Monday, April 14, 2014

Apakah Yesus kawin? Jika ya, apa masalahnya?




Apakah Yesus kawin? 


Pertanyaan ini sama sekali bukan baru, tapi sudah lama diajukan orang, bahkan sudah di abad-abad pertama masa kehidupan berbagai bentuk kekristenan, mulai dari yang diklaim ortodoks sampai yang didakwa heterodoks atau tidak ortodoks. Kenapa pertanyaan ini muncul? Karena berbagai sebab, berikut ini.

Perjanjian Baru tidak berbicara apapun tentang kehidupan seksual Yesus dan tentang apakah dia berkeluarga, sementara ada teks-teks tua di luar Perjanjian Baru misalnya Injil Filipus (teks Koptiknya berasal dari abad ke-4 M; teks Yunaninya dari abad ke-3 M)/1/ yang memuat sebuah cuplikan kisah tentang keintiman erotik Yesus dengan Maria Magdalena. 

Selain itu, ada juga teks-teks tua ekstra-Perjanjian Baru yang menunjukkan Yesus memperlakukan Maria Magdalena dengan sangat istimewa, melebihi perlakuannya kepada para rasul pria, misalnya Injil Maria Magdalena (dari akhir abad ke-2 M)/2/ dan dokumen Pistis Sofia (dari paruhan kedua abad ke-3 M)./3/ 

Keadaan ini tentu saja menimbulkan pertanyaan tentang apakah sebetulnya Maria Magdalena kekasih Yesus atau lebih tepat lagi istri Yesus. Teks-teks tua di luar Perjanjian Baru condong mengakui status perkawinan Yesus, sedangkan Perjanjian Baru tidak membicarakannya.

Jika Perjanjian Baru sebagai kitab yang dipandang suci oleh kekristenan ortodoks bungkam atau tidak memberi petunjuk apapun bahwa Yesus kawin, itu tidaklah berarti Yesus tidak kawin. Argumentum e silentio atau “an argument from silence” selalu lemah untuk dipakai dalam memastikan atau menolak sebuah fakta. 

Dalam semua bidang, termasuk dalam bidang agama, dunia ini selalu diwarnai pertarungan; dalam pertarungan ini ada kelompok yang lebih kuat yang tampil sebagai pemenang, dan ada kelompok yang lebih lemah yang menjadi pecundang. Demikianlah halnya dengan kekristenan ketika baru lahir dan tumbuh.

Ada kekristenan pemenang dan ada kekristenan pecundang. Karena dokumen-dokumen dalam Perjanjian Baru adalah dokumen-dokumen kalangan Kristen pemenang, sedangkan dokumen-dokumen di luarnya (misalnya dokumen-dokumen kekristenan gnostik) milik kalangan Kristen pecundang, tentu saja gereja-gereja Kristen ortodoks perdana sebagai kelompok pemenang memilih untuk tidak mempercayai dokumen-dokumen di luar Perjanjian Baru, dan hanya mau berpegang pada Perjanjian Baru. Jelas, ini adalah politik, bukan sains.

Jika anda memakai sains, maka sejarah kelompok yang dikalahkan dan dokumen-dokumen mereka tidak bisa dibuang begitu saja jika anda ingin tiba pada fakta-fakta, bukan hanya pada ideologi-ideologi. Fakta dan fiksi, sejarah dan mitologi, kebenaran dan ketidakbenaran, ada baik pada ortodoksi maupun pada heterodoksi. Bukan dogma-dogma, dan juga bukan politik, tapi kajian-kajian saintifik-lah yang akan bisa memilah-milahnya.

Patut disayangkan, kaum agamawan di mana-mana dan di segala zaman hampir mustahil mau melakukan kajian-kajian ilmiah terhadap semua doktrin dan dogma yang mereka sudah pertahankan sangat lama saat temuan-temuan baru yang mengguncangkan doktrin atau dogma mereka didapat para ilmuwan. 

Sudah kodratnya, kaum agamawan itu umumnya anti ilmu pengetahuan; padahal, sebaliknya, jika Tuhan itu MTahu dan MTakterbatas, maka ilmu pengetahuan bersumber dari kemahatahuan Tuhan yang tanpa batas, dus menjadi sebuah jalan agung menuju Tuhan YMTahu. 

