Friday, May 22, 2015

My open short letter to Ms. Aung San Suu Kyi


Dear our beloved Aung San Suu Kyi,

As cited in The Washington Post dated December 4, 2014, the famous Nobel Peace Prize laureate, Aung San Suu Kyi, currently the Burmese politician of the opposition party, once said something about the plight of the Rohingya Muslims in Burma.
“I am not silent because of political calculation. I am silent because, whoever’s side I stand on, there will be more blood. If I speak up for human rights, they (the Rohingya) will only suffer. There will be more blood.”/*/
Due to the fact that the case of the Rohingya Muslims (in Burma, they are called the Bengali) is not the case of interreligious conflicts (Buddhism versus Islam), but the political case, Aung San Suu Kyi (in Burma she is called Daw Suu) then should be able to say more significantly powerful words, in line with her conviction that every human word is powerful to change every reality. In 2012, Daw Suu made a moving statement about the power of words.
“Words allow us to express our feelings, to record our experiences, to concretize our ideas, to push outwards the frontiers of intellectual exploration. Words can move hearts, words can change perceptions, words can set nations and peoples in powerful motion. Words are an essential part of the expression of our humanness. To curb and shackle freedom of speech and expression is to cripple the basic right to realize our full potential as human beings.”
Let me now humbly ask the beloved Daw Suu: Where are now the words of Daw Suu that once were so powerful? Say more powerful words, Daw Suu, to make the world listen and pay attention to you, now, in relation to the fate of Rohingya Muslims in Burma. As you know, Daw Suu, a significantly increasing number of Rohingya Muslims currently are being forced to leave Burma, becoming boatmen adrift in the seas or stranded on the sandbanks of other countries.

Daw Suu, if your own country really cannot accept the existence of Rohingya Muslims any longer, and you have no power at all to change this situation, you still can move the hearts of, among others, the USA and the EU to enable them to accept Rohingya Muslims and then give them political asylum and finally citizenship. If you wish to do that in a noble way, don’t be afraid of losing your face because what you will do is something so noble and so great in the name of compassion, love, virtue, justice, the sisterhood of man, and humanity.   

May peace, strength, courage and wisdom be with you, Daw Suu, forever.  


Warm greetings, 

Jakarta, May 22, 2015

Ioanes Rakhmat

Thursday, May 21, 2015

Aung San Suu Kyi, mana kata-katamu kini?

Manusia perahu Rohingya terapung-apung di Laut Andaman, minggu lalu

Dalam koran The Washington Post, edisi 4 Desember 2014, penerima Nobel Perdamaian yang terkenal di dunia, Aung San Suu Kyi, politikus Burma masa kini dari partai oposisi, menyatakan hal berikut ini terkait nasib Muslim Rohingya.
“Aku tidak membuka mulut bukan karena kalkulasi politis. Aku membisu karena di pihak manapun aku berdiri, darah akan tetap tumpah lebih banyak lagi. Jika aku berbicara demi HAM, para Muslim Rohingya hanya akan menderita. Akan lebih banyak darah yang tertumpah.”/*/
Karena kasus Muslim Rohingya ini (di Burma mereka disebut orang Bengali) bukan kasus konflik agama (Buddhisme versus Islam), tetapi kasus politik, mustinya Aung San Suu Kyi (di Burma dipanggil Daw Suu) bisa berkata lebih dari itu, sesuai dengan keyakinannya bahwa setiap kata itu powerful, mampu mengubah kenyataan. Di tahun 2012, Daw Suu menyatakan hal berikut ini tentang kekuatan kata.
“Kata-kata memungkinkan kita untuk mengungkapkan perasaan-perasaan kita, untuk merekam pengalaman-pengalaman kita, untuk wewujudkan ide-ide kita, untuk menggeser lebih jauh batas-batas eksplorasi intelektual kita. Kata-kata dapat menggerakkan hati, dapat mengubah persepsi-persepsi, dapat menggerakkan manusia dan bangsa-bangsa dengan sangat kuat. Kata-kata itu bagian esensial dari ungkapan-ungkapan kemanusiaan kita. Mengekang dan menghambat kebebasan berbicara dan berekspresi sama dengan melumpuhkan hak-hak dasar kita untuk mewujudkan potensi-potensi kita sepenuhnya sebagai manusia.”


