Wednesday, November 6, 2013

Mencari sang rembulan purnama dalam dunia agama-agama

Saya mau mengulas ihwal bagaimana umat beragama yang satu memandang agama umat yang lain. Ulasan ini penting berhubung kita setiap hari bertemu dengan orang-orang yang menganut agama-agama yang berbeda dari agama yang kita anut, dan kita perlu tahu posisi apa yang harus kita ambil sebagai posisi yang paling tepat.



Adakah lebih dari satu bulan purnama untuk planet Bumi?


Ketika berhadapan dengan agama-agama lain, posisi umum yang diambil umat beragama adalah posisi eksklusivis. Perspektif eksklusivis menempatkan agama sendiri sebagai agama yang benar satu-satunya. Di luar agama sendiri tak ada wahyu ilahi apapun. Jika anda berposisi eksklusivis, bagi anda kebenaran mutlak dan final hanya ada dalam agama anda sendiri. Dengan posisi eksklusivis, anda meng-eksklusi agama-agama lain dari dunia kebenaran dan wahyu. Hanya agama anda sendiri yang mendiami dunia kebenaran dan wahyu.

Dalam eksklusivisme, Tuhan dan kebenaran hanya ada dalam agama anda sendiri. Di luarnya hanya ada setan dan kesesatan. Dengan posisi eksklusivis, anda menjadi seorang beragama yang triumfalis: memandang diri sebagai sang pemenang, sang viktor, dan lawan-lawan anda para pecundang.
Dengan posisi eksklusivis, anda memandang sang Matahari hanya bersinar bagi agama sendiri, dan di luarnya hanya ada kegelapan. Matahari ada hanya satu, yaitu agama anda sendiri. Dengan posisi eksklusivis, sang rembulan purnama yang bercahaya terang hanya bisa ditemukan dalam agama anda sendiri. Tak ada sang rembulan lain. Ada hanya satu.

Posisi eksklusivis sangat kuat dianut umat-umat beragama pada umumnya, berhubung ada teks-teks suci yang mendukung posisi ini, yang selalu diulang-ulang dalam setiap kegiatan pembelajaran umat. Terus diindoktrinasikan, tanpa pernah ditinjau ulang keabsahannya atau relevansinya pada zaman sekarang./1/

Dalam gereja, posisi eksklusivis pernah diungkap dalam pernyataan “extra-ecclesiam nulla salus”, artinya: “di luar gereja tak ada keselamatan”. Di luar gereja, orang tak akan menemukan surga. Dengan posisi eksklusivis, anda memandang surga akan dicapai hanya lewat kendaraan agama anda sendiri. Tiket masuk ke surga hanya diberi agama anda. Tak ada kendaraan lain. Tak ada loket lain. Ya, sangat sepi dan lengang. Tak ada kompetisi. Sang viktor sudah ditentukan, ada hanya satu. Jalan lurus menuju surga hanya ada satu, yakni agama anda sendiri. Agama-agama lain adalah jalan-jalan yang bengkok, yang bermuara pada jurang maut yang terjal, yang sudah banyak memakan korban. Tapi anehnya, anda dan banyak orang lain yang eksklusivis tak ingin cepat-cepat masuk surga, tapi menunggu nanti kalau sudah uzur, setelah mengecap sangat banyak kenikmatan dan kesenangan dunia ini.

Ketika perjumpaan agama yang satu dengan agama yang lain makin intensif dan ekstensif, posisi eksklusivis dipandang tak memadai. Tak sesuai fakta di lapangan. Selain itu, karena studi-studi atas agama-agama lain gencar dilaksanakan, dirasa perlu untuk memikirkan posisi lain yang tidak eksklusivis. Maka muncullah posisi yang sedikit lebih maju, yakni inklusivisme. Dengan posisi inklusivis, kebenaran-kebenaran dan wahyu dipercaya ada juga dalam agama-agama lain, tapi dalam jumlah terbatas, tak penuh.

Dengan inklusivisme, diakui dalam agama-agama lain memang ada juga bulan, tapi bukan bulan purnama, hanya setengah bulan atau bulan sabit dengan cahaya yang lemah. Dengan posisi inklusivis, bulan purnama yang sempurna hanya ada dalam agama anda, di luarnya hanya ada bulan-bulan yang bercahaya redup. Jika seseorang mau menjumpai cahaya bulan yang sempurna terangnya, orang ini harus datang ke dalam agama anda. Sang rembulan hanya purnama di dalam agama anda saja.