Sikap mental anti-sains ini harus diubah jika anda mau cerdas beragama, tidak bodoh terus, tidak tunduk terus pada dogma-dogma kuno yang disusun ratusan hingga ribuan tahun lalu di tempat-tempat lain, sementara zaman dan pengetahuan manusia terus berubah dan makin maju.

Membarui dogma-dogma itu sebuah keniscayaan, jika anda mau hidup beragama dengan tanggap pada zaman yang terus berubah karena berbagai temuan baru dan berbagai pandangan dan horison saintifik baru.   

Berkaitan dengan rasul Paulus yang kerap mengambil model kehidupan Yesus sebagai model kehidupannya sendiri, para penafsir bertanya-tanya, mengapa Paulus tidak pernah memakai Yesus sebagai model kehidupan selibat/tidak kawin sementara dia sendiri menjalani kehidupan tidak kawin. 

Para penafsir berpikir bahwa mungkin sekali Paulus tahu kalau Yesus itu sebenarnya punya istri sehingga dia tidak pernah memakai Yesus sebagai sebuah contoh agung kehidupan selibat. Pada pihak lain, Paulus tidak pernah dengan eksplisit menyatakan Yesus kawin, mungkin karena soal ini sangat sensitif bagi gereja-gereja Kristen yang dia dirikan.

Sebuah makam keluarga yang diekskavasi di tahun 1980 yang diklaim sebagai makam keluarga Yesus di Talpiot, selatan kota lama Yerusalem, membuat sejumlah pakar, antara lain James D. Tabor dalam bukunya The Jesus Dynasty (edisi kedua, 2007),/4/ menyimpulkan bahwa makam itu betul makam keluarga Yesus, dan bahwa Yesus memang beristri Maria Magdalena dan mereka punya anak. 

Kesimpulan James Tabor ini didasarkan pada kajian atas osuarium-osuarium di makam itu yang masing-masing bertuliskan nama pemilik tulang, dan juga lewat uji DNA atas serpihan tulang dari dua peti tulang yang bertuliskan nama Yesus dan nama Maria Magdalena (atau Mariamene e Mara), dan pada kajian-kajian statistik. John Dominic Crossan dan James Charlesworth mendukung kesimpulan Tabor. 

Buku James D. Tabor dan Simcha Jacobovici yang terbit tahun 2012, The Jesus Discovery, memperkuat tesis semula tentang makam Talpiot melalui penelitian atas makam kedua yang terletak tidak jauh dari makam keluarga Yesus./5/ 

Beberapa tahun sebelum The Jesus Discovery yang menganalisis makam yang kedua ini terbit, saya pernah ulas panjang lebar berseri di surat kabar Kompas topik tentang makam keluarga Yesus di Talpiot ini. Ulasan saya ini ternyata menimbulkan kontroversi panjang di kalangan orang Kristen di Indonesia. Rangkaian tulisan saya ini kini sudah disatukan dengan padat, terpasang online di blog saya The Freethinker Blog./6/

Kini sudah ada sebuah konfirmasi saintifik lagi atas sebuah penggalan teks tua asli dalam bahasa Koptik, ditulis di atas kertas papirus, yang menyebut Yesus sebagai sang Messias yang kawin, yang punya istri.  

Fragmen teks Koptik ini terdiri atas penggalan delapan baris tulisan. Sebaris teks dalam fragmen ini berbunyi “Yesus berkata kepada mereka, ‘Istriku....’” Sebaris teks berikutnya menyebut nama “Maria” yang dikatakan “layak”. Selanjutnya teks memuat ucapan Yesus, “dia (feminin) akan dapat menjadi seorang muridku.” Teks-teks ini, untuk memudahkan referensi, diberi nama Injil Istri Yesus.

Prof. Karen L. King telah menganalisis teks tua Injil Istri Yesus ini sejak 2011 atas permintaan NN pemiliknya, tetapi penerbitan karya ilmiahnya tentang injil luar biasa ini ditunda oleh Harvard Divinity School tempatnya mengajar karena dia menerima banyak serangan dari berbagai penjuru, sambil menunggu pengujian cermat carbon-dating untuk memastikan apakah fragmen teks tua ini autentik atau hasil pemalsuan.

Temuan ini sudah dilemparnya ke publik para pakar 18 bulan lalu, persisnya pada acara Kongres Koptik Internasional di Roma, 18 September 2012. Kini sudah ada kepastian bahwa fragmen teks tua ini autentik, berasal dari kurun 650-870 M; dan sangat mungkin teks ini salinan dari teks Yunani abad ke-2 M. 

