Saturday, September 11, 2010

5 Roti dan 2 Ikan, Yang Makan 5000 Orang



Yesus memberi makan 5000 orang dengan 5 ketul roti dan 2 ekor ikan. Tetapi, jika betul, mengapa masih ada kelaparan begitu parah dalam kehidupan dunia di abad ke-21 ini? Ironisnya, yang sekarang terjadi adalah mukjizat 5000 roti dihabiskan tuntas hanya oleh 5 orang lelaki berperut buncit!
― ioanes rakhmat

N.B. editing mutakhir 20 Agustus 2021


Pendahuluan

Kalangan Kristen apologet literalis menerima tuturan injil-injil Perjanjian Baru tentang Yesus memberi makan 5000 orang dengan hanya 5 ketul roti dan 2 ekor ikan, dengan sisa 12 bakul penuh (Markus 6:30-44 dan par.), sebagai tuturan sejarah faktual apa adanya.

Bagi mereka, dengan memakai iman sebagai senjata pamungkas pertahanan diri, kisah ini adalah kisah sejarah faktual, yang hanya perlu diterima kebenarannya tanpa ragu, dan tak perlu diadakan investigasi saintifik untuk memeriksa faktualitas kisah ini. 

Mereka sama sekali mengenyampingkan berbagai ciri dan sifat hiperbolik serta tujuan kisah-kisah hebat skriptural religius yang ditulis sebagai media propaganda ideologis, devosional, misiologis, dan apologetis.

Iman keagamaan memang kerap memblokir pemikiran kritis dan maju, lalu mematikannya selamanya. 

Tetapi ada jenis iman keagamaan yang mendorong orang untuk selalu mencari tahu hal-hal yang baru, atau memotivasi orang untuk dengan kritis dan berwawasan mengevaluasi hal-hal lama yang sudah dimapankan, untuk menemukan hal-hal yang baru dan mengejutkan, dan lebih maju. 



Kuriositas atau rasa ingin tahu adalah suatu motor kognitif penggerak yang membuat ilmu pengetahuan terus maju dan berkembang. Kuriositas mendorong orang mencari dan mengetuk, untuk menemukan dan gerbang ke pengetahuan dibuka. 


Sabda Yesus, "Kasihilah Tuhan Allahmu dengan...segenap akal budimu"; juga "Carilah, maka kamu akan mendapatkan; ketuklah, maka pintu akan dibukakan." Akal budi dan rasa ingin tahu atau kuriositas, diberi tempat luas oleh Yesus dalam orang menjadi para pengikut-Nya. Inilah iman yang mencerdaskan dan memperluas cakrawala pengetahuan.

Kuriositas perlu dibudidayakan, dikembangkan, sehingga makin membesar dan meluas, dan jangan anda "pendam dalam tanah". 

Ketika kuriositas makin berlipat ganda, kemampuan anda untuk berpikir kritis evaluatif makin membesar juga. Bahkan anda akan dengan gembira dan sadar penuh memikirkan dengan kritis setiap pemikiran kritis anda sendiri. "Thinking about your own thinking". Jika ini dapat anda lakukan, anda memiliki apa yang dinamakan "metacognitive skill" sebagai salah satu "soft skills" yang kini dipandang lebih berperan besar dibandingkan "hard skills" dalam membuat anda hidup sukses.

Jika begitu, mengapa anda malah memilih iman yang mematikan akal kritis anda?

Di saat pemikiran kritis sudah dibunuh, maka orang pun hanya bisa menyangkal fakta-fakta, hidup "in denial". Tentang sindroma psikologis "in denial", saya sudah tulis panjang lebar. 

Bacalah jika anda mau menjadi orang yang membuka diri terhadap fakta-fakta, dan tidak digigit oleh fakta-fakta, tetapi, sebaliknya, fakta-fakta makin memperdalam pengenalan diri anda dan memperluas horizon pengetahuan dan kearifan kehidupan anda, jauh ke depan. Ini tautannya https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2012/07/denial-apa-penyebabnya.html?m=0./1/

Ketika sudah terkerangkeng oleh "denialisme", maka orang pun memberi reaksi makin keras dan membuta terhadap fakta-fakta dan kebenaran-kebenaran yang sudah diargumentasikan. Selain itu, mereka makin yakin tanpa dasar bahwa diri merekalah yang tetap benar. Lalu mereka menyerang balik kebenaran-kebenaran dengan caci maki yang sangat keras. 

Alih-alih memakai argumen-argumen cerdas dalam debat terpelajar, mereka malah memakai argumentum ad hominem: hantam kromo menyerang pribadi orang yang berpendirian berbeda, yang mereka tidak kenal, yang mereka sama sekali tidak pernah jumpai. Mereka menusuk dari belakang. Mereka menebar fitnah tanpa bisa ditahan, sementara mulut mereka yang sama memuji-muji Yesus.

Itulah semua yang dinamakan "backfire effect" atau efek bumerang, yang umum terjadi jika kalangan terpelajar sedang berhadapan dengan para apologet pecundang.

Tentu, manusia tidak dapat hidup dengan baik jika tanpa kepercayaan, tanpa iman. Bisa percaya dan beriman adalah salah satu kemampuan yang bersumber dari kapasitas kognitif otak kita. 

Tetapi, sekali lagi, bentuk dan isi iman tidak cuma satu. Ada banyak bentuk dan isi iman keagamaan yang membangun kehidupan, menumbuhkan dan mengembangkan pengetahuan dan kecerdasan, dan membudidayakan kebajikan dan keagungan. Rangkullah iman yang membangun semacam itu, dan lepaskanlah iman yang akan merusak kehidupan dan kebaikan, yang membunuh akal budi, kecerdasan dan pengetahuan.

Ingatlah, Tuhan itu mahatahu, dus Dialah sumber segala pengetahuan. Jadi, orang yang berjalan mengikuti rasa ingin tahu mereka, untuk mendapatkan pengetahuan-pengetahuan yang makin banyak dan tanpa batas, adalah orang-orang yang sedang berjalan menuju Tuhan, lewat jalan ilmu pengetahuan yang tak memiliki ujung. Niscaya, para ilmuwan yang berintegritas adalah hamba-hamba Tuhan juga, para pencari dan penemu Tuhan tahap demi tahap, kawan-kawan Tuhan.

Well, kontras dengan posisi kalangan literalis skriptural itu, kalangan Kristen kritis non-literalis memahami kisah mukjizat pemberian makan 5000 orang ini sebagai sebuah kisah teologis, sebuah metafora, sebuah perumpamaan, a parable. Tentu, sebuah metafora besar. Di akhir tulisan ini, saya akan menjelaskan metafora itu apa. Sudah pasti, metafora bukan kiasan.

Sebagai sebuah metafora, sebuah kisah teologis besar, kisah ini tidak bermaksud mengisahkan sejarah faktual apa adanya, tetapi mau menyampaikan pesan-pesan teologis dalam rangka pembinaan komunitas dan pembangunan devosi atau dalam rangka propaganda misiologis agama.

