Monday, January 21, 2013

Isteri dipukuli sang suami

Saya tersentuh oleh sebuah ucapan Ibu Sinta Nuriyah Wahid, istri mendiang sosok agung Abdurrahman Wahid. Sang ibu yang pada tahun 2000 mendirikan PUAN (Pesantren untuk Pemberdayaan Perempuan) dengan santai tapi serius pernah menyatakan bahwa Gus Dur sangat membela perempuan sampai-sampai dia memberikan saya empat anak, dan semuanya perempuan.”/1/ Dalam semangat Gus Dur inilah, yakni membela kaum perempuan, tulisan ini saya buat, dengan bertolak dari sebuah kasus real yang terjadi di awal tahun 2013.




Di permulaan tahun 2013 pernah sangat hangat diperbincangkan dalam masyarakat kasus pemukulan berulangkali atas diri perempuan SR, oleh suaminya sendiri, JP, seorang pejabat pemerintahan, karena rahasia sang suami punya isteri sirri terbongkar. Selain itu, sang suami ini dengan keras melarang SR untuk bertemu dengan anak-anaknya sendiri di rumah. Sebagai tanda keberpihakan dan pembelaan saya pada SR, saya mau menyoroti dengan kritis kasus ini sedikit lebih panjang, berikut ini. Fokus saya kodrat insan perempuan pada umumnya.



Mbak SR (berjilbab, duduk sendiri di sudut) sedang melaporkan KDRT yang dialaminya kepada Komnas Perempuan, di Jakarta, 21 Januari 2013

Saya mulai dengan sebuah pertanyaan: Mengapa ada suami yang suka memukuli isterinya, dan sang isteri tidak bisa langsung melawan di tempat? Apakah sudah kodratnya kalau sang isteri bersikap pasrah dan tunduk tanpa daya ketika sang suami memukulinya dengan kejam? Apakah sudah kodratnya sang suami memiliki kekuatan fisik yang jauh lebih besar dibandingkan kekuatan fisik sang isteri? Apakah sudah kodratnya sang suami berkuasa mutlak atas kehidupan dan tubuh perempuan, isterinya?  

Saya termasuk seorang yang selalu tidak percaya pada argumen “sudah kodratnya” (atau sudah nasibnya atau sudah takdirnya) jika terjadi sesuatu dalam dunia ini. Argumen “sudah kodratnya” melihat Allah atau alam sebagai penyebab terjadinya sesuatu yang dianggap tak bisa dilawan, jadi harus diterima saja dengan pasrah. Argumen ini hanya akan membuat seseorang malas menganalisis, malas mencari pengetahuan lebih jauh, takut bertambah cerdas dan berubah, dan takut menghadapi fakta-fakta yang bisa tak sesuai dengan keyakinannya semula.

Apakah “sudah kodratnya” seorang isteri memiliki kekuatan fisik yang jauh lebih kecil dibandingkan kekuatan fisik sang suami? Tidak! Kaum perempuan bisa memiliki kekuatan fisik sama besarnya dengan kekuatan fisik kaum pria jika mereka mau mengembangkan kekuatan mereka. Lewat latihan keras bina raga, kaum perempuan akan bisa memiliki tubuh atletis berotot kuat dan kekar, jika mereka mau.

Jika secara genetik tubuh perempuan dikonstruksi untuk tidak sekuat tubuh pria, terapi genetik dan teknologi bisa mengubah keadaan ini. Keadaan genetik tubuh perempuan juga bisa diubah lewat kondisi kehidupan yang mengharuskan kaum perempuan bekerja keras secara fisik. Peta genetik setiap organisme bisa diubah lewat lingkungan kehidupan natural dan kultural yang berbeda yang di dalamnya organisme ini hidup dan aktif. Gen bukanlah penentu mutlak; lewat interaksi organisme dengan kondisi-kondisi alam yang berubah, gen dapat bermutasi khususnya pada ranah epigenetik, bukan pada sekuen genomik. Jangan dilupakan bahwa evolusi biologis itu berlangsung by natural selection. Selain itu, ketangguhan tubuh perempuan juga bisa dihasilkan lewat latihan keras bela diri (pencak silat, karate, judo, dll). Meskipun saya belum pernah jumpa kaum perempuan Amazon, saya percaya pada kabar-kabar yang menyatakan bahwa mereka adalah perempuan-perempuan yang memiliki tubuh-tubuh atletis dan semangat juang dan kemahiran tempur yang tinggi, jauh melebihi kaum pria manapun di muka Bumi. Jadi, jika anda perempuan Indonesia, ya jadilah seperti perempuan Amazon.