Makalah Prof. King tentang injil kontroversial ini, setelah direvisi, terbit 10 April 2014 di Harvard Theological Review setelah tertunda 15 bulan,/7/ karena dia tidak punya dana untuk membiayai uji carbon-dating itu dalam waktu yang lebih cepat. Anda dapat mengikuti kronologi penelitian atas injil ini dan berbagai beritanya dalam blog Prof. James D. Tabor./8/

Menurut Prof. King, Injil Istri Yesus itu sebetulnya menyingkapkan pertarungan di gereja-gereja awal dulu (abad ke-2) antara kalangan pro-selibat dan kalangan pro-gamis, dengan kalangan pro-gamis mengacu ke injil ini sebagai basis historis mereka, jadi secara tidak langsung mengacu ke status perkawinan Yesus. 

Selain itu, menurut sang profesor, injil ini juga memberitakan bahwa untuk menjadi murid Yesus tidak diperlukan kehidupan selibat. Orang yang kawin, seperti Maria Magdalena, dapat menjadi murid Yesus. Tanpa selibat, semua orang dapat menjadi murid-murid Yesus, karena Yesus sendiri tidak selibat.

Ada baiknya kita perhatikan juga apa yang dikatakan seorang profesor Perjanjian Baru dan Kekristenan perdana di fakultas teologi Universitas Notre Dame, Indiana, Amerika Serikat, Prof. Candida Moss, tentang Injil Istri Yesus ini dalam artikelnya yang terpasang online di situs web The Daily Beast tanggal 13 April 2014. Katanya, frasa “istriku” yang dalam injil ini diucapkan Yesus “tidak menyatakan hal apapun kepada kita tentang diri Yesus sendiri.”/9/ 

Namun sayangnya Prof. Moss tidak memberi argumen mengapa demikian halnya. Ketika lewat Twitter (@ioanesrakhmat, 14 April 2014, pukul 12.15 AM) saya bertanya kepadanya apa argumennya, Prof. Moss menjawab, “Because it is--at earliest--a second century text written by someone who didn’t know Jesus.” 

Upps, jawaban yang sangat lemah dan ideologis! Saya jawab lagi kepadanya, “Paul and all of the NT gospels’ writers didn’t know Jesus personally either. Why do you believe them all?” Mustinya jawaban saya ini telah membuat Prof. Moss TKO! 

Tidak berlebihan jika saya menyatakan ada muatan-muatan ideologis dalam artikel Prof. Moss itu. Lepas dari ihwal apakah Prof. Moss mempercayai begitu saja atau tidak semua dokumen Perjanjian Baru, tampaknya dia membela pandangan-pandangan ortodoks tentang Yesus, dan mengenyampingkan kemungkinan adanya tradisi-tradisi autentik dalam dokumen-dokumen dari kalangan Kristen heterodoks perdana.

Ada banyak orang, termasuk Prof. Moss, yang pada satu pihak bisa menerima autentisitas teks-teks tua di luar Perjanjian Baru yang berisi referensi-referensi ke kehidupan erotik Yesus; tetapi pada pihak lain mereka menafsirkan referensi-referensi ini sebagai metafora atau sebagai idiom-idiom mistikal, bukan sebagai hal-hal faktual biologis dalam kehidupan pribadi Yesus sendiri. 

Mereka menyatakan betul Yesus punya istri, tetapi sang istri dalam hal ini bukanlah istri biologisnya, melainkan bermakna metaforis sebagai “gereja” yang dalam teologi kekristenan ortodoks umumnya memang dipandang sebagai “mempelai perempuan” Yesus. 

Ketika dipandang sebagai idiom mistikal, maka keintiman erotik Yesus dengan Maria Magdalena (misalnya ciuman Yesus pada mulut Maria Magdalena, seperti ditulis dalam Injil Filipus) ditafsirkan sebagai kesatuan mistikal Yesus dengan rasulnya yang paling cerdas dan paling disayangi. 

Dalam tafsiran mistikal ini, ciuman Yesus dipahami sebagai media untuk menyalurkan roh kehidupan yang ada pada Yesus ke dalam tubuh Maria Magdalena lewat mulutnya. Lewat tafsiran mistikal ini, sisi-sisi erotik kehidupan Yesus dihilangkan sama sekali. 

Saya dapat ajukan dua catatan berkaitan dengan penafsiran metaforis dan penafsiran mistikal ini. 

