Friday, December 3, 2010

Sekularisasi dan Desekularisasi

oleh Ioanes Rakhmat**

Sekitar tahun 1950-an dan 1960-an, para sejarawan dan sosiolog agama, serta para pakar ilmu politik, mengajukan apa yang dengan longgar dilabelkan sebagai “teori sekularisasi.” 

Gagasan kunci teori ini, yang menyatakan bahwa modernitas menyebabkan kemunduran peran agama di dalam masyarakat dan di dalam pikiran orang perorangan, bahkan dapat ditelusuri ke belakang, ke kritik para pemikir era Pencerahan terhadap agama, yang dikenal sebagai laisisme (dari kata Perancis laїcité). 

Namun, pada pihak lain, ada juga sekian sosiolog agama yang mempertahankan bahwa sekularisasi adalah suatu produk kebudayaan yang berasal dari tradisi luas Yudeo-Kristen, yang menjadi suatu landasan unik bagi demokrasi sekular./1/



Gereja tetap penuh kendatipun sekularisasi melanda dengan sangat deras!

Dalam dua sampai tiga dasawarsa terakhir abad ke-20, teori sekularisasi kelihatan tak lagi dipertahankan oleh kebanyakan para sosiolog agama, dan fokus analisis berganti pada fenomena desekularisasi yang ternyata melanda hampir seluruh bagian dunia kecuali Eropa (Barat dan Tengah). 

Dewasa ini, kalaupun teori sekularisasi tetap dipertahankan, konsepnya sudah diperhalus, dikembangkan dan diperinci lebih jauh sehingga tetap dapat dipakai dalam menganalisis hubungan-hubungan antara modernitas dan agama.

Tulisan ini pertama mau menyoroti teori sekularisasi yang dijabarkan oleh beberapa sosiolog agama, seperti Peter L. Berger, Steve Bruce, Karel Dobbelaere, José Casanova, Danièle Hervieu-Léger, Pippa Norris dan Ronald Inglehart. 

Sesudah itu, tema desekularisasi akan dikemukakan, dengan fokus pada tulisan-tulisan Peter L. Berger, Rodney Stark dan Roger Finke, dan Talal Asad. 

Sesudah menguraikan dua tema itu, tulisan ini ditutup dengan suatu analisis evaluatif umum atas beberapa pokok penting dalam teori sekularisasi yang di antaranya ada yang dikaitkan dengan kultur sosial keindonesiaan dewasa ini.

Berbagai teori sekularisasi


Peter L. Berger

Peter L. Berger adalah salah seorang sosiolog agama yang pada tahun 1960-an telah mendeskripsikan teori sekularisasi, khususnya dalam bukunya The Sacred Canopy./2/ 




Peter Ludwig Berger (17 Maret 1929-27 Juni 2017), seorang sosiolog dan teolog Protestan Amerika, kelahiran Austria. Berbasis di Boston University. Terkenal lewat bukunya The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (240 hlm, 1966), ditulis bersama Thomas Luckmann. Buku ini berpengaruh besar pada kelahiran bidang studi konstruksionisme sosial.


Kepada The New York Times di tahun 1968, Berger mengatakan bahwa “pada abad ke-21, orang-orang yang percaya pada agama mungkin ditemukan hanya di dalam sekte-sekte kecil, yang berkelompok bersama untuk melawan suatu kebudayaan sekular global.”/3/

Bagi Berger, sekularisasi adalah suatu “proses melalui mana sektor-sektor dalam masyarakat dan kebudayaan dilepaskan dari dominasi lembaga-lembaga dan simbol-simbol keagamaan”. 

Dia bertanya, proses-proses dan kelompok-kelompok sosio-kultural mana yang telah berfungsi sebagai sarana-sarana atau mediator-mediator bagi terjadinya sekularisasi. 

Dia mencatat berbagai macam faktor sebagai pendorong sekularisasi, antara lain: peradaban manusia sebagai suatu keseluruhan yang menyebar keseluruh dunia; dinamika yang ditimbulkan oleh kapitalisme industrial; gaya hidup yang ditimbulkan oleh produksi industrial; pengaruh dari ilmu pengetahuan modern yang meresap ke berbagai sektor kehidupan sosial; infrastruktur praktikal di dalam kehidupan sosial.

