Thursday, June 14, 2012

Asal-usul Agama: Sebuah Sketsa

Thor, Dewa guntur, dalam kostum modern

Agama adalah salah satu pranata primordial yang bisa membangun solidaritas demi survival (ketahanan hidup) manusia, dulu sekali, ketika baru muncul.

Sejauh ada bukti arkeologisnya, agama tertua muncul 70.000 tahun yang lalu di Afrika Selatan./1/ Dus, dibandingkan umur Bumi 4,5 milyar tahun, dan umur spesies homo sapiens 300.000 tahun,/2/ agama adalah suatu fenomenon yang masih sangat muda belia. Hal ini berarti bahwa selama 230.000 tahun homo sapiens hidup tanpa menganut agama apapun. 

Karena setiap masyarakat pasti memerlukan seperangkat aturan moral untuk mengelola kehidupannya, kita jadi bertanya, dari manakah nenek moyang kita selama 230.000 tahun memperoleh moralitas, sementara agama belum dilahirkan? Ihwal tentang apa yang sesungguhnya menjadi sumber moralitas, telah penulis beberkan dalam sebuah tulisan lain./3/

Jika moralitas muncul dari suatu sumber, demikian jugalah agama. Dari mana agama pada awalnya dilahirkan? Salah satu faktor penyebab lahirnya agama pada awalnya adalah pertanyaan dari mana asal segala yang ada yang bisa dilihat manusia dengan mata telanjang. Untuk menjawab pertanyaan tentang asal-usul segala yang ada, termasuk asal-usul dirinya, nenek moyang homo sapiens belum sanggup berpikir saintifik.

Sebagai jawaban atas pertanyaan dari mana asal-usul semua yang ada, nenek moyang kita menyusun mitologi-mitologi, bukan membangun sains. Mitologi tertua yang disusun 70.000 tahun lalu menjawab: manusia berasal dari kandungan ular python, dan karena itu mereka menyembah ular ini dalam ritual keagamaan mereka.

Kemampuan bertanya dari mana asal-usul segala yang ada sudah disediakan oleh sistem saraf dalam otak homo sapiens, berupa kuriositas, yakni dorongan ingin tahu segalanya. Dorongan ini menyebabkan manusia ingin tahu hubungan-hubungan yang ada antar segala fenomena kehidupan yang mereka temukan. Kemampuan mencari sebab (cause) dari segala yang ada (effect), atau kemampuan berpikir kausal, telah tertanam dalam otak kita. Kemampuan menganalisis hubungan sebab-akibat (atau kausalitas) adalah fondasi sains yang terpenting di zaman yang jauh kemudian. Nenek moyang homo sapiens baru mampu mengonstruksi mitologi ketika mereka menganalisis hubungan sebab-akibat.

Kebutuhan survival, atau kebutuhan bertahan hidup dalam kondisi-kondisi yang sulit, menyebabkan nenek moyang kita menyelidiki hubungan-hubungan kausal antar berbagai fenomena kehidupan. Ketika fakta didapati anak sakit lalu mati tak tertolong, atau tetumbuhan didapati tak memberi hasil, fakta ini memacu timbulnya dorongan survival dengan kuat. Dorongan untuk survival ditanam oleh gene homo sapiens dalam sel-sel saraf organ otak. Sekali lagi, pada awal kehidupan homo sapiens, berpikir analitis kausal tidak melahirkan sains tapi mitologi. Nenek moyang kita bertanya, Mengapa turun hujan, Mengapa guntur menggelegar, Mengapa Matahari mendadak gelap, Mengapa anak sakit lalu mati, Mengapa tumbuh-tumbuhan tak mengeluarkan buah, Mengapa ada siang dan mengapa ada malam, Mengapa kalah dalam perang, dst. Semua pertanyaan ini dijawab lewat mitologi, dengan semua fenomena alam dan benda-benda hebat dalam kosmos dipersonifikasi dan dideifikasi. Maka jadilah guntur yang menggelegar, misalnya, dipersonifikasi dalam diri Thor, sang Dewa perkasa yang memegang sebuah martil besar yang dahsyat, yang bisa mengeluarkan halilintar. Mengapa guntur menggelegar dan halilintar menyambar-nyambar? Lewat mitologi nenek moyang kita menjawab: Karena Dewa Thor sedang geram!