Pertama, rujukan-rujukan ke keintiman erotik Yesus dalam teks-teks tua di luar Perjanjian Baru yang sudah dirujuk di atas sama sekali tidak bisa dipaksa untuk menjadi metafora ortodoks tentang hubungan Yesus dengan gerejanya. Kalangan Kristen heterodoks perdana memegang konsepsi eklesiologis yang berbeda ketika mereka memandang diri mereka sebagai gereja Yesus Kristus. 

Kedua, pada sisi lain, dalam semua dokumen kekristenan ortodoks yang termuat dalam Perjanjian Baru, dan juga dalam berbagai tulisan para bapak gereja, tidak ada satupun petunjuk bahwa Yesus adalah seorang mistikus. Injil Yohanes sendiri tidak bisa ditafsirkan sebagai injil mistikal, meskipun banyak membicarakan kesatuan Yesus dengan Allah sebagai Bapanya. 

Alih-alih sebagai seorang mistikus, Yesus dari Nazareth dalam kenyataan kehidupan sehari-harinya sangat kuat menampilkan diri sebagai seorang nabi sosial yang punya kepedulian mendalam bukan terutama pada aspek mistikal manusia, tetapi pada kebutuhan-kebutuhan real ragawi manusia. Tidak ada satupun petunjuk yang membuat kita bisa menyetarakan Yesus dari Nazareth dengan, misalnya, Jalaluddin Maulana Rumi (1207-1273) sebagai seorang sufi yang menulis banyak puisi sensual erotis untuk menggambarkan hubungan dirinya dengan Allah yang menjadi kekasihnya.  

Kesimpulannya sebenarnya tidak sulit buat dunia ilmu pengetahuan bahwa Yesus sebetulnya memang mempunyai seorang istri, dan perempuan istrinya ini bernama Maria Magdalena. 

Tetapi buat kekristenan sebagai sebuah sistem kepercayaan yang tertutup, kesimpulan ilmiah ini, katakanlah setipis apapun, tidak mungkin diakui dan diterima, sampai kapanpun. Tentang kejumudan kekristenan ini, saya berani bertaruh hanya sebesar satu rupiah. 

Kondisi kejumudan gereja ini menunjukkan bahwa kekristenan sendiri sebenarnya mengidap fobia terhadap seks dan perkawinan, dan memuja hidup menjomblo atau hidup selibat dan memandang seks itu najis. Mereka ingin memaksa Yesus untuk juga mengidap fobia ini. Padahal, saya berharap, dan bukti-bukti lebih kuat menunjukkan, bahwa Yesus itu seorang heteroseksual yang normal.

Tentu ada banyak orang Kristen yang akan mengambil sikap tidak mau peduli pada temuan-temuan dan pandangan-pandangan yang sudah dikemukakan di atas yang semuanya menjurus ke satu kesimpulan bahwa Yesus kawin. 

Mereka bersikap tidak peduli bisa karena temuan-temuan dan pandangan-pandangan ini sangat mengguncang batin dan pikiran mereka sehingga terasa terlalu berat untuk dihadapi atau diakui, alhasil jauh lebih menenteramkan jika semuanya disangkal mentah-mentah atau diabaikan begitu saja. 

Mereka juga tidak peduli bisa karena bagi mereka hidup sebagai orang Kristen pada masa kini jauh lebih penting ketimbang mempersoalkan sejarah 2.000 tahun lalu, yang kata mereka juga tidak bisa didapat dengan tingkat kepastian yang sepenuh-penuhnya. 

Terhadap orang-orang Kristen semacam ini, saya hanya mau ingatkan dua hal saja. 

Pertama, sejarah apapun memang selalu sebuah rekonstruksi, dan sebagai sebuah rekonstruksi sejarah selalu sebuah probabilitas. Ilmu sejarah memberikan kita probabilitas masa lampau, dan peringkat sampai ke probabilitas sudah cukup untuk ilmu sejarah bidang apapun. Inilah yang selama ini anda dan saya pandang sebagai sejarah, dan darinya kita mengambil banyak manfaat dan pelajaran. 