Dari banyak faktor itu, faktor yang merupakan akar dan benih sekularisasi adalah tradisi keagamaan Barat, khususnya tradisi keagamaan biblis Yudaisme yang melalui kekristenan, khususnya tradisi Kristen Reformatoris Kalvinis, telah menjadi fondasi-fondasi peradaban modern. 

Berger menegaskan, dunia modern, dengan sekularisasinya, dapat ditafsirkan sebagai “suatu realisasi dari roh Kristen” dan “Protestantisme telah memainkan suatu peran khas di dalam menegakkan dunia modern.”



Kepercayaan atau iman pada Allah tertanam dalam di otak manusia, yang diprogram oleh alam lewat evolusi biologis untuk manusia bisa mengalami pengalaman keagamaan. Demikian kesimpulan suatu kajian neurosaintifik yang menganalisis ihwal mengapa agama merupakan suatu fitur insani universal yang memasuki semua kebudayaan di sepanjang zaman.


Kontras dengan Gereja Roma Katolik yang kehidupan praktis dan ritual keagamaannya masih dipenuhi aura kekeramatan dan pesona magis dunia transendental, kehidupan Gereja Protestan Kalvinis telah mengalami “disenchantment of the world” (Entzauberung der Welt), telah “kehilangan kekeramatan (atau pesona magis) dunia ini”; orang-orang Prostestan tinggal di dalam suatu dunia yang numinositas-nya telah diambil darinya, dunia yang “bereft of numinosity”.  

Oh ya, kata Latin numen atau numinosum (Rudolf Otto dan Jung) berarti “sesuatu” yang transenden, yang membangkitkan emosi spiritual manusia, yang serba misterius, dan membuat orang terpukau dan terdiam. Rudolf Otto (dalam bukunya Das Heilige, 1917) juga menyebutnya Mysterium tremendum et fascinans, “Misteri yang menakutkan sekaligus penuh kasih karunia” atau Ganz Andere, “Wholly Other”, Sang Lain yang sama sekali asing, Sang Serba Lain. 

Nah, dalam Protestantisme, tidak ada malaikat-malaikat, tidak ada orang-orang kudus dan Bunda Maria sebagai perantara-perantara keselamatan, tidak ada roti dan anggur yang berubah menjadi daging dan darah Kristus, yang semuanya menghubungkan dunia imanen (dunia kodrati) dengan dunia transenden (dunia adikodrati) di mana Allah berada.

Bagi orang Protestan Kalvinis, Allah begitu tinggi, jauh di atas sana, transenden, suci tidak tertandingi oleh siapapun dan apapun yang ada di dalam dunia, “the Wholly Other” atau Ganz Andere. Sebaliknya, manusia, dalam kaca mata orang Protestan Kalvinis, adalah makhluk fana dan hina yang telah jatuh ke dalam dosa, makhluk pendosa, dan karena itu terpisah dan terputus sama sekali dari Allah yang Maha Suci dan transenden. 

Hanya ada ada satu penghubung antara Allah dan manusia, yakni firman Allah, dalam arti firman yang menyatakan bahwa pemulihan hubungan (antara Allah dan manusia) hanya mungkin terjadi karena “anugerah semata-mata,” sola gratia (seperti menjadi pengakuan iman Protestan Lutheran). 

Ketika penghubung satu-satunya ini dipatahkan, karena sudah tidak “plausible” (= tidak masuk akal) lagi, maka terpisahlah dunia imanen dari dunia transenden selama-lamanya; maka, dunia kodrati sungguh-sungguh telah “bereft of numinosum” dan menjadi realitas empiris duniawi semata-mata, “God is dead”. 

Ketika itu terjadi, maka realitas empiris ini menjadi terbuka terhadap penetrasi rasional dan sistematik, baik dalam pemikiran maupun dalam aktivitas, yang kita hubungkan dengan sains modern dan teknologi. Langit kini kosong tanpa malaikat, terbuka untuk diintervensi oleh para astronom, dan akhirnya, oleh para astronot. Maka, proses sekularisasi pun dimulailah.