Sebuah pesan teologis bukanlah sebuah berita tentang suatu peristiwa sejarah, tetapi sebuah berita yang disampaikan untuk membangkitkan antara lain sebuah penyembahan dan pengagungan, sebuah sikap devosional reverensial, suatu sikap takjub, terhadap figur-figur besar yang dikisahkan di dalam kisah-kisah skriptural. 

Sejarah bersangkutpaut dengan dunia ini, "this world"; sedangkan kisah-kisah teologis atau teologi pada umumnya terfokus pada, dan masuk ke dalam, dunia yang lain, "the otherworld", dunia transenden, dunia nilai-nilai, dunia adinilai, dunia yang ada "di seberang" dunia sehari-hari kita, kawasan yang "melampaui" kawasan rutin sehari-hari kita yang dapat kita persepsi dengan lima indra kita.

Well, mari kita adakan investigasi kritis lebih jauh terhadap kisah ini. Akal yang cermat adalah karunia besar dari Tuhan. Perlu diulang: Kasihi Tuhan dengan segenap akal-budimu. Itu permintaan Yesus. Ucap Yesus juga, "Carilah, maka kamu akan mendapatkan; ketuklah, maka pintu akan dibukakan." 

Jelas, Yesus mendorong orang untuk mengikuti rasa ingin tahu mereka. Tak pernah Yesus mengajar para pengikut-Nya untuk membenci dan menolak keras akal budi, rasa ingin tahu dan pengetahuan.

Yang kita punya kisah-kisah

Harus diingat betul-betul bahwa yang ditemukan dalam Alkitab bukan mukjizat-mukjizat, tetapi kisah-kisah tentang mukjizat. Pembaca masa kini bukanlah penyaksi mukjizat-mukjizat yang dikisahkan di dalamnya, tetapi hanya sebagai para pembaca kisah-kisah itu. 

Kisah-kisah tentang mukjizat harus diterima apa adanya, yakni sebagai kisah-kisah. Memperlakukan kisah-kisah tentang mukjizat sebagai sama dengan fakta-fakta mukjizat empiris objektif adalah suatu lompatan yang terlampau jauh, melampaui keterbatasan kisah-kisah yang ditulis sebagai karya-karya sastra.

Selain itu, harus senantiasa diingat bahwa kisah-kisah mukjizat dalam kitab suci apapun tak pernah dimaksudkan untuk ditujukan kepada para pembaca modern oleh para penulis kisah-kisah ini dulu.

Kita sebagai pembaca modern atas kisah-kisah dalam kitab suci adalah para penyelundup, yang memaksa masuk ke dalam dunia kisah kuno dan ke dalam dunia kuno para penulis kisah-kisah ini. Selalu ada kesenjangan sejarah (= kesenjangan temporal) dan kesenjangan budaya (= kesenjangan pemikiran) antara kita para pembaca modern dan para penulis kitab-kitab suci kuno.

Lagi pula, dalam Perjanjian Baru, kisah-kisah tentang mukjizat Yesus ditulis bukan oleh para saksi mata. Selalu akan ada kesenjangan antara apa yang dikisahkan (misalnya oleh penulis Injil Markus di tahun 70) dan apa yang faktual telah terjadi (yang dilakukan Yesus pada awal tahun 30-an ketika Yesus aktif di masa dewasa). 

Kalaupun para penulis kisah-kisah mukjizat memakai tradisi-tradisi lisan yang berawal pada masa kehidupan Yesus, semua tradisi lisan disebarkan tidak apa adanya, melainkan selalu mengalami penyuntingan, editing, sehingga mengalami banyak perluasan, penambahan, pembesar-besaran, dan perubahan, ataupun penyusutan, sehingga kisah-kisah ini makin jauh dari fakta-fakta di masa lampau. Penyuntingan juga terjadi pada tradisi-tradisi lisan yang sudah dibuat tertulis.

Penyuntingan adalah suatu langkah hermeneutik yang serius dan penting, dilakukan untuk berbagai kebutuhan, antara lain untuk merelevansikan atau mengaktualkan cerita dan kisah zaman dulu yang ditulis di zaman lain dan di tempat lain, bagi zaman, lokasi dan persoalan lain yang menjadi konteks kehidupan para penyunting kemudian hari.

Sebagai kisah-kisah, kisah-kisah tentang mukjizat dapat dianalisis secara rasional ilmiah, dengan mengajukan antara lain pertanyaan-pertanyaan berikut:

• dalam konteks sosial-kultural historis dan religius apa kisah-kisah itu ditulis;

• faktor-faktor apa yang berperan di dalam penulisan kisah-kisah itu;

• untuk kisah-kisah tentang mukjizat dalam Perjanjian Baru, adakah kisah-kisah paralel yang dapat ditemukan dalam dunia Greko-Romawi, dan dalam Perjanjian Lama;

• apa tujuan penulisan kisah-kisah tentang mukjizat dalam konteks sejarah dan kebudayaan luas dunia Greko-Romawi, dan dalam konteks dunia sastra kontemporer sekitar;

• ditempatkan dalam konteks zamannya dan dalam konteks temuan-temuan arkeologis mutakhir dan kajian-kajian antropologis lintas-budaya, dan jika ditinjau dari sains modern, apakah ada hal-hal yang dikisahkan yang tidak mungkin terjadi dalam sejarah;

• termasuk ke dalam jenis sastra (literary genre) apakah kisah-kisah tentang mukjizat itu. Kebenaran dan cara penyampaian suatu jenis sastra berbeda dari kebenaran dan cara penyampaian jenis sastra lainnya;

• dalam konteks seluruh dokumen sastra yang memuat kisah-kisah mukjizat itu, apa fungsi sastrawi dari kisah-kisah tentang mukjizat itu;

• dan mengapa kisah-kisah ini muncul dalam suatu konteks sastra tertentu dan bukan dalam suatu konteks sastra lainnya.

Kisah tentang Yesus memberi makan lima ribu orang (laki-laki) dengan lima roti dan dua ekor ikan, pertama-tama adalah kisah, bukan fakta langsung. Di sini kita berhadapan dengan kisah injil tentang mukjizat Yesus, bukan dengan mukjizat Yesus itu sendiri.

Oh ya, warga gereja kebanyakan tidak menyadari bahwa hanya dalam Injil Yohanes dikatakan bahwa Yesus sendiri langsung membagi-bagikan makanan itu kepada lima ribu orang itu (Yohanes 6:11); sedangkan dalam injil-injil lainnya para murid Yesuslah yang membagi-bagikan makanan yang sebelumnya mereka telah terima dari Yesus. 

Perbedaan pengisahan tersebut memperlihatkan adanya perbedaan sudut pandang tentang siapa Yesus bagi penyusun Injil Yohanes.