Tentang probabilitas, perhatikan apa yang ditulis penyusun The Skeptic’s Dictionary, Robert Todd Carroll, bahwa “Adalah mustahil untuk mengetahui hal apapun yang empiris sampai ke tingkat kepastian absolut. Bagaimanapun juga pikirku sudahlah jelas bahwa probabilitas-probabilitas berfungsi dengan baik dalam kehidupan ini. Kita mempunyai banyak cara dalam banyak, banyak kasus untuk membuat pembedaan-pembedaan di antara klaim-klaim empiris yang memiliki peringkat-peringkat probabilitas yang berbeda-beda.”/10/ 

Nah, dalam hal Yesus kawin, setelah banyak hal diperhitungkan, orang dapat menyatakan probabilitasnya tinggi. 

Kedua, kehidupan Kristen yang kini mereka sedang jalani banyak yang dibangun di atas dogma-dogma dan doktrin-doktrin yang disusun berdasarkan suatu asumsi bahwa Yesus tidak kawin, sehingga tetap suci sampai dia, menurut dogma gereja, terangkat naik ke sorga dan duduk di sebelah kanan Allah. 

Nah, ketika terbukti bahwa Yesus kawin, asumsi ini gugur dan akibatnya dogma-dogma dan doktrin-doktrin yang dibangun berdasarkan asumsi ini juga gugur, atau paling tidak harus disusun ulang. Jika ini semua dilakukan, maka cara kehidupan Kristen mereka di masa kini juga harus diubah.   

Hal-hal yang sudah dibentangkan di atas, punya makna eksistensial bagi kita di masa kini. Hemat saya, bagaimanapun juga, jika Yesus dari Nazareth menikah dan punya anak-anak, ini adalah sebuah fakta yang membahagiakan saya sebab dengan begitu dari Yesus kita bisa belajar juga tentang bagaimana membangun sebuah keluarga yang baik dan bagaimana menjadi seorang ayah yang bertanggungjawab, dan bahwa seks itu indah dan mulia saat dihayati dalam sebuah ikatan perkawinan. 

Yang ada dalam pikiran saya adalah ikatan perkawinan yang monogamis, bukan yang poligamis. Perkawinan poligamis yang memperbolehkan seorang lelaki beristri sampai empat perempuan seperti dalam sistem kepercayaan Islami arus besar, hemat saya, maaf, potensial menimbulkan penderitaan batin kaum perempuan Muslim dan ketidakadilan terhadap mereka. Tentu, lewat perjuangan bersama, ketekunan, keadilan, kasih sayang yang seimbang, dan keberhasilan ekonomi, ada pernikahan poligamis yang dapat memberi kebahagiaan.

Bagaimana pun juga, di tahun 2006 Ibu Sinta Nuriyah Wahid sudah menyatakan bahwa poligami dalam Islam menyengsarakan kaum wanita. Katanya, “Lihat saja di masyarakat, wanita banyak yang frustasi, depresi, gila. Yang sakit jadi cepat mati. Kalau mentalnya nggak kuat, bisa cakar-cakaran dengan istri mudanya.”/11/

Jadi, isu utamanya adalah bagaimana anda harus menghadapi gelora syahwat.  

Kekristenan ortodoks menjawabnya dengan menindas nafsu syahwat ini dengan hidup selibat, dan menekannya habis ke dalam alam bawah sadar, sebagaimana khususnya dipraktekkan oleh semua pastur Gereja Roma Katolik sedunia. Pendekatan semacam ini dapat tidak baik, sebab dorongan-dorongan seksual yang ditekan ke dalam alam bawah sadar suatu saat akan meledak juga dalam berbagai bentuk perilaku seksual yang tidak terkendali./12/ 

Sedangkan Islam menjawabnya dengan melampiaskan syahwat ini sebebasnya lewat poligami resmi sampai maksimal dengan empat perempuan, yang tentu dapat menimbulkan ketidakadilan dan nestapa batin pada kaum perempuan, entah terpendam atau terbuka.

Mistisisme menjawabnya dengan memproyeksikannya ke dunia adikodrati, yakni ke hubungan intim sang mistikus dengan Allah pujaan hatinya. Sudah menjadi suatu pengetahuan umum bahwa para mistikus kerap menulis puisi-puisi erotis yang menggambarkan secara metaforis hubungan mereka dengan Tuhan sebagai sang kekasih agung mereka. 

Tetapi tidak setiap orang setuju bahwa mistisisme itu signifikan. Friedrich Nietzsche, misalnya, menyatakan bahwa “penjelasan-penjelasan mistikal umumnya dipandang dalam; tetapi faktanya adalah dangkalpun tidak.” 

Perbedaan jawaban-jawaban ini tentu saja timbul karena perbedaan faktor-faktor sosiobudaya, sosioreligius, sosiopolitis, sosioekonomis dan sosiopsikologis. 