Berger menandaskan, pandangan bahwa dunia ini sudah kehilangan pesona magis dan kekeramatannya, karena mengalami desakralisasi dan demitologisasi, telah tersekularisasi, sudah dimulai dalam Perjanjian Lama, kitab suci agama Yahudi, agama yang dipenuhi oleh motif-motif transendentalisasi (Allah itu Esa, di atas sana, tidak terjangkau), historisasi (namun, Allah yang adikodrati itu, bekerja dalam sejarah Israel, menuntut respons umat, dan membuat ikatan perjanjian, berith, dengannya) dan rasionalisasi etika (anti-magis: umat diperkenan Allah bukan karena melakukan praktek-praktek magis, tetapi karena melaksanakan Taurat Allah).

Steve Bruce

Dalam bukunya yang ditulis tahun 1996, Religion in the Modern World,/4/ Bruce menjabarkan dengan jelas apa yang dilihatnya sebagai hubungan-hubungan yang esensial antara munculnya modernitas dan hilangnya bentuk-bentuk tradisional kehidupan keagamaan. 

Seperti Peter L. Berger, nah Steve Bruce juga melihat bahwa Protestantisme yang lahir pada masa Reformasi di abad ke-16, yang ikut mempercepat timbulnya individualisme dan kemenangan rasionalitas, telah mengubah watak agama dan tempatnya dalam dunia modern. Dunia modern yang dimaksudkan Bruce adalah dunia kehidupan yang dilandaskan pada kultur egalitarian dan politik demokrasi, yakni dunia Barat.

Ihwal bagaimana individualisme dan rasionalitas berkorelasi dalam melahirkan sekularisme, diungkap oleh Bruce demikian, 

“Individualisme mengancam basis komunal kepercayaan dan perilaku keagamaan, sedangkan rasionalitas menyingkirkan banyak tujuan agama dan membuat banyak kepercayaannya tak masuk akal lagi.”/5/ 

Keduanya, individualisme dan rasionalitas, bersama-sama membentuk watak kebudayaan Barat modern, yang prosesnya berlangsung lama dan rumit. 

Bersamaan dengan itu, pranata-pranata keagamaan juga berevolusi, dan dalam proses evolusioner ini, yang memakan waktu tiga sampai empat abad dalam sejarah Eropa, gereja dan sekte-sekte akhirnya berubah menjadi denominasi dan kultus (cult), yakni bentuk-bentuk organisasi keagamaan yang mencerminkan individualisme yang semakin berkembang dalam kehidupan keagamaan. 

Ketika perubahan itu terjadi, gereja yang universal, sebagai “kubah suci” (terminologi Peter L. Berger) yang merangkumi dan menaungi segalanya, lenyap, dan sebagai gantinya sekularisme muncul dan menyingkirkan agama ke wilayah privat saja.

Karel Dobbelaere

Bagi Karel Dobbelaere,/6/ sekularisasi adalah suatu proses dalam masyarakat di dalam mana suatu sistem keagamaan yang transenden dan mencakup segalanya disusutkan menjadi suatu subsistem dari masyarakat yang ada bersama subsistem-subsistem lainnya. Proses ini membuat klaim-klaim agama tentang pencakupan segalanya ("totalitarianisme religius") di dalam dirinya kehilangan relevansinya. Dengan demikian, lembaga agama termarjinalisasi dan terprivatisasi.

Dobbelaere berteori bahwa sekularisasi terjadi karena di dalam masyarakat telah berlangsung perubahan-perubahan struktural, yang membuat sistem besar pengelolaan atau manajemen masyarakat disubdivisikan ke dalam subsistem-subsistem yang lebih kecil namun rasional, yang masing-masing memainkan fungsi sendiri-sendiri (ekonomi, polity, famili, pendidikan, sains). 

Subsistem-subsistem ini berfungsi dengan sangat terspesialisasi dan terdiferensiasi, dan keadaan ini menghasilkan organisasi-organisasi yang makin bertambah rasional. Masyarakat menjadi tersegmentasi ke dalam sejumlah domain kelembagaan, yang fungsional, rasional dan otonom. 