Sejalan dengan kristologi "dari atas" ("high Christology") Injil Yohanes secara keseluruhan yang memandang Yesus sebagai sosok ilahi yang "sudah ada pada mulanya", yang turun ke dalam dunia "bawah" dengan "menjadi manusia", Yesus di dalam kisah pemberian makan dalam Injil Yohanes ini ditampilkan sebagai seorang yang serba mandiri dan sanggup sendirian mengatasi segala permasalahan dan tantangan yang mendatangi diri-Nya. 

Kenyataan adanya perbedaan tekstual semacam itu sudah tidak memungkinkan orang untuk memperlakukan semua kisah dalam injil-injil PB sebagai kisah-kisah sejarah murni, "mere/pure history". 

Mana yang benar, Yesus sendiri yang membagi-bagikan, atau murid-muridnya yang mengedarkan makanan itu? Tak mungkin ada dua sejarah yang berlainan, untuk hanya satu kejadian! Salah satunya saja yang benar, atau keduanya salah sekaligus.

Tiga golongan penafsir

Terhimpunnya dalam satu hari orang laki-laki sampai lima ribu orang, belum termasuk perempuan dan anak-anak, yang datang dari berbagai tempat, bukanlah suatu kejadian mudah. Ini adalah sebuah tindakan yang tidak mungkin dilakukan Yesus dengan aman-aman saja, mengingat baik Herodes Antipas (penguasa Galilea dan Perea) maupun Roma (penjajah seluruh tanah Palestina zaman Yesus) akan segera bereaksi secara represif militeristik terhadap setiap usaha menghimpun massa dalam jumlah besar.

Represi telah terjadi pada Yohanes Pembaptis yang akhirnya dibunuh Herodes Antipas karena kekhawatirannya atas massa yang berjumlah besar pengikut Yohanes Pembaptis (baca tuturan tentang ini dalam tulisan sejarawan Yahudi Flavius Yosefus, Antiquities 18.116 dyb) dan pada kegiatan-kegiatan sejenis lainnya seperti telah dilaporkan juga oleh sejarawan Yahudi yang sama, Yosefus.

Jadi, dilihat dari konteks sosio-politis zaman Yesus, sangat mustahil kalau Yesus bisa menghimpun lima ribu orang laki-laki dengan diri-Nya tetap aman-aman saja.

Selain itu, harus diingat, pada zaman kuno total penduduk di kawasan-kawasan di sekitar tempat terjadinya pemberian makan lima ribu orang itu (Lukas 9:10 menyebut kota Betsaida sebagai lokasinya) mungkin sekali tidak mencapai angka lima ribu. Jauh lebih realistis jika angka 5000 ini dipandang sebagai sebuah hiperbola numerik.

Tafsiran supernaturalis

Ada tiga golongan penafsir atas kisah tentang mukjizat pemberian makan lima ribu orang ini. 

Yang pertama adalah penafsir kalangan supernaturalis. Kalangan ini adalah para literalis skriptural yang tidak tahu sama sekali ilmu tafsir teks-teks kitab suci. 

Jika anda ingin tahu betul apa itu ilmu tafsir dan bagaimana menjalankannya, dan metode keilmuan apa saja yang ada dalam ilmu tafsir, bacalah tulisan saya "Langkah-langkah Menafsirkan Sebuah Teks Alkitab"/2/ dan "Metode-metode Ilmiah Tafsir Alkitab"./3/

Nah, kalangan literalis menyatakan bahwa Yesus, dengan kekuatan supernaturalnya, betul-betul faktual pernah melakukan mukjizat memberi makan lima ribu orang dengan lima roti dan dua ikan, dengan sisa dua belas bakul (orang dapat bertanya dari mana bakul-bakul ini berasal). 

Apa maksud dan tujuan kisah teologis ini dulu ditulis, dan apa pesan yang disampaikannya, mereka tidak mau tahu dan tidak tertarik untuk tahu. Bagi mereka, cukup yang sudah tertulis saja di Alkitab, tinggal dibaca dan diterima penuh, tak perlu ditafsir-tafsir. Inilah yang dinamakan literalisme skriptural. 

Para literalis sangat naif, tidak tahu, bahwa untuk menerjemahkan kisah ini dari bahasa Yunani koine (bahasa asli PB) ke bahasa Indonesia (atau bahasa lain), para penerjemah harus menafsirkan teks Yunani kisah ini. Kegiatan menerjemahkan niscaya adalah kegiatan menafsirkan. Tanpa penafsiran, tak akan pernah ada terjemahan teks apapun. 

Nah, jenjang penafsiran menjadi bertambah jika teks Alkitab anda bukan terjemahan langsung dari teks Yunani koine, tetapi dari teks Inggris, misalnya dari The New Revised Standard Version atau NRSV. Di Indonesia, orang yang menguasai bahasa Yunani koine sangat, sangat langka.

Ok-lah, jika mereka merasa puas dan berbahagia sebagai para literalis. Tetapi, apa betul mereka berbahagia? Dalam dunia modern masa kini yang dikendalikan oleh iptek dan wawasan pengetahuan yang jauh ke depan, literalisme skriptural adalah salah satu sumber stres besar jiwa manusia.

Nah, masalah dari tafsiran kalangan supernaturalis ini adalah kesulitan orang entah untuk membayangkan terhimpunnya bergunduk-gunduk roti dan ikan mendadak sehabis makanan-makanan ini (lima ketul roti dan dua ekor ikan) didoakan Yesus, atau pun untuk membayangkan bahwa di tangan para murid yang membagi-bagikan makanan itu akan langsung muncul roti-roti dan ikan-ikan baru tidak habis-habisnya sampai semua orang yang duduk berhimpun berkelompok-kelompok mendapat makanan.

Para mentalist dan illusionist dalam zaman modern yang piawai memakai trik teknologis dan trik mental untuk menyihir masyarakat juga pasti tidak bisa mengadakan kejadian semacam ini: faktual mengadakan gundukan roti secara mendadak bergunung-gunung di sekitar diri mereka, lewat mantra sim salabim albarabarakadabra!





Tafsiran rasionalis/naturalis

Penafsir kedua, golongan rasionalis atau golongan naturalis yang merasionalisasi kisah ini supaya natural, cocok dengan kewajaran, tanpa perlu mukjizat terjadi. Tapi ada biaya yang mereka harus bayar: pesan dan amanat penting kisah ini jadi hilang, lari entah ke mana.

Mereka menyatakan bahwa prakarsa Yesus dan para murid untuk membagi makanan itu kepada beberapa orang yang sedang duduk berkelompok di barisan terdepan telah mendorong orang-orang lain di dalam perhimpunan besar itu untuk juga membagi-bagi makanan yang mereka telah bawa dari rumah masing-masing kepada orang-orang lainnya, sehingga akhirnya semua orang mendapatkan roti dan ikan yang cukup, tanpa perlu mukjizat terjadi. Semua kejadiannya sangat natural, alamiah biasa.