Spektrum warna pelangi memang indah jika berada dalam interkoneksi yang rukun dan saling memperkuat.


Catatan-catatan 

/1/ Injil Filipus telah saya terjemahkan, dan terjemahannya terpasang online pada http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2008/11/injil-filipus.html.

/2/ Injil Maria Magdalena telah saya terjemahkan, dan terjemahannya tersedia online pada http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2008/01/injil-maria-magdalena.html.

/3/ Tentang gambaran mengenai Maria Magdalena dalam dokumen Pistis Sofia, lihat http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2008/12/maria-magdalena-dalam-pistis-sofia-oleh.html

/4/ James D. Tabor, The Jesus Dynasty: The Hidden History of Jesus, His Royal Family, and the Birth of Christianity (New York, N.Y.: Simon and Schuster Paperbacks, 2006; dengan epilog yang baru terbit 2007). Perhatikan khususnya epilog yang baru ini (hlm. 319 ff.) yang diberi judul “The Discovery of the Jesus Family Tomb”. Lihat juga Simcha Jacobovici dan Charles Pellegrino, The Jesus Family Tomb: The Evidence Behind the Discovery No One Wanted to Find (New York, N.Y.: HarperCollins Publishers, 2007; edisi revisi dan diperluas).  

/5/ James D. Tabor dan Simcha Jacobovici, The Jesus Discovery: The Resurrection Tomb that Reveals the Birth of Christianity (New York, etc.: Simon and Schuster, 2012).

/6/ Ioanes Rakhmat, “Kontroversi Temuan Makam Keluarga Yesus”, The Freethinker Blog, 1 Januari 2008, http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2008/01/kontroversi-temuan-makam-keluarga-yesus.html.

/7/ Karen L. King, ““Jesus Said to Them, ‘My Wife....’”: A New Coptic Papyrus Fragment”, Harvard Theological Review 107:2 (April 2014), hlm. 131-159.

/8/ Lihat James D. Tabor, “Tests on the ‘Gospel of Jesus’ Wife’ Fragment Show No Evidence of Forgery”, TaborBlog, 10 April 2014, http://jamestabor.com/2014/04/10/tests-on-the-gospel-of-jesus-wife-fragment-show-no-evidence-of-forgery/.

/9/ Candida Moss, “The ‘Gospel of Jesus’s Wife’ Is Still as Big as Mystery as Ever”, The Daily Beast, 13 April 2014, http://www.thedailybeast.com/articles/2014/04/13/the-gospel-of-jesus-s-wife-is-still-as-big-as-mystery-as-ever.html.

/10/Robert Todd Carroll, The Skeptic’s Dictionary: A Collection of Strange Beliefs, Amusing Deceptions and Dangerous Delusions (Hoboken, New Jersey: John Wiley and Sons, 2003), hlm. 2. 

/11/ Nograhany Widhi K., “Sinta Gus Dur: Poligami Sengsarakan Wanita”, Detiknews, 11 Desember 2006, http://news.detik.com/read/2006/12/11/190828/718817/10/sinta-gus-dur-poligami-sengsarakan-wanita

/12/ Meluasnya kasus-kasus pedofili yang dilakukan para imam Gereja Roma Katolik  belakangan ini dapat terjadi karena berbagai macam sebab, salah satu di antaranya adalah kehidupan selibat yang tidak dijalani dengan berdisiplin. Karena mengalami banyak tekanan besar dari dunia internasional, akhirnya Paus Fransiskus membentuk sebuah komisi untuk menangani dan menyelesaikan kasus -kasus ini. Lihat reportasenya oleh Barbie Latza Nadeau, “Pope Francis Names His Anti-Abuse Team”, The Daily Beast, 23 March 2014, http://www.thedailybeast.com/articles/2014/03/23/pope-francis-names-his-anti-abuse-team.html


Tapi saya tidak yakin bahwa komisi ini akan dapat bekerja dengan efektif. Sekarang ini kasus besar kejahatan seksual dalam GRK ini sedang diselidiki oleh PBB; baca beritanya yang disusun Josephine McKenna, “Vatican Faces Second UN Hearing on Sex Abuse Policies; Compliance to Convention Against Torture”, Huffingtonpost Religion, 16 April 2014, http://www.huffingtonpost.com/2014/04/16/vatican-un-hearing-sex_n_5154753.html?.