Dengan posisi inklusivis, anda mengakui ada kebenaran dan wahyu dalam agama-agama lain, cuma hanya secuil, sama sekali tak lengkap. Sebagai penganut inklusivisme, anda menegaskan, jika orang lain mau menemukan kebenaran final atau kebenaran mutlak yang sempurna, orang ini harus masuk ke agama anda.

Dalam inklusivisme, sementara agama-agama lain diakui memiliki kebenaran, agama-agama ini harus berjumpa dengan agama anda jika mau sempurna. Start dimulai dalam agama-agama lain, tapi garis finish terletak dalam dunia agama anda saja. Inilah inklusivisme.

Dalam inklusivisme, anda ramah pada agama-agama lain dan menghargai semuanya, tapi dengan satu catatan penting dari anda, yaitu agama-agama lain hanya akan sempurna kalau bermuara pada agama anda saja. Rembulan-rembulan yang redup akan menjadi purnama jika disedot ke dalam sang rembulan purnama agama anda sendiri. Tidak bisa ada dua atau tiga atau empat bulan purnama. Ada hanya satu bulan purnama, yakni agama anda sendiri.

Dalam inklusivisme, wahyu ilahi dipandang bergerak progresif dari satu agama ke agama lain, dengan muaranya pada agama anda sendiri. Agama-agama lain anda pandang sebagai sungai-sungai yang mengalir, lalu bermuara dalam agama anda sendiri sebagai samudera. Di dalam samudera agama anda, semua agama lain ter-inklusi.

Kendatipun inklusivisme kelihatan lebih terbuka pada kebenaran dalam agama-agama lain, tapi di ujungnya tetap sama dengan eksklusivisme: agama anda agama sempurna, agama-agama lain tidak sempurna meskipun memuat kebenaran-kebenaran juga.

Saat studi-studi atas agama-agama lain mulai dilakukan dengan empatetis, tak lagi dengan perspektif outsider, inklusivisme dinilai tak memadai. Ketika orang mulai melintas batas-batas agama sendiri, lalu masuk ke agama-agama lain, terbenam di dalamnya, inklusivisme ditinggalkan. Ketika agama-agama lain mulai dipahami dengan sudut pandang orang dalam, posisi ketigapun muncul: pluralisme.

Pluralisme adalah sebuah perspektif yang memandang setiap agama sebagaimana penganut agama itu sendiri memandangnya. Pluralisme adalah sebuah model yang paling terbuka dan paling rendah hati dalam menempatkan agama-agama dalam suatu dunia yang ditandai kemajemukan dan keterbukaan. Dalam dunia pluralisme, setiap agama adalah sang rembulan purnama atau sang Matahari yang terang bersinar tanpa tertutup awan gemawan.

Jika inklusivisme mengharuskan agama lain berjumpa dengan agama anda jika mau tiba pada kebenaran sempurna, pluralisme tak demikian. Dengan posisi pluralis, anda memandang setiap agama memiliki autentisitas dan kedalaman yang khas, yang harus dihargai sebagaimana adanya.

Dengan posisi pluralis, anda melihat kebenaran itu tidak monolitis uniform, tetapi plural dan multiform, yang semuanya bersumber dari satu kebenaran multidimensional yang lebih besar. Dengan posisi pluralis, anda memandang kebenaran-kebenaran autentik dalam setiap agama lain sebagai bagian-bagian dari kebenaran yang lebih besar ini, yang memanggil dan menantangnya untuk bergerak maju, mencapai kebenaran-kebenaran yang makin besar dan makin besar lagi, setiap saat.

Kebenaran yang lebih besar ini, yakni kebenaran final atau kebenaran mutlak, tak bisa diserap habis oleh satu agama saja atau bahkan oleh semua agama, kapanpun juga. Kebenaran final atau kebenaran mutlak selalu mengelak ketika mau dikuasai satu agama, bak angin yang sukar bahkan mustahil digenggam, atau bak belut yang sukar atau mustahil dicengkeram oleh tangan. Namun dari perspektif historis insani, penggalan-penggalan kebenaran dari kebenaran final yang ada dalam agama-agama cukup untuk memandu kehidupan manusia ketika agama-agama mula-mula dilahirkan, di suatu tempat tertentu di zaman dulu.