Subdivisi-subdivisi, diferensiasi, segmentasi, spesialisasi dan individuasi fungsi-fungsi dalam masyarakat hanya bisa berlangsung kalau ada nilai-nilai civik inti yang melandasi dan menyemangati, yakni libertas dan equalitas. 

Tetapi karena tidak semua orang memiliki keahlian-keahlian yang diperlukan (meskipun ada nilai equalitas), maka di dalam subsistem-subsistem itu diperlukan orang-orang yang profesional. Siapa saja yang memiliki profesionalitas, boleh berfungsi dalam suatu subsistem yang cocok.

Dobbelaere menandaskan, “karena itu, kita dapat berbicara mengenai sekularisasi hanya di dalam masyarakat yang di dalamnya suatu proses diferensiasi telah dijalankan untuk memisahkan beberapa domain kelembagaan, misalnya, domain politik dari domain agama.”/7/ 

Katanya lagi, “semakin tinggi peringkat diferensiasi fungsional, maka sekularisasi akan semakin bertambah-tambah― ini berarti agama akan pertama-tama kehilangan atau berkurang dampaknya terhadap penentuan aturan-aturan yang mengatur domain-domain kelembagaan yang berbeda-beda. 

Dengan kata lain, aturan-aturan keagamaan tradisional, atau norma-norma yang didasarkan pada nilai-nilai keagamaan, akan semakin digantikan oleh norma-norma sekular, atau betul-betul tersingkir, menjadi tidak dapat dipakai di dalam subsistem-subsistem pendidikan, keluarga, polity, ekonomi, dan sains, yang berbeda-beda.”/8/

José Casanova

Dalam bukunya yang ditulis tahun 1994, Public Religions in the Modern World,/9/ José Casanova mengajukan lima studi kasus mengenai hubungan modernitas dan agama: dua kasus dari Eropa, dua kasus dari Amerika Serikat, dan satu kasus dari Amerika Latin. 

Baginya, paradigma sekularisasi tetap merupakan sebuah kerangka teoretis utama yang melaluinya ilmu-ilmu sosial dapat memandang dan menjelaskan relasi-relasi yang ada antara agama dan modernitas. 

Dia tidak melihat perlunya teori sekularisasi ditinggalkan atau dianggap telah tidak relevan lagi; melainkan, baginya, konsep tentang sekularisasi perlu diperhalus atau dibuat lebih rinci agar dapat tetap digunakan untuk melakukan suatu analisis yang lebih akurat terhadap agama-agama dalam dunia modern di berbagai belahan dunia. 

Dalam banyak hal, analisis-analisis sosiologis Casanova bertumpu pada karya-karya berpengaruh Karel Dobbelaere, misalnya dalam pemahamannya mengenai diferensiasi kawasan-kawasan sekular yang menjadi bagian dari konsep tentang sekularisasi.

Kerancuan dan keanekaragaman yang membingungkan di dalam konsep sekularisasi timbul, menurut Casanova, karena konsepnya sendiri. 

Konsep sekularisasi dengan demikian perlu dijernihkan terlebih dulu sebelum perdebatan dapat dilangsungkan lebih jauh. Dia memperinci konsep sekularisasi. 

Dia menyatakan dalam bukunya: “Sebuah tesis penting dan premis teoretis utama karya ini adalah bahwa apa yang biasanya dipandang sebagai suatu teori tunggal tentang sekularisasi sebetulnya terdiri atas tiga proposisi yang berbeda, asimetris dan tak terintegrasi, yakni:
  • sekularisasi sebagai diferensiasi wilayah-wilayah sekuler, yang membedakan wilayah-wilayah ini dari pranata-pranata dan norma-norma keagamaan;
  • sekularisasi sebagai kemunduran kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek keagamaan;
  • dan sekularisasi sebagai marjinalisasi agama ke suatu wilayah yang terprivatisasi.
Jika premis ini benar, maka pembedaan analitis ini haruslah bermuara pada berakhirnya debat yang tak produktif tentang sekularisasi, yakni hanya ketika para sosiolog agama mulai memeriksa dan menguji validitas masing-masing tiga proposisi ini dengan satu sama lain tidak bergantung.”/10/

Ada dua poin penting yang dihasilkan dari studi-studi kasus yang dilakukan Casanova. 