Ok-lah. Tapi kesulitan tafsiran rasionalis ini adalah teks injil-injil jelas-jelas tidak berbicara tentang sharing of bread dan sharing of fish semacam itu. Tidak dikisahkan, ada kegiatan membagi-bagi roti dan ikan antarsemua orang dalam perhimpunan besar itu.

Sebaliknya, dalam injil-injil dikatakan bahwa orang-orang yang berhimpun di situ sama sekali tidak membawa makanan apa pun, kecuali "hanya" lima roti dan dua ekor ikan yang ada pada seorang anak, "tidak lebih" (Matius 14:17; Lukas 9:13; Yohanes 6:9).

Selain itu, angka 5000 orang lelaki yang berhimpun itu tentu saja harus dinyatakan sebagai angka yang sangat dibesar-besarkan, berdasarkan alasan yang sudah ditulis di atas.

Mungkin anda yang naturalis akan berpendapat, berbagi roti dan ikan semacam ini jauh lebih menyentuh perasaan kemanusiaan kita, jauh lebih ajaib dan mempesona, ketimbang Yesus dan murid-muridnya mengadakan gundukan-gundukan roti mendadak lewat mantera sim salabim albarabarakadabra

Tetapi harus diakui bisa saja hal yang dibayangkan kalangan penafsir rasionalis ini secara faktual historis benar. Tetapi, karena kejadian historis yang semacam ini tidak membuat Yesus tampil sakti mandraguna, maka, untuk mempersakti Yesus, sejarah disunting oleh para penulis kitab-kitab injil dalam Perjanjian Baru (mulai dari Markus) sehingga lahirlah kisah-kisah hebat tentang Yesus membuat mukjizat pemberian makan lima ribu orang ini yang kita dapat baca sekarang dalam injil-injil PB. 

Kalau tafsiran kalangan rasionalis ini benar, tentu kita harus mengubah atau merasionalisasi angka 5000 menjadi mungkin maksimal 50 orang saja. 

Sudah menjadi suatu kecenderungan umum di kalangan orang Kristen perdana dulu untuk semakin lama semakin tinggi mempermuliakan, mempersakti dan mengagungkan Yesus, bahkan akhirnya sampai menempatkan Yesus setara dengan Allah sendiri, sebagai sang Firman yang "pada mulanya" "adalah Allah" dan "ada bersama dengan Allah" (Yohanes 1:1, di tahun 95). 

Kenapa kekristenan awal perlu mengglorifikasi dan mendeifikasi Yesus? 

Ya, pertama, karena berbagai komunitas Kristen awal memang lahir dan tumbuh dalam konteks religiopolitik dunia Laut Tengah kuno yang sudah biasa mempraktekkan deifikasi sosok-sosok insani besar mereka sehingga sosok-sosok besar ini menjadi allah atau “manusia ilahi” atau "manusia dewa" (Latin: semideus; Yunani: hēmitheos atau theios anēr; Inggris: demigod). Tentang hal ini, saya sudah menuliskannya./4/

Kedua, karena umat Kristen perdana dengan tidak mau kalah sedang terlibat dalam suatu persaingan ideologi religiopolitis sengit dengan kalangan-kalangan lain di dunia Yunani-Romawi yang sudah memiliki figur-figur mahaagung mereka sendiri, seperti Kaisar Augustus. Sang kaisar ini dalam kultus pemujaan Kaisar dipandang orang Roma sebagai sang juruselamat dunia yang kelahirannya membawa kabar baik dan keselamatan untuk seluruh kawasan kekaisaran./5/

Tafsiran ketiga yang paling mungkin diterapkan terhadap kisah Yesus memberi makan lima ribu orang adalah tafsiran tipologis yang menghubungkan Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru dan memandang Perjanjian Baru sebagai penggenap dan penyempurna "tujuan-tujuan rohani" Perjanjian Lama.

Ketahuilah, hermeneutik tipologis umum dipakai para penulis PB jika mereka mengacu dan menggunakan teks-teks PL. Apa itu hermeneutik atau tafsiran tipologis? Ini akan segera diperlihatkan di bawah.

Bagaimana kisah Yesus memberi makan lima ribu orang ini harus dijelaskan dan ditafsirkan secara tipologis?

Tafsiran tipologis

Tipologi (yang berhubungan dengan kata Yunani tupos, dengan kata Latinnya figura) adalah salah satu metode tafsir yang khas dan umum dijalankan para penulis Perjanjian Baru ketika mereka menggunakan teks-teks Perjanjian Lama dalam rangka menyusun pandangan-pandangan mereka tentang siapa Yesus (kristologi), bagaimana gereja-gereja harus dibangun dan diatur (ekklesiologi) dan bagaimana doktrin-doktrin Kristen harus dirumuskan (dogmatika).

Dalam metode tafsir tipologis, segala sesuatu yang muncul dalam pekerjaan Allah di zaman Perjanjian Lama dipandang para penulis Perjanjian Baru sebagai, seperti ditulis Gerhard von Rad, “pra-gambaran (pra-figurasi) atau tipologi dari berbagai hal yang terjadi pada masa kehidupan Yesus Kristus di masa Perjanjian Baru.”/6/ 

Dalam pandangan Jean Daniélou, “esensi tipologi adalah menunjukkan bagaimana kejadian-kejadian di masa lampau merupakan suatu gambaran, suatu figur atau suatu tupos, dari kejadian-kejadian di masa yang akan datang.”/7/ 

Menurut Walter Eichrodt, “apa yang disebut tupoi [bentuk jamak tupos] … adalah tokoh-tokoh, lembaga-lembaga, dan peristiwa-peristiwa dalam dunia Perjanjian Lama yang dipandang sebagai model-model atau presentasi-presentasi yang dibangun oleh Allah bagi realitas-realitas yang bersesuaian dalam sejarah keselamatan Perjanjian Baru.”/8/

Meskipun ditemukan kesesuaian dalam detail-detail historis, kultural, arkeologis dan biografis antara kejadian-kejadian tertentu di masa Perjanjian Lama dan di masa Perjanjian Baru, dalam penafsiran tipologis detail-detail ini, sebagaimana Von Rad tegaskan, bukanlah hal-hal utama yang menjadi sorotan. 

Sorotan utama tipologi adalah pesan-pesan teologis atau kerugmata (yang terbungkus dalam detail-detail kisah) atau “pesan-pesan rohani”, yang dilihat berhubungan antara yang disampaikan teks-teks Perjanjian Lama dan yang disajikan teks-teks paralel dalam Perjanjian Baru./9/

Tetapi hal paling penting yang mau disampaikan tafsiran tipologis adalah bahwa figur Yesus Kristus sendiri sebagai anti-tupos (atau anti-type) adalah lebih tinggi, lebih agung dan penyempurna yang tiada taranya dari tokoh-tokoh agung Perjanjian Lama sebagai tupoi. 