Dalam model pluralisme yang sedang saya gambarkan, metafora lama banyak jalan menuju puncak gunung tak memadai lagi, sebab tujuannya selalu bergeser menjauh dan lebih besar: dari puncak gunung, menjauh ke sang bulan, menjauh lagi ke sang Mentari, menjauh lagi ke galaksi Bima Sakti, menjauh lagi ke galaksi-galaksi lain, menjauh lagi ke jagat raya kita (universe), lalu menjauh lagi ke jagat-jagat raya lain (multiverse), demikian seterusnya. Dengan demikian, dalam pluralisme, beragama itu selalu suatu ziarah menuju masa depan yang tak pernah berakhir, yang menyediakan banyak kemungkinan baru yang menggairahkan, menantang, mencerahkan dan mengejutkan. Berpaling ke belakang hanya sekali-sekali, tapi seluruh konsentrasi diarahkan ke masa kini dan ke masa depan tanpa akhir. Feel and know the present moment and the endless future.

Pengakuan dalam pluralisme atas adanya kebenaran final yang tak bisa habis dikuasai agama apapun, mencegah penyamaan kebenaran final dengan suatu agama. Dalam dunia pluralisme, agama-agama dipandang hanya sebagai wahana-wahana menuju kebenaran final yang tak akan bisa tuntas dicapai.

Dalam rangka mencapai kebenaran-kebenaran yang lebih besar, penggalan-penggalan kebenaran yang ada dalam setiap agama harus dipertemukan untuk fertilisasi silang dan mutual enrichment, pengayaan timbal-balik. Karena itu, dalam rumah pluralisme, dialog dan pengayaan timbal-balik antaragama dijalankan dengan serius dan terus-menerus dalam dunia yang terus berubah. Lewat dialog, para peserta akan bersama-sama melihat apa tugas dan tanggungjawab mereka bersama di dalam suatu dunia dan zaman yang sudah berubah, yang tak sama lagi dengan dunia dan zaman ketika masing-masing agama mula-mula dibangun.

Dalam dunia pluralisme, tak ada agama kelas satu, kelas dua atau kelas tiga; semuanya sederajat dan sama-sama autentik, sama-sama dalam, dan sama-sama khas. Jadi, dalam dunia pluralisme, tak ada agama yang dipandang sama. Justru karena agama-agama berbeda satu sama lain, pluralisme jadi mungkin dijalani. Orang yang menilai pluralisme membuat semua agama sama, orang ini tak paham sama sekali apa itu pluralisme, bahkan tak mengerti arti kata plural.

Dalam dunia pluralisme, dialog dan fertilisasi silang membuat semua peserta dialog tumbuh dan bergerak ke kawasan-kawasan baru yang menakjubkan. Saat seorang Kristen berjumpa dan berdialog dengan seorang Buddhis, si Kristen ini diubah menjadi Kristen plus lewat pengayaan dari Buddhisme. Begitu juga si Buddhis menjadi Buddhis plus karena diperkaya oleh agama Kristen mitra dialognya. Lewat metode ini, setiap agama tersebar makin jauh, tanpa menimbulkan persoalan pemurtadan atau perpindahan agama.

Dalam dunia pluralisme umat-umat beragama saling memperkaya lewat dialog dan fertilisasi silang antaragama, menjadi umat-umat plus. Umat Buddhis plus. Umat Kristen plus. Umat Yahudi plus. Umat Muslim plus. Dan seterusnya. Dengan demikian, dalam dunia pluralisme tak akan terjadi perpindahan agama atau pemurtadan, yang diharuskan terjadi oleh eksklusivisme dan inklusivisme. 