Pertama, sekularisasi sebagai diferensiasi adalah inti penting dari teori sekularisasi. “Diferensiasi dan emansipasi kawasan-kawasan sekular dari pranata-pranata dan norma-norma keagamaan tetap merupakan suatu trend struktural modern yang umum.”/11/ 

Meskipun demikian, modernitas tidaklah harus berarti suatu reduksi dalam peringkat kepercayaan dan praktek keagamaan; dan juga tidaklah mengakibatkan agama harus seluruhnya tersingkir ke wilayah privat. 

Sebenarnya, dalam bukunya itu Casanova bermaksud bukan hanya untuk menemukan tetapi juga untuk mengafirmasi suatu peran publik yang absah bagi agama di dalam dunia modern, termasuk Eropa modern. 

Poin keduanya adalah: gereja-gereja yang telah melawan diferensiasi struktural gereja dan negara, khususnya gereja-gereja negara di Eropa, adalah gereja-gereja yang telah menginsafi bahwa sangatlah sulit untuk berhadapan dengan tekanan-tekanan yang timbul dari gaya kehidupan modern. Akibatnya, vitalitas keagamaan menjadi jauh mundur dalam kebanyakan negara Eropa modern. 

Ketimbang sebagai suatu hasil yang tak terhindar dari modernitas, kemunduran ini sebetulnya muncul dari pengaturan-pengaturan khusus yang telah dibuat dalam penataan hubungan gereja dan negara yang menguasai sejarah Eropa. Fenomena ini adalah suatu fenomena Eropa, yang dapat dijelaskan dengan suatu penjelasan Eropa, dan bukan sebuah contoh mengenai suatu hubungan aksiomatis antara modernitas dan sekularisasi dalam dunia secara keseluruhan.

Danièle Hervieu-Léger

Hervieu-Léger, seorang sosiolog Prancis terkemuka, dalam sebuah karyanya, Religion as a Chain of Memory, berupaya untuk mengidentifikasi dan memperhalus perangkat konseptual teoretis yang diperlukan dalam usaha memahami agama dalam dunia modern./12/ 

Dalam Bagian 3, bab 7 bukunya ini, dia menyatakan bahwa “sekularisasi adalah suatu krisis memori kolektif”, dengan memakai Katolisisme Prancis sebagai sampelnya.

Baginya, setiap individu yang mempercayai suatu agama, individu ini, dan juga orang-orang lain dalam komunitas keagamaannya, terikat oleh suatu chain, suatu mata rantai, yang membuatnya menjadi suatu bagian atau seorang anggota dari komunitasnya, bukan hanya komunitasnya pada masa kini, tetapi juga komunitasnya pada masa lampau dalam sejarah dan komunitasnya pada masa yang akan datang. Mata rantai terpenting yang mengikat dirinya dengan komunitasnya (dulu, kini dan di masa depan) adalah tradisi religius atau “memori kolektif” komunitasnya ini. 

Fondasi atau basis paling mendasar dari eksistensi sebuah komunitas keagamaan adalah memori kolektif ini, memori yang menjadi suatu otoritas yang melegitimasi keberadaan komunitas ini. 

Jika memori kolektif ini dengan kuat bertahan, suatu komunitas keagamaan memiliki suatu perangkat kognitif yang membuatnya mampu menghadapi berbagai krisis dalam kehidupannya dan dengan demikian menjadikannya dapat tetap religius.

Dengan titik tolak ini, Hervieu-Léger berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat modern, khususnya masyarakat-masyarakat Eropa modern, menjadi makin kurang religius, atau makin sekuler, bukan karena mereka bertambah rasional, tetapi karena mereka makin kurang mampu mempertahankan memori kolektif mereka yang mendasari dan mengabsahkan keberadaan mereka sebagai komunitas-komunitas keagamaan. 

