Friday, September 28, 2012

Akan majukah sains di Indonesia?

Jika negeri kita mau maju pesat, dan menjadi sebuah negara dan bangsa terhormat di dunia, jalannya jelas bukanlah lewat agama, tetapi lewat sains dan lewat ekonomi. 

Semula agama muncul untuk mengeluarkan manusia dari zaman kegelapan; tapi kini telah bermuncullan banyak indikasi bahwa agama justru sedang membawa manusia kembali ke zaman kegelapan. 

Ini sindiran Dr. Rocky Gerung, dosen Universitas Indonesia, beberapa waktu lampau: kalau di negeri kecil Taiwan teropong digunakan untuk meneropong angkasa, mencari planet-planet lain yang seperti Bumi, di Indonesia yang besar teropong malah dipakai untuk meneropong vagina remaja putri sekolah untuk tujuan-tujuan keagamaan mempertahankan akidah dan akhlak!

Di tengah situasi semacam ini, bisa jadi ilmu pengetahuan (sains) sudah dan sedang mengambil fungsi agama yang semula itu, yakni membawa manusia ke zaman pencerahan dan kehidupan yang lebih berbahagia dan lebih bermoral. Jadi, marilah kita datang ke dunia sains, dan merangkulnya.

Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kita, Muhammad Nuh, pada 26 September 2012 yang baru lewat, dari 1 juta penduduk Indonesia hanya ada 98 orang bertitel doktor (stratum 3). Di seluruh negara kita, baru tersedia
23.000 doktor. Sangat, sangat kurang!

Malaysia, negeri yang jauh lebih kecil dari Indonesia, memiliki doktor sejumlah 14.000 orang. Dari 1 juta penduduk Malaysia, ada 300 orang doktor. Dilihat dari jumlah penduduk dan luas wilayah, jelas Malaysia unggul dari Indonesia dalam menyediakan doktor.

Bagaimana dengan Jepang, negeri berperadaban maju di Asia yg sedang berkembang? Di Jepang, tersedia total 819.000 doktor. Dari 1 juta penduduk Jepang, ada 6.418 doktor. Jadi, dibandingkan prestasi Jepang dalam menyediakan doktor, negeri kita, Indonesia, jauh ketinggalan!

Negeri kita ini kebanyakan selalu kalah dengan negara-negara lain yang bertetangga dekat dan bertetangga lebih jauh, dalam banyak bidang. Mungkin kita hanya menang dalam bidang kepiawaian bangsa kita, khususnya para penguasa negeri kita, untuk korupsi. Kemudian, kita mahir membenturkan agama dengan agama, sambil tertawa ngikik kesenangan. Seniman kita pun, khususnya yang mengaku diri tokoh agama, pandai memainkan isu SARA hanya untuk kepentingan sesaat kampanye pemenangan pemilihan pejabat kota.

Kita jauh lebih terangsang kalau mendiskusikan ngelmu santet, ketimbang mendiskusikan ilmu pengetahuan modern. Mungkin ada positifnya: Kalau santet berhasil dikaji dan dibuktikan secara saintifik, mungkin negeri kita akan beken di dunia sebagai penemu cabang fisika baru; dan sejumlah juru santet akan mendapat Hadiah Nobel. Lalu, lewat santet, kita bisa menjadi juara dunia sepak bola! Caranya? Ya, mudah: lewat santet, kirim saja paku dan jarum ke kaki semua pemain lawan, supaya mereka pengkor di lapangan sepak bola, sehingga kesebelasan kita akan pasti bisa mengalahkan mereka semua.

Ah, anda, ioanes, menyindir terus bangsamu!

OK, kembali serius: Menurut sang menteri kita di atas, masih ada harapan untuk negeri kita meningkatkan jumlah doktor. Karena, katanya, ada dana abadi tersedia untuk meningkatkan kemajuan dunia Litbang dan dunia HRD bangsa kita, besarnya Rp 15 Triliun. Dari bunganya, katanya, dia bisa menyediakan dana untuk merekrut sejumlah orang Indonesia (non-PNS dan non-dosen) menjadi doktor dalam 3 tahun ke depan, dalam jumlah cukup signifikan, sehingga total doktor di negeri kita tahun 2014/2015 akan ada 30.000 orang.

Nah, jika jumlah doktor yang tersedia mencerminkan keseriusan suatu bangsa untuk maju meraih dan menguasai sains, carilah orang-orang berkualitas di negeri kita yang mau disekolahkan menjadi doktor. Kalau anda mau dan yakin mampu, kontaklah sang menteri P dan K kita, sekarang. Habis, kapan lagi?