Begitu juga halnya dengan segala sesuatu yang terjadi pada Yesus Kristus jika dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa paralel yang sudah terjadi dalam masa Perjanjian Lama. Peristiwa Yesus lebih tinggi, mengalahkan dan melampaui atau menyempurnakan peristiwa yang dapat dibaca dalam PL.

Dalam tipologi, kejadian-kejadian yang dialami Yesus Kristus bukan hanya pengulangan kejadian-kejadian dalam Perjanjian Lama atau dibangun berdasarkan model-model kejadian-kejadian dalam masa Perjanjian Lama, tetapi melampaui, menyempurnakan dan merupakan klimaks semua kejadian dalam Perjanjian Lama. Yesus menjadi yang teragung, terbesar, paling sempurna, tiada pesaing. Ya, supersesionisme kristologis mewarnai setiap tafsiran tipologis PB terhadap PL.

Dalam tipologi, tokoh-tokoh agung dalam Perjanjian Lama bukan hanya dijadikan model-model dasar dalam merancangbangun berbagai figur Yesus oleh para penulis Perjanjian Baru, tetapi oleh mereka Yesus Kristus dibuat mengalahkan, melampaui, mentransendir, menyempurnakan dan menjadi puncak dari semua model yang tersedia dalam Perjanjian Lama.

Progres, puncak, kulminasi, kemenangan, penyempurnaan dan pelampauan atas model-model Perjanjian Lama di dalam diri Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru adalah hal-hal terpenting yang mau disampaikan tipologi. Supersesionisme kristosentris adalah sebuah ciri terpenting setiap tafsiran tipologis, dan merupakan kerugma atau pesan terpenting yang mau disampaikannya, yang tak boleh tertutup oleh detail kisah-kisah atau literalisme skriptural./10/

Dengan demikian, sebagaimana akan segera ditunjukkan, dilihat secara tipologis, Yesus yang dipersaksikan dalam kisah-kisah injil tentang pemberian makan lima ribu orang (khususnya dalam Matius 14:13-21) adalah anti-type yang bukan saja sejajar atau semodel dengan, tapi juga menjadi penyempurna dan penakluk, nabi Musa (nabi teragung dalam Yudaisme), nabi Elia (yang dihubungkan dengan Yohanes Pembaptis di era penulisan kitab-kitab injil PB), dan nabi Elisa sebagai tupoi dan model-model rekonstruktif ketika para penulis injil Perjanjian Baru merancangbangun kristologi-kristologi.

Yesus sebagai “Musa yang baru”

Kisah Yesus memberi makan lima ribu orang klop dengan keseluruhan pesan teologis Injil Matius.

Bagi penulis Injil Matius, Yesus adalah “Musa yang baru” pemberi "Taurat yang baru", yakni Khotbah di Bukit dan keseluruhan Injil Matius, bahkan lebih besar dari Musa, yang membawa hukum baru, hukum kasih, dan yang mengulangi kembali bahkan melampaui peristiwa-peristiwa besar yang dikisahkan pernah dialami nabi Musa. Lewat tafsir tipologis, bukan Musa yang menjadi nabi teragung bagi orang Yahudi, tetapi Yesus sebagai "the new Moses".

Ya, harus jangan dilupakan bahwa bagi bangsa Yahudi kapan pun juga, nabi teragung mereka bukanlah Abraham, melainkan Musa yang wajahnya, dikisahkan, pernah diselimuti cahaya sorgawi kehadiran Allah (atau Shekinah, jika memakai kosa kata Yahudi pasca-tahun 70 M).

Jadi, dalam rangka bersaing secara ideologis dengan Yudaisme (dalam era PL dan era PB, tidak dikenal pemisahan ideologi politik dari ideologi agama), dengan jitu penulis Injil Matius menghadirkan satu figur suci Yesus yang bukan saja sejajar dan semodel dengan, tapi juga melampaui dan menaklukkan, Musa./11/

Kalau dulu untuk memelihara umat Israel yang sedang berada dalam perjalanan di padang gurun di bawah pimpinan Musa (dan Harun) Allah telah memberi mereka “daging” dan “roti” (yang disebut manna) untuk dimakan (lihat Keluaran 16), kini, untuk umat Allah yang baru, yaitu Israel baru (= gereja Matius), Yesus sebagai Musa yang baru dan bahkan lebih besar dari Musa juga telah memberi himpunan besar para pengikutnya roti dan daging ikan sampai mereka kenyang, langsung dari tangan-Nya sendiri, sesuatu yang tidak dilakukan oleh nabi Musa dalam zaman Perjanjian Lama.

Jadi, di tangan penulis Injil Matius, Musa adalah tupos sedangkan Yesus adalah anti-tupos-nya. Bagi Matius, Musa adalah nabi besar dunia Perjanjian Lama yang muncul kembali di dalam figur Yesus pada masa kemudian dalam sejarah Israel, yang semodel dengan Musa tapi juga melampaui Musa, yang melakukan perbuatan-perbuatan yang sejajar dengan, tapi juga lebih hebat dari, yang dilakukan Musa.

Yesus sebagai anti-tupos Elia

Atau, dalam pandangan Matius, Yesus adalah “nabi Elia yang baru”, bahkan lebih agung dari nabi Elia, yang sanggup tanpa habis-habis memberi roti kepada bukan hanya satu orang, tetapi kepada banyak orang, kurang lebih serupa dengan, tapi juga jauh melampaui, apa yang konon pernah dilakukan Elia kepada seorang janda di Sarfat dalam konteks peristiwa yang berbeda (lihat 1 Raja-raja 17:7-16).

Bagi orang Yahudi kuno, juga pada abad pertama Masehi, Elia adalah figur nabi agung yang tak pernah mengalami kematian fisik sebab dipercaya dia dulu telah diangkat ke sorga dengan kereta berapi yang ditarik kuda berapi (2 Raja-raja 2:11) dan dia dipercaya akan datang kembali pada “hari Tuhan” (Maleakhi 4:5). Mereka menunggu kedatangannya sebagai salah satu tahap dari tindakan-tindakan besar Allah untuk memulihkan pamor dan kedaulatan bangsa Yahudi, saat di mana “surya kebenaran” terbit, saat di mana “orang-orang fasik diinjak-injak” oleh umat Israel “di bawah telapak kaki” mereka (Maleakhi 4:2-3).

Komunitas Matius percaya, bahwa Yohanes Pembaptis yang menjadi pendahulu Yesus, adalah nabi Elia sendiri yang telah datang kembali (Matius 11:13-14) seperti telah dinubuatkan nabi Maleakhi sebelumnya.