Masyarakat yang telah kehilangan memori kolektif tradisional mereka adalah suatu masyarakat yang, memakai istilah Hervieu-Léger sendiri, sedang menderita amnesia, an amnesiac society; dan dalam keadaan sakit kehilangan memori ini, mereka tidak mampu menemukan elemen-elemen alternatif untuk menggantikan memori kolektif mereka yang sangat menentukan pembentukan masyarakat ini dulu dalam sejarah. Tetapi masih ada sebuah sisi lainnya.

Seperti sudah diulasnya juga dalam bukunya sebelumnya,/13/ Hervieu-Léger menandaskan bahwa bentuk-bentuk tradisional kehidupan keagamaan dalam masyarakat-masyarakat modern pada dasarnya telah terkorosi. 

Sementara modernitas memang mengikis dan memakan basis keagamaan dari masyarakat, pada pihak lain masyarakat ini tetap membuka ruang-ruang atau sektor-sektor yang hanya bisa diisi oleh agama. 

Oleh Hervieu-Léger, ruang-ruang ini dinamakan ruang-ruang “utopia”; dan menurutnya, terbukanya ruang-ruang utopia ini adalah suatu manifestasi besar dari inovasi-inovasi keagamaan yang dapat dibuat oleh masyarakat ketika menghadapi modernitas dan sekularisasi. Di dalam ruang-ruang utopia inilah agama tetap bertahan, kendatipun masyarakat sudah sekular.

Orang perorangan dalam masyarakat modern yang sudah tersekularisasi didorong untuk terus mencari jawab, mencari solusi, dan membuat kemajuan. Aktivitas kognitif dan kultural semacam ini sudah merupakan bagian yang semakin wajar dalam pengalaman manusia modern. 

Tetapi ihwal apakah semua aktivitas ini akan mencapai tujuannya, tetap merupakan hal yang problematis, sebab horison di depan yang orang modern kejar selalu bergerak menjauh. 

Kalau halnya demikian dalam pengalaman eksistensial kehidupan modern, begitu juga dalam usaha orang beragama dalam membuka ruang-ruang utopia yang sudah disebut di atas. Utopia senantiasa melampaui dan berada di atas realitas sehari-hari. 

Semakin suatu proyek modernitas berhasil direalisasi (artinya: semakin sekular suatu masyarakat), semakin besar pula tandingannya yang berbentuk ruang-ruang utopia itu. Di sinilah terletak sebuah paradoks modernitas: dalam bentuk-bentuk sosiologis historisnya, modernitas menyingkirkan kebutuhan akan agama dan rasa beragama (yang sudah hilang dari memori kolektif masyarakat, sebagai amnesia); tetapi, di lain pihak, dalam bentuk-bentuk utopianya modernitas tetap perlu bersentuhan dengan kebutuhan-kebutuhan keagamaan, kebutuhan-kebutuhan akan suatu masa depan yang religius.

Pippa Norris dan Ronald Inglehart

Dalam bagian awal buku mereka, yang berjudul Sacred and Secular: Religion and Politics Worldwide (ditulis tahun 2004), Norris dan Inglehart menulis, 

“Apakah Comte, Durkheim, Weber, dan Marx sama sekali telah keliru di dalam kepercayaan mereka tentang kemunduran agama di dalam masyarakat-masyarakat yang terindustrialisasi? Apakah pandangan sosiologis yang menguasai abad ke-20 ini secara menyeluruh menyesatkan? Apakah perdebatannya telah selesai? Kami pikir tidak demikian. Berbicara tentang memakamkan teori sekularisasi adalah prematur.”/14/ 

Norris dan Inglehart tidak ragu sedikitpun bahwa teori sekularisasi tradisional perlu dibarui. Bagi mereka sudah jelas bahwa agama tidak lenyap dari dunia, dan tampaknya mungkin juga tak akan pernah lenyap. 

Kendatipun demikian, konsep sekularisasi menangkap suatu bagian penting dari apa yang sedang berlangsung. Mereka mengajukan suatu versi perbaikan atas teori sekularisasi tradisional.