Kini perkenankan saya bertanya kepada Daw Suu: Mana kini kata-kata Daw Suu yang dulu pernah powerful itu? Berkata-katalah lebih banyak Daw Suu, maka dunia akan memperhatikanmu, sekarang! Kondisi Muslim Rohingya sekarang ini Daw Suu tentu terus ikuti dan ketahui. Daw Suu juga tentu sudah tahu, dari hari ke hari makin banyak Muslim Rohingya yang memutuskan diri untuk menjadi manusia-manusia perahu, dan banyak dari mereka terombang-ambing di lautan-lautan, atau terdampar di pantai-pantai berpasir negeri-negeri lain.

Daw Suu yang kami kasihi, jika Burma negara Daw Suu memang sudah tidak bisa menerima Muslim Rohingya, dan Daw Suu sudah tidak punya kekuatan dan kekuasaan lagi untuk ubah keadaan ini, maka, Daw Suu, gerakkanlah Amerika Serikat dan Uni Eropa lewat kata-kata Daw Suu yang pernah ampuh dan kuat, supaya mereka mau menerima Muslim Rohingya dan akhirnya menjadikan mereka warganegara, dengan berlandaskan ketentuan-ketentuan hukum yang ada. Jangan takut kehilangan muka, Daw Suu, jika Daw Suu meminta uluran tangan USA dan EU, sebab yang Daw Suu akan perjuangkan adalah sesuatu yang agung, atas nama cinta, kebajikan, kemurahan, kebaikan, persaudaraan antarmanusia, dan kemanusiaan. 

Semoga kedamaian, keberanian, cinta, kekuatan dan kearifan, selalu bersama Daw Suu selamanya. 

Salam saya, 

Jakarta, 21 Mei 2015
ioanes rakhmat

/*/ Ini link-nya http://www.washingtonpost.com/national/religion/why-wont-aung-san-suu-kyi-say-the-word-rohingya-commentary/2014/12/04/95477390-7bea-11e4-8241-8cc0a3670239_story.html. Baca juga ini http://www.independent.co.uk/voices/comment/aung-san-suu-kyis-silence-on-the-genocide-of-rohingya-muslims-is-tantamount-to-complicity-10264497.html.

Tuesday, May 19, 2015

Puisiku: Patung


Belajarlah wahai insan-insan berakal
Pada patung-patung diam tertanam
Niscaya jiwamu akan tambah ikal
Akal dan hatimu akan makin menajam
 


Patung-patung berabab-abad membisu diam
Mereka setia hanya mendengar sabar
Mereka telaten hanya memandang tajam
Tak satupun dari mulut mereka kata terlontar


Patung-patung lain sekali dengan manusia
Sebelum mendengar cukup kata tertata . . .
Sebelum melihat luas dunia semesta . . .
Manusia sudah mengumbar berjuta kata


Kata-kata untuk menyerang
Kata-kata untuk membinasakan
Kata-kata untuk memarang
Diayunkan kuat memenggal korban


Ketika kau insan berakal menerjang patung
Kepala mereka kau buat buntung
Lengan-lengan mereka kau jadikan kudung
Sungguh akal muliamu lenyap tanpa gaung


Wahai insan yang mengaku berakal
Umurmu paling banter sepuluh windu
Apa yang kau telah lihat sekian kwartal?
Apa yang kau telah dengar hingga batas usiamu?


Pandang dan temukan apa yang ada
Dalam benak patung-patung di sana
Yang sudah berusia ribuan era di mayapada
Yang sudah mendengar berlaksa kata khazana 


Wahai kau insan yang mengaku berakal
Saat kau umbar sejuta kata amarah membasmi 
Hanya sehelai daun kering yang bergeser tak mental
Tapi kebisuan sang patung menggeser Bumi

Ternyata batu, besi dan kayu lebih mulia
Ketimbang daging, urat-gemurat dan tulang
Pada mulanya Tuhan menciptakan bukan manusia
Tetapi patung-patung indah gilang-gemilang


Patung-patung dicipta untuk dimenung renung
Hasil cipta dan karsa seni dan budaya adiluhung
Tak pernah mereka menjadi allah yang dijunjung
Hanya orang bebal yang akan geram pada patung

Hai Saudara, jadilah kawan karib patung-patung
Jadilah kau kekasih sejati patung-patung
Lindungilah mereka dan jangan kau pentung
Berkacalah pada sang patung supaya kau beruntung

 

Jakarta, 19 Mei 2015
ioanes rakhmat

Sunday, May 10, 2015

Beriman kepada Tuhan itu berat!


Beriman kepada Tuhan itu berat, sebab kita lebih banyak menemukan Dia tak hadir ketimbang hadir saat kita sungguh memerlukan pertolongan-Nya.