Dengan menggambarkan Yesus sebagai Elia yang baru dan bahkan melampaui Elia, maka bagi Matius, dengan demikian, Yesus sebetulnya juga lebih tinggi dari Yohanes Pembaptis./12/

Yesus sebagai anti-tupos Elisa

Menurut Reginald Fuller, “prototipe” sastra bagi beranekaragam kisah injil tentang Yesus memberi makan banyak orang dari sangat sedikit makanan adalah sebuah kisah dalam Perjanjian Lama tentang nabi Elisa melipatgandakan sedikit ketul roti untuk dimakan oleh banyak orang, yang terdapat dalam 2 Raja-raja 4:42-44, yang merupakan bagian dari “siklus Elisa” dalam 2 Raja-raja 2:1-8:29. Selengkapnya kisahnya demikian.

Datanglah seseorang dari Baal-Salisa dengan membawa bagi abdi Allah roti hulu hasil, yaitu dua puluh roti jelai serta gandum baru dalam sebuah kantong. Lalu berkatalah Elisa: “Berilah itu kepada orang-orang ini, supaya mereka makan.” Tetapi pelayannya itu berkata: “Bagaimanakah aku dapat menghidangkan ini di depan seratus orang?” Jawabnya: “Berikanlah kepada orang-orang itu, supaya mereka makan, sebab beginilah firman TUHAN: Orang akan makan, bahkan akan ada sisanya.” Lalu dihidangkanlah di depan mereka, maka makanlah mereka dan ada sisanya, sesuai dengan firman TUHAN. (2 Raja-raja 4:42-44)

Fuller mengikhtisarkan pola dasariah dari kisah tentang Elisa melipatgandakan ketul-ketul roti:

• Makanan dibawa ke seorang abdi Allah;
• Jumlah makanan disebutkan dengan angka;
• Ada keberatan yang logis bahwa jumlah makanan tidak cukup untuk dihidangkan kepada sangat banyak orang;
• Si abdi Allah selaku sang master mengabaikan keberatan itu, dan memerintahkan makanan tersebut diedarkan;
• Ternyata orang banyak bukan saja dikenyangkan, tapi makanannya juga bersisa./13/

Tak diragukan bahwa pola dasariah dari kisah Perjanjian Lama tentang Elisa ini memang mendasari keseluruhan kisah injil yang lebih panjang tentang Yesus memberi makan lima ribu orang dengan hanya lima ketul roti dan dua ekor ikan. 

Tetapi kita juga tahu bahwa dalam kisah-kisah injil tentang Yesus memberi makan orang banyak dari sangat sedikit makanan, Yesus ditampilkan jauh lebih agung dan lebih mempesona. Yesus memberi makan bukan seratus orang (seperti dilakukan Elisa), tetapi lima ribu orang laki-laki (belum termasuk perempuan dan anak-anak); Yesus memberi makan bukan dari dua puluh ketul roti (seperti dilakukan Elisa) tetapi dari makanan yang jauh lebih sedikit: lima ketul roti dan dua ekor ikan.

Jadi harus disimpulkan: dalam pandangan penulis Injil Matius, Yesus adalah anti-tupos nabi Elisa sebagai tupos. Yesus bukan saja sejajar dan semodel dengan nabi Elisa, tetapi juga jauh melampaui dan mengalahkan Elisa, dalam tindakan-Nya memberi makan lima ribu orang dengan hanya lima ketul roti dan dua ekor ikan, dengan sisa makanan dua belas bakul.

Jadi, pemberian makan lima ribu orang hanya dengan lima roti dan dua ekor ikan oleh Yesus, hanya ada dalam teks, dalam sastra injil, dalam dunia kisah teologis, dalam dunia ide teologis, bukan dalam sejarah insani faktual.

Kisah injil-injil Perjanjian Baru tentang tindakan hebat Yesus ini disusun dalam bingkai pemahaman dan penafsiran tipologis, bukan dalam bingkai suatu kejadian faktual historis yang melawan nalar dan hukum-hukum alam, kejadian yang disebut mukjizat. 

Dalam sejarah, tak pernah ada tindakan hebat Yesus memberi makan lima ribu orang hanya dengan lima ketul roti dan dua ekor ikan. Meski begitu, kisah ini sebagai suatu metafora sangat menawan, menggerakkan hati, dan dapat dengan radikal mengubah watak serakah setiap pembaca kisah hebat ini, sekaligus membangkitkan pengharapan terhadap Yesus yang dinanti akan bertindak ketika suatu krisis kehidupan mendatangi.

Dengan mempertimbangkan semua hal di atas, siapapun seharusnya dapat memutuskan untuk memandang kisah-kisah injil tentang Yesus memberi makan lima ribu orang (lelaki) dengan lima roti dan dua ekor ikan sebagai kisah-kisah tipologis imajinatif yang ditulis dengan memakai kisah-kisah Perjanjian Lama sebagai model untuk mempertahankan sebuah teologi, sebuah kerugma, atau sebuah kisah kreatif imajinatif tentang Yesus. Bahwa Yesus itu lebih besar dari dan mengalahkan Musa. Bahwa Yesus adalah nabi yang sejajar dengan bahkan melampaui nabi agung Elia. Bahwa Yesus adalah nabi akbar yang semodel dengan, tapi juga jauh melampaui nabi Elisa, yang sanggup untuk mengenyangkan semua pengikut-Nya. Alhasil, diharapkan, mereka, sebagai orang Yahudi, perlu berpaling kepada Yesus dan percaya penuh. Ada tujuan misiologis konversionisnya, jelas sekali.

Jadi, kisah-kisah imajinatif ini adalah propaganda religiopolitis misiologis Kristen yang disusun ketika umat Kristen perdana sedang berusaha menjadi besar di tengah tekanan dari berbagai kelompok pesaing, misalnya dari Yudaisme, sekaligus sebagai kisah-kisah devosional yang dapat membangun ikatan batin yang makin kuat dalam diri komunitas para penulis injil-injil terhadap Yesus, sang Tuhan mereka./14/

Tuhan itu bebas dan kreatif

Uraian-uraian di atas telah berhasil memperlihatkan bahwa kisah-kisah injil tentang Yesus memberi makan lima ribu orang dengan hanya lima roti dan dua ekor ikan, bukanlah kisah-kisah tentang sebuah peristiwa sejarah faktual, melainkan kisah-kisah kreatif imajinatif intertekstual (antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) yang disusun untuk berbagai kepentingan: misiologi, devosi, kompetisi religiopolitis. 

Juga telah diperlihatkan ada banyak persoalan dan kesulitan besar timbul jika kisah-kisah tersebut diperlakukan sebagai kisah-kisah sejarah faktual. 

Tuhan Allah berfirman dengan cara yang bebas dan kreatif, dapat memakai fakta-fakta dan dapat juga memanfaatkan kisah-kisah figuratif imajinatif. Jangan batasi kreativitas Yesus dan juga kreativitas Allah, sang Bapa.