Kuriositas atau dorongan ingin tahu segalanya yang diungkap dalam pertanyaan Mengapa, membuat homo sapiens berpikir analitis kausal. Kuriositas adalah juga salah satu faktor penting yang di zaman yang jauh kemudian melahirkan cara berpikir saintifik. Namun dalam zaman nenek moyang homo sapiens, kuriositas hanya bisa menghasilkan mitologi, bukan sains. Agama tertua yang lahir di Afrika Selatan 70.000 tahun lalu adalah mitologi, demikian juga agama-agama lain yang tersusun seterusnya, sampai sains modern muncul menantang semua mitologi ini dan menggantikannya dengan penjelasan-penjelasan saintifik.

Selain karena didorong oleh pertanyaan tentang dari mana asal segala yang ada, dan oleh kebutuhan survival, agama lahir juga karena pertanyaan lain. Pertanyaan berikutnya tak lagi etiologis (yakni pertanyaan tentang asal-usul), tapi teleologis: Ke mana segalanya akan berakhir? Apa tujuan semua yang ada? Sejalan dengan musim-musim yang bersiklus silih berganti, pertanyaan teleologis juga dijawab dalam kerangka siklus alam. Memandang waktu bergerak secara linier, ada titik awal dan ada titik akhir, bukan siklikal, baru muncul jauh belakangan.

Ketika nenek moyang kita mendapati semua anggota komunitas mereka yang mati akhirnya menyatu dengan tanah, mereka menemukan teleologi. Tubuh manusia yang mereka lihat menjadi tanah di akhirnya, membuat mereka juga menemukan asal-usul manusia, etiologi tentang manusia, diri mereka sendiri. Kalau di ujungnya setiap manusia dilihat menjadi tanah, maka, dalam cara berpikir siklikal, asal-usul manusia pastilah tanah juga. Kisah Taman Eden dalam kitab suci Yahudi-Kristen, kisah yang ditulis pada abad 10 SM, adalah etiologi yang ditulis berdasarkan teleologi.

Salah satu perkembangan dan mutasi genetik sel-sel saraf otak manusia yang memunculkan spesies homo sapiens adalah terbangunnya kesadaran diri, atau consciousness. Kesadaran diri hanya ada dalam hewan spesies homo sapiens, tak ada dalam jenis hewan mammalia lain. Dari consciousness ini, muncullah pertanyaan-pertanyaan: Siapa saya? Dari mana saya? Ke mana saya akan pergi? Apa tugas saya? Mengapa saya hidup? Mengapa saya ada di sini?

Kesadaran diri yang muncul dalam diri homo sapiens adalah juga sebuah faktor lain yang mendorong lahirnya agama, dari yang primitif sampai yang sudah berkembang. Harus dicatat, consciousness yang muncul ini, pada zaman nenek moyang homo sapiens, tak membuat mereka memandang diri terpisah dari alam. Dalam agama-agama alam tertua, tak ada pandangan bahwa manusia adalah makhluk tertinggi, lebih superior dari makhluk lain atau dari alam. Nenek moyang homo sapiens memahami diri mereka sebagai bagian tak terpisah dari alam, bahkan tak terpisah dari dunia dewa-dewi. Nah, consciousness ini membuat nenek moyang homo sapiens mengonstruksi agama yang di dalamnya tempat manusia dalam jagat raya direnungi dan dibeberkan, lewat mitologi.

Apakah anda tahu filosofi Jawa sangkan paraning dumadi?

Kita tahu, pertanyaan-pertanyaan tentang identitas diri, yang muncul dari kesadaran diri, jika tak dijawab, sangat meresahkan siapapun dari antara kita. Nah, salah satu tujuan agama dibangun pada awalnya adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang identitas dan status diri manusia sendiri serta tempatnya dalam jagat raya. Ketika pertanyaan-pertanyaan ini terjawab lewat mitologi, lewat agama, rasa resah pun sirna. Dalam setiap agama pasti ada antropologi dan psikologi kuno, yang menjadi bagian dari worldview agama ini.

Bersamaan dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan jati diri manusia sendiri, muncul juga pertanyaan-pertanyaan serupa tentang setiap benda dan fenomena lain dalam alam ini. Benda dalam alam yang paling kuat menimbulkan pertanyaan dalam diri homo sapiens di zaman kuno adalah bintang Matahari kita. Benda apakah Matahari ini? Mengapa benda ini begitu dahsyat dan penuh kuasa? Mengapa benda ini menjadi raja dalam alam raya? Maka tidaklah heran, jika pemujaan Matahari menjadi salah satu unsur terkuat dalam agama-agama, sejak zaman kuno. Bahkan kekristenan yang muncul jauh kemudian, mengenakan gelar Sol Invictus, sang Matahari tak terkalahkan, kepada Yesus Kristus, junjungan mereka, gelar yang diambilalih dari paganisme Romawi. Semua benda di angkasa, bagi nenek moyang kita, bukan hanya benda, tetapi makhuk-makhluk hidup, dewa dan dewi, allah-allah dan tuhan-tuhan, yang mereka sembah.

