya takut silau oleh kemilau cahaya Mentari, Pak.

+ Jadikan cahaya sang Mentari sumber energi yang menghidupkan, bukan membutakan mata.

- Gaak ah! Risikonya terlalu besar dan berat buat saya.

+ Loh, kenapa kamu takut terhadap sang Mentari? Bukankah Yesus Kristus sendiri, dalam kepercayaan gereja, adalah sang Mentari Yang Tak Terkalahkan, Sol Invictus? Mengapa kamu takut oleh kemilau Sol Invictus ini?

- Aaaah, Pak, anda telah membuat batin dan akal saya merana sekarang ini. Apakah untuk tercerahkan sempurna, orang harus merana?

+ Tampaknya memang harus begitu. Membuka jendela akal dan batin, harus siap disergap kemilau cahaya Mentari.

- Aaahhh!

Jakarta, 26 Oktober 2015
ioanes rakhmat


N.B.: 
Tentang moralitas, baca juga ini https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2012/05/asal-usul-moralitas.html?m=0.

dan ini http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2014/11/sciences-and-values.html?m=0.