Tapi pada sisi lain, dalam dunia pluralisme seseorang dapat pindah ke agama lain untuk sementara waktu, bisa bertahun-tahun lamanya, suatu kegiatan yang dinamakan “passing over”. “Passing over” dilakukan untuk seseorang mengalami dengan real dan autentik bagaimana hidup sungguh-sungguh di dalam suatu agama lain. Setelah “passing-over”, menyusul “coming-back”, kembali ke agama semula untuk memperkayanya dengan berbagai pengetahuan dan pengalaman yang diterima selama pindah agama. Alhasil, agama semula si pelintas batas ini diperkaya dengan berbagai perspektif baru, tanpa kehilangan jati diri aslinya. Dengan metode ini, agama-agama makin tersebar jauh. Tentu saja, metode ini hanya bisa dijalankan oleh sedikit orang yang telah membekali diri dengan pengetahuan-pengetahuan dan kecakapan-kecakapan yang diperlukan.
Metode passing over dan coming back dianjurkan John S. Dunne dalam kata pengantar bukunya, The Way of All the Earth./2/ Dunne menulis, “Apakah sebuah agama sedang dilahirkan dalam zaman kita? Mungkin saja. Apa yang tampak sedang terjadi adalah sebuah fenomena yang kita dapat sebut ‘passing over’, melintas dari satu kebudayaan ke suatu kebudayaan lainnya. Passing over adalah suatu pergeseran posisi, perpindahan ke posisi suatu kebudayaan lain, ke suatu jalan kehidupan lain, ke suatu agama lain.” Selanjutnya, menurut Dunne, setelah ber-passing over si agamawan melakukan gerak kembali ke agamanya semula: “Ini diikuti oleh suatu proses yang sama cuma dari arah yang berlawanan, yang dapat kita sebut ‘coming back’, kembali dengan membawa wawasan-wawasan baru ke dalam kebudayaan sendiri, ke dalam jalan kehidupan sendiri, ke dalam agama sendiri.” Dunne melihat proses ini sebagai sesuatu yang khas berlangsung dalam zaman kita: “Passing over dan coming back, tampaknya merupakan suatu usaha petualang spiritual yang berani dalam zaman kita.”
Tentu saja akan banyak orang menyatakan bahwa pluralisme membuat orang melakukan sinkretisme, sehingga jati diri asli agama sendiri lenyap, tercampur agama-agama lain. Lalu mereka mengharamkan pluralisme. Di Indonesia, pluralisme telah diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia pada tahun 2005./3/

Tapi, mari kita tengok ke sejarah kelahiran agama-agama, lalu temukan apakah ada agama yang sepenuhnya puritan, tak berinteraksi dengan agama lain? Mari periksa dengan teliti, apakah suatu agama yang diklaim para penganutnya sebagai agama wahyu murni tidak memakai agama-agama lain yang sudah ada sebelumnya sebagai sumber-sumber data, informasi-informasi dan konsep-konsep? Cobalah tengok ke dunia ilmu pengetahuan, apakah ada ilmu pengetahuan puritan, yang tak berinteraksi dengan ilmu-ilmu pengetahuan lain? Cobalah tengok, adakah cara berbudaya yang betul-betul puritan, tak berinteraksi dengan budaya-budaya lain, yang lokal maupun yang global? Cobalah periksa, apakah anda sebagai pribadi tumbuh menjadi dewasa tanpa interaksi sosial, ataukah interaksi sosial justru menjadikan anda pribadi yang makin dewasa? Hanya budaya, agama dan orang yang sudah mati tak akan lagi berinteraksi dengan budaya, agama dan orang lain. 