Tapi, jangan sampai lupa, pada awalnya agama-agama muncul juga karena kebutuhan politik komunitas. Sang pemimpin komunitas, yang dipilih karena kharismanya, dan karena keunggulannya dalam leadership, dalam pertarungan dan dalam perang, perlu diberi legitimasi ilahi. Dalam zaman kuno, legitimasi ilahi kepada sang pemimpin diungkap dalam kisah-kisah suci tentang asal-usul dirinya, kehebatannya, jalan kehidupannya dan akhir kehidupannya.

Dalam zaman kuno, legitimasi ilahi tidak saja diberikan kepada sang pemimpin, tapi juga kepada asal-usul komunitas dan tugas serta peran mereka dalam dunia. Mengasal-usulkan sang pemimpin dan komunitas dari dunia ilahi (sebagai anak Allah, titisan Dewa, bangsa pilihan, umat yang kudus, dlsb) sangat membantu timbulnya dorongan survival. Jika anda dipilih Presiden SBY sebagai satu-satunya wakil Indonesia untuk suatu tugas internasional, status anda ini menimbulkan dorongan kuat dalam diri anda untuk tampil unggul. Pada zaman kuno sekularisme belum dikenal dan tidak dipraktekkan, sehingga surga, dewa-dewi, Allah, manusia, dunia, berinteraksi, lewat mitologi. Dalam dunia yang semacam ini, Allah atau Dewa menjadi manusia dan bahkan manusia menjadi Allah atau Dewa.

Dalam sejarah perkembangan pemikiran keagamaan, dewa-dewi atau tuhan-tuhan yang semula, dalam kurun yang sangat panjang, banyak jumlahnya (politeisme), akhirnya dengan sadar disusutkan sehingga hanya tinggal satu Dewa atau satu Tuhan yang dipandang maha esa dan maha kuasa. Ada banyak faktor yang berperan dalam kelahiran monoteisme. Kebutuhan untuk mengunggulkan sang Dewa suatu suku bangsa di atas semua dewa lain dari suku-suku bangsa lain yang ada di sekitar membuat, mula-mula, dewa-dewa suku-suku bangsa lain disubordinasikan di bawah sang Dewa dari suku yang mengklaim (atau menganggap) diri paling unggul, lalu, kemudian, dewa-dewi lain ini bukan hanya disubordinasikan tetapi dihilangkan sama sekali. Jelas, dalam hal ini monoteisme lahir karena kebutuhan politik: sang Dewa dari suku bangsa yang terunggul (atau yang menganggap diri terunggul) haruslah satu-satunya sang Dewa penguasa jagat raya. Jika di Bumi suatu bangsa unggul (atau menganggap diri unggul), maka di langit Dewa bangsa ini harus juga unggul! 

Selain itu, monoteisme juga lahir dari pertarungan politik domestik antar-para pemimpin suatu suku bangsa yang diakhiri dengan kemenangan sang pemimpin terkuat. Sang pemimpin terkuat yang tampil sebagai pemenang ini lalu menegakkan monoteisme untuk dua kebutuhan: pertama, untuk mempersatukan bangsanya, yang semula menyembah banyak dewa, di bawah payung hanya satu Dewa, yaitu sang Dewa yang disembah sang pemimpin pemenang, yang dipandang sebagai Dewa terunggul; kedua, memberi legitimasi ilahi pada sang pemimpin pemenang sebagai utusan atau wakil eksklusif satu-satunya dari satu-satunya Dewa yang kini disembah seluruh bangsanya, tentu lewat tindakan represif militeristik. Monarkhi dan monoteisme semula berjalan beriringan. Lewat monoteisme, monarkhi dilanggengkan, dan lewat monarkhi, monoteisme juga dilanggengkan. 

Itulah sketsa yang jauh dari lengkap mengapa manusia mengonstruksi agama, sejak zaman kuno hingga zaman yang lebih kemudian. Semula, tujuan agama disusun oleh nenek moyang kita adalah untuk survival komunitas. Tapi di zaman modern ini, agama tampil dalam wajah yang lain, yakni sebagai faktor pemecah belah umat manusia dan pemicu kekerasan dan perang.


Catatan-catatan

/1/ Reportase tentang temuan arkeologis ini tersedia online di http://www.afrol.com/articles/23093.

/2/ Lihat L. Vigilant et al., “African Populations and the Evolution of Human Mitochondrial DNA”, dalam Science 253, no. 5027 [1991], hlm. 1503-1507.

/3/ Tersedia online di http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2012/05/asal-usul-moralitas.html.