Selain itu, jika kisah-kisah ini dipahami dan diterima secara literalistik, maka maksud dan tujuan misiologis sebenarnya penulisan kisah-kisah ini tak berhasil didapatkan, padahal kisah-kisah ini menjadi penting justru karena maksud dan tujuan penulisannya sama sekali bukanlah untuk menceritakan atau melaporkan kejadian-kejadian di masa lampau, melainkan untuk membimbing dan menguatkan serta memperlengkapi dan menggerakkan komunitas-komunitas Kristen yang berdiri empat puluh sampai lima puluh lima tahun setelah Yesus wafat dengan seperangkat ajaran kuat dan ideologi tangguh yang diperlukan.

Kisah-kisah ini menjadi penting khususnya ketika mereka sedang terlibat dalam suatu persaingan ideologis religiopolitis dengan Yudaisme yang memicu mereka untuk menggambarkan Yesus sebagai “Musa yang baru”, yang lebih agung dari Musa yang sebenarnya, atau sebagai nabi besar yang berdiri berdampingan dengan, bahkan melampaui, nabi Elia dan nabi Elisa. 

Jadi, lewat kisah-kisah tentang Yesus yang melebihi nabi Musa, nabi Elia, dan nabi Elisa, para pembaca injil-injil didesak untuk meninggalkan agama Yahudi, atau tidak memilih agama Yahudi, tetapi berpaling dan masuk ke dalam agama Kristen versi masing-masing penulis injil. Kisah-kisah ini niscaya adalah kisah-kisah religiopolitis misiologis.

Dalam usaha memahami kisah-kisah mukjizat Yesus, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memperlakukan kisah-kisah tersebut sebagai kisah-kisah, bukan sebagai fakta-fakta.

Tentu ada kisah-kisah faktual, tapi juga ada kisah-kisah fiktif, dan kisah-kisah tentang mukjizat Yesus termasuk dalam kisah-kisah fiktif imajinatif, kisah-kisah teologis. Karena setiap kitab suci pasti bukan buku sejarah, maka di dalamnya ada lebih banyak kisah fiktif teologis ketimbang kisah faktual historis. Sejarah dan kisah imajinatif telah saling merangkul.

Jika orang mencari dan mau mendapatkan firman Allah lewat kisah-kisah skriptural, firman Allah juga bisa dengan jelas dan efektif disampaikan lewat media kisah-kisah imajinatif, tidak selalu harus lewat media kisah-kisah faktual. 

Yesus menyampaikan firman Allah banyak kali lewat kisah-kisah imajinatif yang disusun-Nya sendiri, yakni perumpamaan-perumpamaan-Nya, metafora-metafora-Nya.

Siapa yang bisa memaksa Allah untuk berfirman hanya lewat kisah-kisah sejarah faktual? Dan jika Allah mau berfirman lewat kisah-kisah fiktif, lewat tamsil, lewat pepatah, lewat epik, lewat nyanyian, lewat imajinasi yang kaya dan kreatif, lewat puisi, lewat perumpamaan, maka siapa yang dapat melarang-Nya? 

Sekali lagi, Yesus menyampaikan firman Allah banyak kali lewat kisah-kisah imajinatif yang disusun-Nya sendiri, yakni perumpamaan-perumpamaan-Nya. Siapa yang mau mempersalahkan Yesus?

Roti apapun bisa disediakan dalam jumlah yang terbatas, tetapi firman Tuhan yang disampaikan Yesus lewat berbagai cara dan bentuk bisa tidak terbatas. Karena itulah Yesus, dalam suatu kisah pencobaan diri-Nya, berkata, "Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah." (Matius 4:4 dan par.). 

Ucapan Yesus itu dikutip dari Ulangan 8:4. Pada teks kitab Ulangan ini si penulisnya menafsirkan "manna" (dalam kisah-kisah keluaran atau exodus dari Mesir) sebagai firman Tuhan. Jika demikian, firman Tuhan yang disampaikan Yesus lewat ajaran dan perumpamaan-Nya, juga lewat tindakan simboliknya, jauh lebih banyak dan lebih tinggi dibandingkan yang disampaikan nabi Musa.

Apa itu metafora?

Mereka yang menolak untuk melihat kisah mukjizat Yesus memberi makan 5000 orang dengan hanya 5 roti dan 2 ikan sebagai sebuah perumpamaan, sebuah metafora, umumnya tidak suka pada sains modern, apalagi jika sains ini dipakai untuk mengupas teks-teks Alkitab untuk memperlihatkan teks-teks itu sebagai metafora. 

Sains itu berurusan hanya dengan fakta-fakta. Dengan ingin memperlakukan kisah-kisah mukjizat Yesus sebagai kisah-kisah faktual, kisah-kisah tentang fakta-fakta, mereka anehnya ingin memperlakukan teks-teks kitab suci sebagai teks-teks ilmiah, padahal mereka anti-ilmu pengetahuan. 

Jika mereka tetap ingin memperlakukan teks-teks Alkitab sebagai teks-teks ilmiah, paling jauh mereka akan hanya bisa melakukan suatu praktek mencocok-cocokkan dengan naif teks-teks Alkitab dengan pandangan-pandangan ilmu pengetahuan. Praktek kebablasan ini saya namakan cocokologi, yang sama sekali tidak mempunyai nilai kebenaran ilmiah. 

Tentang usaha naif cocokologi yang sia-sia dan melelahkan, sudah saya beberkan dalam tulisan saya Bagaimana Seharusnya Memperlakukan Agama-agama dalam Era Sains Modern./15/

Nah, sekarang anda tentu perlu bertanya, apa itu metafora. Buang konsep anda yang sempit sebelumnya tentang metafora.

Metafora (dibentuk dari dua kata Yunani "meta" dan "ferein") adalah suatu sarana dan wahana sastrawi artistik imajinatif yang dibangun untuk memindahkan atau "menyeberangkan" (Yunani: "ferein") para pembaca atau pendengar, masuk ke kawasan lain yang lebih tinggi, yang "melampaui", atau "beyond" (Yunani: "meta"), kawasan biasa yang rutin sehari-hari yang sudah tidak direnungkan lagi tetapi diterima begitu saja. Kawasan lain yang lebih tinggi ini disebut kawasan transenden.

Kawasan lain yang lebih tinggi ini adalah kawasan adinilai, kawasan besar, kawasan transenden, yang menakjubkan, kawasan baru yang membuka, memperluas dan mencerahkan sekaligus memukau pikiran, jiwa, perasaan, karya dan kehidupan yang menyeluruh. 