Mengenai sinkretisme, perhatikanlah apa yang dikatakan oleh Rosalind Shaw dn Charles Stewart dalam buku yang mereka bersama edit, berjudul Syncretism/Anti-syncretism, berikut ini: 
“‘Sinkretisme’ adalah sebuah istilah yang menimbulkan banyak perdebatan, seringkali dipahami sebagai ‘inautensitas’ atau ‘kontaminasi’, atau masuknya simbol-simbol dan makna-makna yang dipandang berasal dari tradisi-tradisi lain yang tidak sejalan, ke dalam suatu tradisi yang dianggap ‘murni’. Namun di dalam antropologi, di mana gagasan-gagasan tentang ‘kemurnian’ tradisi-tradisi selama beberapa waktu tidak dipercaya, sinkretisme diberi signifikansi yang netral dan seringkali positif…. Sebuah pandangan yang optimistik dengan demikian telah muncul di dalam antropologi pasca-modern di mana proses-proses sinkretis dipandang dasariah bukan hanya bagi agama dan ritual tetapi juga bagi ‘kebudayaan umumnya yang sedang berada dalam situasi sulit dan genting’…. Nyaris tidak ada seorangpun yang mau menyangkali bahwa tradisi-tradisi keagamaan yang berlainan telah terlebur menyatu di masa lampau, dan terus berinteraksi dan saling meminjam pada masa kini.”/4/ 
Perhatikan juga apa yang berikut ini dikatakan Charles Stewart: 
“Sesungguhnya setiap kebudayaan atau agama bersifat campuran; keduanya terus berubah dari saat ke saat, dan di sepanjang waktu senantiasa mengambil dan memasukkan unsur-unsur dan ide-ide luar…. Kreolisasi (percampuran), hibridisasi, interkulturasi… kini adalah kaidah, bukan kekecualian…. Mungkin sekali keadaan semacam ini telah berlangsung sangat lama, bukan hanya baru terjadi sejak kolonisasi atau sejak munculnya kapitalisme global. Gagasan tentang suatu tradisi yang murni hanyalah suatu gagasan ideal tetapi juga berbahaya, seperti halnya gagasan tentang suatu ‘ras’ yang murni.”/5/
Jadi, adalah fakta sosiologis bahwa kita hidup dalam suatu dunia yang di dalamnya berbagai faktor berinteraksi terus-menerus membentuk dunia. Tak ada suatu sektor kehidupan yang sama sekali terisolasi dari sektor-sektor kehidupan lainnya. Ada interdependensi dalam kehidupan ini. Ada interaksi dan saling pengaruh antaragama dalam kehidupan masyarakat, sejak dulu hingga kini dan seterusnya. Sinkretisme adalah sebuah kebajikan yang cerdas, sebuah kecerdasan yang bajik. Lewat sinkretisme, kontekstualisasi berlangsung; dan lewat kontekstualisasi, sinkretisme terjadi. /6/ Tetapi pahamilah, kendatipun terjadi pengayaan timbal-balik dan fertilisasi silang antaragama, jati diri fundamental masing-masing agama tidak lenyap, melainkan diperkaya dan terus diperluas.

Dengan demikian, pluralisme menolak indifferentisme: hidup sendiri-sendiri dalam agama sendiri, agama yang satu tak perduli pada agama yang lain, masing-masing hidup dalam dunianya sendiri-sendiri. Yakini agama anda mutlak benar hanya untuk diri anda sendiri. Kata anda, “Aku, aku; engkau, engkau. Agamaku, agamaku; agamamu, agamamu.”/7/ Indifferentisme bukanlah suatu bentuk pluralisme sebagaimana dianggap sementara orang, tapi suatu penyangkalan mendasar atas pluralisme. 

Jika anda menyatakan bahwa anda tak memerlukan pengayaan intelektual dan spiritual dari agama-agama lain, karena agama anda sudah mutlak benar dalam segala hal buat anda sendiri, tentu saja itu hak anda untuk menyatakan demikian. 

Tetapi agama apapun pasti mengajarkan para penganutnya untuk dengan rendah hati mau belajar dari umat-umat beragama lain. Dalam tradisi Islam malah ada sebuah perintah suci dari Nabi Muhammad untuk umat Muslim belajar, menuntut ilmu, sampai ke negeri China. Bahkan dari semut yang eksistensinya sering kita abaikan, kita dapat belajar beberapa hal penting; apalagi dari sesama manusia yang berlainan agama. Pesan saya, jangan gecek seekor semut dengan jempol anda. Belajarlah darinya bagaimana saling memberi salam ketika berpapasan, dan bagaimana bergotongroyong menghimpun makanan untuk persiapan ke depan. Juga tanyalah diri anda sendiri, pelajaran buruk apa yang dapat anda peroleh dari seekor belalang sentadu yang sebelum mencengkeram, menggigit, membunuh dan melahap seekor ulat hidup di depannya, mengangkat kedua belah tangan depannya, mengambil sikap berdoa? Hanya orang yang angkuh dan hidup bak katak di bawah tempurung, atau yang merasa dirinya sudah setingkat dengan Allah yang mahatahu, tak memerlukan pengayaan pengetahuan dan kebijaksanaan dari orang-orang lain yang menganut agama-agama yang berbeda. Tapi bagaimana anda bisa belajar pikiran-pikiran besar para raksasa kebijaksanaan, jika anda tak bisa belajar dari seekor semut dan dari seekor belalang sentadu?