Dengan demikian, argumen “sudah kodratnya” perempuan bertubuh lemah sehingga tak bisa melawan lelaki yang kasar, adalah argumen yang salah dan meremehkan kaum perempuan. Kalau kaum perempuan mengambil posisi pasif dan pasrah ketika berhadapan dengan kaum pria, dan kaum pria berdiri pada posisi superior di hadapan kaum perempuan, posisi-posisi ini tidak kodrati, tapi terkondisi. Minimal ada dua faktor yang menyebabkan kaum perempuan dikondisikan sebagai kaum yang lemah di hadapan kaum pria yang tipikal dipandang perkasa dan memiliki posisi unggul. Dua faktor yang mengondisikan kaum perempuan sebagai kaum lemah adalah agama dan sistem sosial-budaya.
Ampun, ampun, akang!

Agama-agama besar yang dikenal umumnya adalah agama-agama kuno yang muncul dalam suatu dunia yang dikendalikan kaum pria, dunia patriarki. Dalam dunia patriarki kuno, agama-agama yang muncul tentu saja agama-agama yang dikonstruksi oleh kaum lelaki, agama-agama lelaki. Dalam dunia patriarki kuno, semua firman Tuhan yang diperdengarkan tentu saja firman Tuhan dari sudut pandang kaum lelaki. Jika ada teks-teks kitab suci kuno apapun yang merendahkan/meremehkan kaum perempuan, teks-teks semacam ini adalah teks-teks kaum pria. Hermeneutik feminis berhasil memperlihatkan bahwa teks-teks misoginis kitab suci apapun adalah teks-teks ideologis kaum pria penguasa.

Apakah teks-teks skriptural yang misoginis betul-betul firman Tuhan yang maha pengasih dan maha penerima dan tak pandang bulu? Tidak juga. Jika Tuhan dalam keyakinan anda adalah Tuhan yang maha inklusif, menerima dengan kasih semua gender insani, bagaimana nasib teks-teks misoginis itu? Teks-teks skriptural yang misoginis dan membela keunggulan kaum pria haruslah dipandang sebagai teks-teks ideologis kaum pria. Kalaupun teks-teks skriptural misoginis patriarkal itu mau dipandang sebagai firman Tuhan, ya Tuhan yang berfirman di situ adalah Tuhan lelaki. Berhadapan dengan Tuhan lelaki, kaum perempuan perlu menggali kitab-kitab suci lebih dalam lagi untuk menemukan Tuhan perempuan.

Tentu saja, berkaitan dengan perjuangan kaum perempuan, Tuhan perempuan akan berfirman berbeda dibandingkan firman Tuhan lelaki. Jangan takut untuk mencari dan menemukan Tuhan perempuan dalam kitab-kitab suci, sebab Tuhan itu menerima semua orientasi seksual dan semua gender. Kalau kaum pria menyodorkan firman Tuhan lelaki untuk menindas perempuan, kaum perempuan perlu memperhadapkan Tuhan perempuan kepada mereka. Jadikanlah dengan kreatif dan berani agama anda bukan sebagai agama lelaki saja, tetapi juga agama perempuan yang membela perempuan. Jadi, kalau suami anda bertindak kejam dengan memakai agama lelaki sebagai dalih, ajukanlah agama perempuan yang anda sudah berhasil temukan kepadanya dan kepada masyarakatnya.

Adanya berbagai jenis ideologi patriarki dalam kitab-kitab suci kuno menunjukkan tidak adanya apa yang dinamakan “agama langit” yang murni. Setiap agama kuno juga menyerap nilai-nilai dan pandangan-pandangan sosial-budaya kuno yang umumnya dikonstruksi kaum pria dalam masyarakat. Jadi, faktor kedua, faktor sosial-budaya, yang menyebabkan kaum perempuan direndahkan, juga berperan dalam kelahiran teks-teks kitab suci apapun.