Lewat berbagai metafora agung yang diresapi, manusia tumbuh, bergerak, pindah, memasuki kawasan kehidupan yang lain, yang baru, yang lebih tinggi, yang agung dan penuh dengan wawasan terobosan, etika agung, dan kebajikan. Memasuki kawasan transenden, kawasan yang luarbiasa besar, melampaui batas-batas yang biasa sehari-hari. Untuk ulasan lebih luas dan lebih dalam tentang metafora, bacalah tulisan saya "Teologi Adalah Metafora. Apa Itu Metafora?"/16/

Jadi, bagi saya, kisah metaforis Yesus memberi makan 5000 orang dengan 5 roti dan 2 ikan adalah kisah yang sangat memukau, sangat kuat menggerakkan hati saya, mengubah etika saya, membarui pengenalan saya terhadap figur agung Yesus, membarui wawasan dan pemahaman saya tentang kehidupan, pemilikan, belarasa dan empati, dan semuanya ini diangkat ke peringkat yang lebih tinggi dan lebih agung, memasuki kawasan adinilai, kawasan transenden. 

Ya, kisah ini mendorong saya untuk berbagi apa yang saya punyai, kepada makin banyak orang, yakni pikiran, wawasan, kebaikan, waktu, tenaga, umur, dan makanan serta kebutuhan hidup esensial lainnya yang saya punyai sebagai pemberian Tuhan, meskipun saya tidak mempunyai banyak. Kebajikan ini akan berdampak besar dan berarti bagi makin banyak orang jika saya lakukan terus-menerus, makin tinggi lagi, sebagai seorang pengikut Yesus yang agung, yang sangat besar, yang melampaui nabi-nabi besar PL. Itulah kekuatan metafora. The power of a metaphor. Saya menikmati dan mengalaminya.

Penutup

Jika anda punya harta dan kepemilikan, share ke orang lain, bagilah ke orang lain sebisa anda, berhubung sekarang ini (sejak 2015) segelintir orang, yakni orang terkaya dunia yang merupakan 1% penduduk dunia, menguasai kekayaan jauh lebih banyak dibandingkan total kekayaan yang dimiliki 99% penduduk dunia lainnya. Data 2017 menunjukkan bahwa total kekayaan yang dipunyai 8 orang superkaya dunia sama dengan total kekayaan yang dimiliki separuh penduduk termiskin dunia./17/

Metafora Yesus memberi makan 5000 orang dengan sangat sedikit makanan memiliki kekuatan untuk ikut membangun kesadaran manusia untuk mengatasi ketimpangan dan kesenjangan ekonomi yang begitu besar, lebar dan dalam antara orang kaya dan orang miskin sedunia sekarang ini. Jangan biarkan 5000 roti dihabiskan oleh 5 orang saja. 

Terima kasih Yesus. Terima kasih juga kepada para penulis metafora besar Yesus memberi makan 5000 orang dengan 5 roti dan 2 ikan dalam PB.

Catatan-catatan

/1/ Ioanes Rakhmat, "Mengapa memilih hidup 'in denial'?", Freidenk Blog, update mutakhir 15 Juni 2019, 
https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2012/07/denial-apa-penyebabnya.html?m=0.

/2/ Ioanes Rakhmat, "Langkah-langkah Menafsirkan Sebuah Teks Alkitab', Freidenk Blog, 3 November 2010, diperluas 18 Mei 2021, https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2010/11/langkah-langkah-menafsirkan-sebuah-teks.html?m=0.

/3/ Ioanes Rakhmat, "Metode-metode Ilmiah Tafsir Kitab Suci", Freidenk Blog, 19 Oktober 2008, diperiksa kembali 02 November 2017, https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2008/10/pendekatan-pendekatan-kritis-hermeneutik.html?m=0.

/4/ Ioanes Rakhmat, "Allah-allah dalam Dunia Laut Tengah Kuno", Freidenk Blog, update mutakhir  27 Maret 2021, https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2009/01/allah-allah-dalam-dunia-yunani-romawi.html?m=0.

/5/ Ihwal Kaisar Augustus disembah sebagai “sang juruselamat dunia” dan kelahirannya dipandang membawa “kabar baik” dan “keselamatan” bagi seluruh kekaisaran, ditulis dalam sebuah prasasti yang mencantumkan dekrit Majelis Provinsi Asia yang dikeluarkan tahun 9 SM. Lihat teks dekrit ini selengkapnya dalam Richard A. Horsley, The Liberation of Christmas. The Infancy Narratives in Social Context (New York: Crossroad, 1989) hlm. 27.

/6/ Gerhard von Rad dalam Claus Westermann, ed., Essays on Old Testament Hermeneutics (Richmond, Virginia: John Knox Press, 1964) hlm. 36.

/7/ Jean Daniélou, From Shadows to Reality (London: Burns and Oates, 1960) hlm. 12.

/8/ Walter Eichrodt  dalam Westermann, ed., Essays on Old Testament Hermeneutics, hlm. 225.

/9/ Gerhard von Rad dalam Westemann, ed., Essays on Old Testament Hermeneutics, hlm. 36-37; lihat juga S. Lewis Johnson, The Old Testament in the New (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 1980) hlm. 55.

/10/ Jean Daniélou, From Shadows to Reality, hlm. 12; Walter Eichrodt dalam Westermann, ed., Essays on Old Testament Hermeneutics, hlm. 235.

/11/ Tema tipologis tentang Yesus sebagai “Musa yang baru” dalam Injil Matius telah dieksplorasi dengan bagus antara lain oleh Dale C. Allison, Jr., The New Moses: A Matthean Typology (Minneapolis: Fortress Press, 1993).

/12/ Kendatipun dalam konteks narasi tentang pembaptisan Yesus di sungai Yordan, Yesus, kita baca, mengungkapkan kesediaan-Nya untuk dibaptis oleh Yohanes Pembaptis yang malah sebaliknya sungkan untuk melakukannya (Matius 3:14-15). Bagaimana pun juga, dalam injil-injil PB terlihat ada usaha kuat untuk menaklukkan Yohanes Pembaptis ke kaki Yesus.

/13/ Reginald Fuller, Preaching the New Lectionary (Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press, 1974) hlm. 406.

/14/ Ioanes Rakhmat, "Bagaimana Seharusnya Memperlakukan Agama-agama di Era Sains Modern?", Freidenk Blog, dimutakhirkan 16 Maret 2020, https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2015/02/bagaimana-seharusnya-memperlakukan.html?m=0.

/15/ Kisah Yesus memberi makan lima ribu orang, khususnya yang terdapat dalam Lukas 9:12-17, dapat juga dijelaskan dengan memakai pendekatan tafsir sosial saintifik, dengan memakai model “patron-klien”, sebagaimana sudah dilakukan oleh Ekaterini Tsalampouni, “The Story of Feeding the Multitudes in Luke 9:12-17: A Social-Scientific Approach” (February 2012),
http://www.bibleinterp.com/opeds/tsa368003.shtml.

/16/ Ioanes Rakhmat, "Teologi Adalah Metafora. Apa Itu Metafora?", Freidenk Blog, 11 Agustus 2021, https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2021/08/teologi-adalah-metafora-apa-itu-metafora.html?m=0.