Jika bagi anda agama anda mutlak benar hanya bagi diri anda sendiri, anda sesungguhnya hidup dalam rumah keyakinan anda sendiri, terisolasi dari dunia. Dengan indifferentisme, anda hanya yakin di dalam rumah agama anda sendiri, tak perduli apa kata orang luar tentang agama anda. Artinya: anda hidup dalam delusi. Apakah anda mau bertahan hidup terus-menerus dalam delusi? Atau keluar darinya dan masuk ke dunia luas untuk belajar lebih banyak pengetahuan dan kebijaksanaan?

Akhirnya, adakah kebenaran mutlak atau kebenaran final yang habis tuntas dikuasai suatu agama? Yang dimaksud dengan kebenaran mutlak/final adalah kebenaran yang mencakup segala sesuatu, tak terbatas, tak terlampaui, tak tertandingi, definitif, sudah pasti, tak bisa salah dan tak bisa digugat. Dalam sains jelas tidak ada kebenaran mutlak atau kebenaran final. Tapi dalam teologi, kebenaran mutlak atau kebenaran final itu dipandang ada, yakni diri Allah sendiri. Jika Allah itu sang Kebenaran Mutlak, atau sang Kebenaran Final, itu Allah, bukan agama. Agama tak sama dengan Allah. Agama bukan Allah. Agama apapun tidak bisa menampung keseluruhan diri Allah yang tak terbataspernyataan ini adalah fakta, bukan sebuah dogma.

Jika sebuah agama itu kebenaran mutlak atau kebenaran final, mustinya sudah tercatat dalam kitab suci agama ini segala hal yang ada sejak kosmos terbentuk 13,8 milyar tahun lalu dan terus mengembang, hingga nanti (bermilyar-milyar tahun dari sekarang) kosmos menciut dan surut lagi menjadi singularitas lubang hitam. Faktanya tokh tidak demikian. 

Jika sebuah agama itu kebenaran mutlak atau kebenaran final, seharusnya sudah termuat dalam kitab suci agama ini semua pengetahuan manusia mulai dari yang primitif di zaman sangat purba sampai yang sangat maju di zaman-zaman yang jauh di depan. Faktanya tokh tidak demikian. Tentu anda tahu, ensiklopedi-ensiklopedi ilmu pengetahuan yang telah disusun dan diterbitkan, selalu memerlukan revisi-revisi berkala. Apakah agama anda sebuah ensiklopedi segala ilmu pengetahuan yang serba mutlak dan final? 

Jangan dilupakan, sekarang saja banyak temuan sains modern yang tak mendukung keyakinan-keyakinan keagamaan kita. Selain itu, telaah-telaah ilmiah atas berbagai klaim tentang mukjizat dalam kitab-kitab suci telah berhasil dengan meyakinkan menunjukkan kekeliruan klaim-klaim ini. Dalam dunia Islam, misalnya, Bucaillisme telah dibantah dengan telak./8/ Jadi, tepatkah jika kita mengklaim agama-agama kita atau kitab-kitab suci kita kebenaran mutlak, atau berisi sains yang mutlak benar? Lalu, adakah sains yang benar-benar sains, yang mutlak benar?

Juga harus anda selalu ingat, makin banyak nilai-nilai moral yang ditawarkan agama-agama yang tidak relevan lagi dalam kehidupan kita di masa kini. Jadi, betulkah jika anda mengklaim agama anda kebenaran mutlak? Haruslah disadari, ada banyak cara hidup (individual dan sosial) dan cara berbudaya yang tertulis dalam kitab-kitab suci yang sudah tidak dipraktekkan lagi dalam zaman sekarang. Jadi, tepatkah jika anda mengklaim agama anda sebagai kebenaran final? 

Pendek kata, biarlah kebenaran mutlak dan final berdiam dalam diri Allah, dan janganlah kita jatuh ke dalam dosa syirik dengan menyamakan agama kita dengan Allah sendiri. Inilah kritik pluralisme terhadap siapapun yang memperilah agamanya.