Pada masa kini ada berbagai pandangan sosial-budaya dalam masyarakat patriarkal yang merendahkan kaum perempuan, yang membuat kaum ini kerap korban KDRT. Misalnya, bahwa seorang perempuan tidak boleh mencampuri kehidupan seorang pria, suaminya, tetapi sang suami berhak penuh mencampuri seluruh kehidupan sang istri. Atau bahwa isteri hanyalah lahan tempat sang suami “bercocok-tanam” untuk menghasilkan buah keturunan, dan jika seorang istri mandul, sang suami berhak dan wajib membuangnya, seperti membuang sebatang pohon yang sudah mati. Atau bahwa kaum perempuan adalah kaum yang tidak rasional, bertindak hanya berdasarkan emosi dan naluri, sedangkan kaum pria sangat rasional dan penuh perhitungan. Tidak sedikit pandangan sosial-budaya masa kini yang merendahkan kaum perempuan ditarik dari teks-teks skriptural yang misoginis patriarkal. Tentu saja, nilai-nilai sosial-budaya yang merugikan kaum perempuan ini bukan konstruksi kodrati yang tak bisa dilawan atau ditolak, tetapi produk kebudayaan lelaki, man-culture's product, bukan woman-culture's product.

Tentu saja ada juga berbagai “kearifan lokal” non-skriptural yang tidak arif karena merendahkan kaum perempuan. Berhadapan dengan kearifan lokal yang tak arif dan merendahkan perempuan, kaum ini perlu bangkit membangun sendiri kearifan lokal alternatif. Tetapi jika anda menemukan sejumlah kearifan lokal yang membela dan menghargai penuh kaum perempuan, jadikanlah kearifan lokal ini sebagai suatu gaya hidup masyarakat anda, lebih-lebih lagi jika masyarakat anda kini sedang dikuasai dan diperintah kaum lelaki yang suka memakai teks-teks kitab suci yang misoginis untuk merendahkan dan menindas kaum anda.

Dalam masyarakat modern yang demokratis, kaum perempuan sesungguhnya sudah dipandang sederajat dengan kaum pria dalam segala hal. Di Indonesia modern sekarang ini, kaum perempuan sebetulnya sudah diperlakukan sama dengan kaum pria dalam segala bidang. Indonesia memiliki Komnas Perempuan, dan pada esensinya aturan-aturan hukum RI yang berlaku juga tidak merendahkan kaum perempuan. Jadi, kaum perempuan Indonesia juga perlu berjuang lewat jalur hukum jika mereka menjadi korban-korban KDRT.

Yang berlaku di Indonesia adalah “hukum positif” (lex posita), yakni hukum-hukum yang dipikirkan, disusun dan didalilkan oleh manusia, bukan oleh Allah. Sebagai hukum buatan manusia dan disahkan lewat mekanisme konstitusional, hukum positif modern umumnya juga memihak kaum perempuan. Kalau hukum positif di Indonesia masih juga diintervensi oleh hukum agama/Allah, ini adalah masalah bersama yang perlu segera diatasi. Pendek kata, hanya dalam suatu negara demokratis modern yang memberlakukan hukum positif, kaum perempuan tidak akan ditindas lagi. Saya belum sanggup memikirkan akan tibanya zaman di mana kaum perempuan akan gantian menindas habis kaum pria, di dalam suatu dunia yang semula dikuasai dan dibangun oleh kaum pria. Harapan saya, zaman semacam ini tak akan pernah muncul dalam sejarah peradaban manusia Indonesia di masa depan.

Pada masa kini, jika anda seorang perempuan Indonesia yang taat beragama, gerakanlah kaum anda ini untuk menafsirkan agama anda dengan cerdas, dari suatu sudut pandang baru, sebagai agama yang bukan hanya membela kaum lelaki, tapi juga sebagai agama yang membela kaum perempuan, sehingga kaum anda dapat mengambil posisi setara dengan kaum lelaki dalam segala bidang kehidupan dalam masyarakat. Dengan kecerdasan dan keberanian kaum anda juga, jadikanlah lingkungan sosio-budaya anda sebagai lingkungan yang di dalamnya kaum anda dapat berperan setara dengan kaum lelaki. Hambatan-hambatan keagamaan dan sosio-budaya yang membuat kaum anda terus direndahkan dan ditindas harus diatasi dan disingkirkan, oleh kaum anda bersama kaum lelaki dalam masyarakat anda yang juga bersemangat membela kaum anda.   

----------------

/1/ Kutipan ucapan Ibu Nuriyah ini diambil dari Greg Sutomo SJ, Islam Ramah Bukan Marah, HidupKatolik.Com, 3 September 2013, pada http://m.hidupkatolik.com/index.php/2013/09/03/islam-ramah-bukan-marah.