Orang yang bilang beriman kepada Tuhan itu mudah dan indah, hemat saya mereka belum beriman dengan benar dan masih hidup berkhayal dalam beragama. Beriman yang benar itu adalah tetap beriman saat Allah dialami tidak hadir dan tidak menolong.

Salah kalau orang ateis menyatakan, jika Allah dialami tidak hadir dan tidak menolong, ya tinggalkan saja Allah yang semacam itu. Orang ateis mengambil jalan gampangan; sedangkan orang beriman mengambil jalan sulit dan berat.

Beriman kepada Allah itu ibarat sudah sangat lelah mendaki gunung, tapi terus mendaki untuk sampai di puncak lalu bisa melihat keindahan alam yang menakjubkan.

Saat kita mendaki gunung menuju puncak, selain berkonsentrasi kita juga perlu gembira menikmati pendakian dan peduli kepada sesama pendaki dengan masing-masing kondisinya. 

Jika beriman kepada Tuhan itu ibarat mendaki gunung, dalam beriman kita harus berkonsentrasi sekaligus gembira dan peduli kepada sesama pendaki. Mendaki gunung itu berat. Badan musti bugar. Tenaga kuat. Tekad membaja. Gembira di hati. Solider kepada sesama pendaki. Bekal cukup.

Pendaki sejati tidak pernah merasa telah sampai di puncak. Satu puncak dicapai, cari puncak-puncak lain yang lebih tinggi di seantero Bumi. Terus mendaki, makin tinggi, masuk ke dalam awan-awan, selama hayat masih dikandung badan.

Mendaki gunung itu sulit, perlu pengetahuan cerdas tentang pendakian, piawai membaca cuaca, menguasai peta pendakian, dan nafas yang panjang, tubuh yang kuat dan bugar. 

Ada saatnya gunung mudah didaki dan tidak berbahaya, dan ada saatnya gunung menjadi sangat sulit didaki dan penuh bahaya besar. Selama mendaki, pendaki sejati biasa menemukan banyak pelajaran dan pengalaman baru yang membuat pendakian layak dilakukan dan bernilai.

Semakin sering si pendaki mendaki gunung-gunung, semakin dekat dia dengan alam dan semakin menyatu dia dengan jagat raya. Tidak heran, jika dalam dongeng-dongeng kuno para dewa kerap dikisahkan berdiam di puncak-puncak gunung-gunung yang tinggi di dunia ini. Tidak sedikit juga kisah, yang menuturkan orang-orang besar zaman lampau memperoleh pencerahan budi di gunung-gunung tinggi.

Jika Allah anda pikirkan ada di atas, maka pantaslah jika puncak-puncak gunung tinggi kerap digambarkan sebagai lokasi perjumpaan orang-orang suci dengan Allah sendiri.

Sekarang, anda duduklah bersila, tenangkan nafas, bayangkan sosok dan nama Tuhan yang anda agungkan dan bayangkan diri anda sedang berkonsentrasi mendaki gunung tinggi. Menyatulah dengan Tuhan anda dan dengan puncak gunung.

Ingatlah, beriman kepada Tuhan itu berat, apalagi menjumpai-Nya, apalagi menyatu dengan-Nya.

Jakarta, 10 Mei 2015
Ioanes Rakhmat

Wednesday, May 6, 2015

Pikiran dan Realitas


Berapa kuatkah pikiran manusia?

Sependapatkah anda, jika orang menyatakan bahwa karena mekanika quantum, apa saja yang kita pikirkan akan menjadi realitas? Jadi, jika kita miskin dan sedang terdesak untuk mempunyai uang banyak, pikirkan saja bahwa ada orang datang ke kita membawa satu koper penuh lembaran uang USD! Lalu, tiba-tiba ini terjadi. Wah enaknya hidup jika begitu kejadiannya.

Monday, May 4, 2015

Kucing hitam dalam kandang


Ateis Ikhlas: Pak, apa keyakinan anda? Sebagai ateis, saya yakin dan percaya bahwa ateisme adalah ideologi yang paling benar dan paling ampuh untuk memperbaiki dan menyelamatkan dunia yang sekarang ini sedang dipecahbelah dan dihancurkan oleh agama-agama! Ateisme itu ilmiah. Ilmu-lah yang akan menyelamatkan dunia ini, Pak.

Teis Ikhlas: Upps, si Ateis Ikhlas itu salah besar, Pak. Bagi saya, agama-agama adalah harapan besar dan satu-satunya bagi masa depan dunia sebab agama-agama sajalah yang memberi kita panduan moral dan etika untuk hidup benar dalam dunia ini. Tanpa moral, dunia akan rusak, Pak.