Justru karena kita mengakui agama-agama kita tidak memuat kebenaran final atau kebenaran mutlak, kita dengan bergairah melibatkan diri dalam dialog antaragama untuk mendapatkan kebenaran-kebenaran yang makin bertambah dan makin luas, yang membuat kita makin cerdas dan makin berwawasan luas dan mampu mengoreksi pandangan-pandangan lama dan cara-cara hidup lama kita yang kedapatan tak relevan lagi, keliru atau tidak tepat. Dalam pluralisme, kita, dengan demikian, terlatih untuk menjadi kritis terhadap agama kita sendiri, dan tentu saja terhadap agama-agama lain. Dalam rangka tujuan yang sama ini, kita juga bersama-sama masuk ke dunia ilmu pengetahuan, dan mendialogkannya dengan pandangan-pandangan keagamaan kita. Sebagaimana ditegaskan Dalai Lama dalam konteks Buddhisme, kita perlu bersiap-siap mereformulasi agama-agama kita jika agama-agama kita sudah tak sejalan lagi dengan pandangan-pandangan ilmu pengetahuan tentang segala realitas empiris. Pluralisme sesungguhnya sejalan dengan rasa ingin tahu kita, dengan kuriositas kita, yang mendorong kita untuk mengetahui dengan lebih banyak dan lebih luas lagi, untuk belajar lagi, belajar lagi, setiap hari. Belajar berarti berubah, bergerak, bertumbuh, berkembang, makin maju, makin penuh, makin matang, makin dewasa, dan berbuah.

Dengan demikian, pluralisme membuat kita makin paham siapa Allah yang mahabesar dan mahabenar dan siapa kita insan yang fana dan terbatas dan bagaimana terbatasnya agama kita. Pluralisme membuat anda lebih cerdas dan lebih rendah hati beragama. Tentu setiap agama umumnya mengajarkan para penganutnya untuk rendah hati dan mau belajar terus; tetapi susahnya agama yang sama juga kerap membuat para penganutnya angkuh luar biasa dan sama sekali tak mau belajar lagi karena meyakini diri telah memegang seluruh kebenaran mutlak. Jika anda tipe orang semacam ini, kenalilah dan pahamilah pluralisme; niscaya anda akan berubah radikal.

Mengakhiri tulisan ini, saya mau mengutip sebuah pernyataan Dalai Lama dalam buku yang berjudul A Conversation with the Dalai Lama. Demikian: 
“Pada masa kini, jika saya berupaya untuk menyebarkan Buddhisme sementara para pemimpin keagamaan yang lain juga berusaha menyebarkan Katolisisme atau Islam, maka cepat atau lambat akan terjadi sebuah benturan. Inilah bahayanya. Agama itu penting bagi kemanusiaan, tetapi agama juga harus berevolusi bersama dengan kemanusiaan. Prioritas pertamanya adalah menegakkan dan mengembangkan prinsip pluralisme dalam semua tradisi keagamaan. Jika kita, sebagai para pemuka keagamaan, membudidayakan suatu sikap pluralistik yang ikhlas, maka segala sesuatunya akan lebih sederhana. Adalah baik bahwa kini kebanyakan pemimpin keagamaan sedikitnya mulai mengakui tradisi-tradisi lain, kendatipun mereka dapat tidak menyetujui tradisi-tradisi lain ini. Langkah selanjutnya adalah mengakui bahwa ide mengenai penyebaran agama sudah ketinggalan zaman. Ide ini tidak cocok lagi dengan masa kini.”/9/
Sejalan dengan itu, aktivis sosial Thailand yang menjadi direktur Asian Cultural Forum on Development, Sulak Sivaraksa, menegaskan hal penting berikut ini, yang juga berlaku bagi semua agama:
Tetapi kita harus mengikuti ajaran-ajaran asli sang Buddha dengan cara-cara yang memajukan toleransi dan kearifan yang real. Sama sekali bukan sebuah pendekatan Buddhis jika orang mengatakan bahwa jika setiap orang menganut Buddhisme, maka dunia akan menjadi suatu tempat yang lebih baik. Perang dan penindasan dimulai dari cara berpikir semacam ini.”/10/
Ada banyak guru agung dan ada banyak begawan kebijaksanaan yang muncul dalam pentas sejarah insani dari zaman ke zaman, dari tempat ke tempat, yang berasal dari berbagai latarbelakang agama-agama yang berbeda. Belajarlah dari mereka semua, dengan hati yang bergairah dan pikiran yang tertantang. Jadilah seorang warga cerdas dunia agama-agama, dunia yang plural. Orang-orang semacam ini diperlukan jika kita ingin ke depannya dunia kita menjadi tempat yang damai untuk semua orang dan peradaban kita makin maju dan makin memperlihatkan keagungan spesies kita, homo sapiens.


Notes

/1/ Dalam kitab-kitab suci agama-agama teistik Yahudi, Kristen dan Islam, terdapat teks-teks yang biasa dipakai sebagai landasan mempertahankan eksklusivisme: dalam Tanakh Yahudi Ulangan 13; dalam kekristenan Yohanes 14:6 dan Kisah Para Rasul 4:12; dalam Islam QS Al-Imran 3:19 dan 3:85.

/2/ John S. Dunne, The Way of All the Earth: Experiments in Truth and Religion (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1986). Lihat juga Dunne, A Search for God in Time and Memory (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1987).    

/3/ Fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme, liberalisme dan sekulerisme, yang dikeluarkan 28 Juli 2005, terpasang online di http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/fatwa-mui-tentang-pluralisme-liberalisme-dan-sekulerisme-agama.htm#.UrpcBfurZBQ.

/4/ Rosalind Shaw dan Charles Stewart, eds., Syncretism/Anti-syncretism: The Politics of Religious Synthesis (London dan New York: Routledge, 1994), hlm. 1 ff. 

/5/ Rosalind Shaw dan Charles Stewart, eds., Syncretism/Anti-syncretism, hlm. 127.

/6/ Buku bagus, yang mengulas sinkretisme secara komprehensif, telah disusun oleh Anita Maria Leopold & Jeppe Sinding Jensen, eds., Syncretism in Religion: A Reader (New York: Routledge, 2005; cetakan pertama 2004). Sinkretisme dalam tiga agama monoteistik Yahudi, Kristen dan Islam telah diperlihatkan oleh Eric Maroney, Religious Syncretism (London: SCM Press, 2006). Perhatikan juga Robert J. Schreiter, Constructing Local Theologies (prawacana oleh Edward Schillebeeckx; Maryknoll, New York: Orbis Books, cetakan pertama 1985; cetakan kedelapan 1999), khususnya bab 7. Ihwal relasi kontekstualisasi dan sinkretisme, telah dikupas oleh Gailyn van Rheenan, ed., Contextualization and Syncretism: Navigating Cultural Currents (William Carey Library Pub., 2006). Tentang aspek-aspek politik dalam sinkretisme, lihat Rosalind Shaw and Charles Stewart, eds., Syncretism/Anti-Syncretism: The Politics of Religious Synthesis (London & New York: Routledge, 1994).
 

/7/ Bandingkan teks QS Al-Kafirun 109:6, “Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku”.  

/8/ Sebagai contoh, semua klaim umat Muslim bahwa Al-Quran berisi sejumlah teks tentang mukjizat yang telah dibenarkan secara ilmiah, telah dibantah dengan kuat lewat telaah-telaah ilmiah. Lihat 50 video serial bantahan ini di The Islam Miracle: The #1 Site for Debunking Science and Proof in the Quran, pada http://www.youtube.com/TheIslammiracle, dan juga di https://www.youtube.com/watch?v=ZAK6fQQALE4. Dengan bantahan-bantahan yang kuat ini, rontoklah juga pandangan Maurice Bucaille (1920-1998), seorang dokter medis Prancis, anggota Societas Egyptologi Prancis, yang lewat bukunya The Bible, The Quran and Science (terbit 1976) menyatakan bahwa Al-Quran tak memuat satupun pernyataan yang bertentangan dengan fakta-fakta sains, bahwa Al-Quran sejalan dengan fakta-fakta sains sedangkan Alkitab tidak. Dari situ, dia menyimpulkan bahwa agama Islam adalah agama yang logis dan saintifik. Bucaillisme sekarang umumnya sudah tidak laku lagi; tentang ini lihat antara lain Mashuri, “Islam, Science, dan Bucaillisme”, Mashuri Weblog 26 Januari 2007, pada http://mashuriweblog.wordpress.com/2007/01/26/islam-science-dan-bucaillisme/.  

/9/ Dalai Lama, Fabien Ouaki, dan Anne Benson, A Conversation with the Dalai Lama on Money, Politics, and Life as It Could Be (Somerville, MA: Wisdom Publications, 1999), hlm. 58-59. 

/10/ Sulak Sivaraksa, Seeds of Peace: A Buddhist Vision for Renewing Society. Prakata oleh Dalai Lama. Pengantar oleh Thich Nhat Hanh (Berkeley, California: Parallax Press, 1992), hlm. 68.