Dalam “revised theory” yang mereka ajukan, penekanan mereka berikan pada ihwal sejauh mana orang dapat memiliki suatu perasaan bahwa kehidupan mereka berlangsung dengan aman, suatu perasaan bahwa mereka memiliki suatu “sekuritas eksistensial”, suatu perasaan bahwa kehidupan mereka dapat tetap bertahan dan cukup aman. 
Nah, kedua hal itu (ketahanan dan keamanan kehidupan) diyakini terjamin begitu saja. 

Mereka menegaskan bahwa religiositas merupakan sesuatu yang tetap penting dan dirasakan paling kuat justru di kalangan penduduk yang rentan, khususnya di antara orang-orang yang hidup di dalam negara-negara yang lebih miskin, yang sedang menghadapi risiko-risiko yang mengancam ketahanan kehidupan pribadi. 

Mereka berpendapat, perasaan bahwa seseorang itu rentan terhadap risiko-risiko fisikal, sosial, ekonomis dan personal adalah suatu faktor kunci yang mendorong munculnya religiositas, dan menunjukkan bahwa proses sekularisasi—yaitu suatu erosi sistematis atas praktek-praktek, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan keagamaan—telah berlangsung paling jelas di antara sektor-sektor sosial yang paling makmur, yang hidup di dalam negara-negara yang berkelimpahan dan aman.

Kendatipun ada bukti-bukti bahwa seorang yang hidup kaya raya dan berkelimpahan dapat sangat fanatis dalam beragama (misalnya Osama bin Laden), namun ada bukti yang sangat berlimpah yang menunjukkan hal sebaliknya. 

Yakni, orang yang mengalami risiko-risiko ego-tropis selama masa formatif mereka (yang menjadi ancaman langsung bagi diri mereka sendiri dan keluarga-keluarga mereka) atau risiko-risiko sosio-tropis (yang menjadi ancaman langsung bagi komunitas mereka) condong akan jauh lebih religius ketimbang orang-orang yang tumbuh dewasa di bawah kondisi-kondisi yang lebih aman, menyenangkan dan lebih dapat diprediksi. 

Dalam masyarakat-masyarakat yang relatif aman, sisa-sisa agama tidak mati dan lenyap. Dalam banyak survei, kebanyakan orang Eropa masih mengungkapkan kepercayaan formal mereka terhadap Allah, atau mengidentifikasi diri mereka sebagai orang-orang Protestan atau orang-orang Katolik dalam bentuk-bentuk yang resmi. 

Tetapi di dalam masyarakat-masyarakat ini kepentingan dan vitalitas agama, dan pengaruhnya yang tetap ada atas ihwal bagaimana orang menjalani kehidupan sehari-hari, telah secara bertahap mengalami pengikisan. 

Menurut keduanya, “kesenjangan yang makin meluas antara masyarakat yang sakral dan masyarakat yang sekular di seluruh dunia akan mendatangkan konsekuensi-konsekuensi penting bagi politik dunia, dengan menaikkan peran agama pada agenda internasional.”/15/

Desekularisasi

Peter L. Berger

Kalau di tahun 1960-an Peter L. Berger menjadi salah seorang pendukung teori sekularisasi, empat dasawarsa sesudahnya, di dalam sebuah tulisannya yang berjudul The Desecularization of the World (terbit 1999), dia menyatakan bahwa dunia pada masa kini “beragama dengan hebat sama seperti sebelumnya” (“as furiously religious as it ever was”). 

Tulisnya selanjutnya, “Ini berarti seluruh korpus literatur yang ditulis para sejarawan dan ilmuwan sosial yang dengan longgar dilabelkan sebagai ‘teori sekularisasi’ pada dasarnya salah.”/16/ 

Menulis di ujung abad ke-20, Berger menandaskan, “Tidak ada alasan untuk berpikir bahwa dunia pada abad ke-21 akan kurang beragama dibandingkan dunia pada masa kini”./17/ 

Kalaupun ada sejumlah kecil sosiolog agama yang berusaha mempertahankan teori sekularisasi, Berger menyebut mereka sebagai para sosiolog “pertahanan terakhir” (last-ditch defense) yang berteori bahwa modernisasi sesungguhnya mendatangkan sekularisasi, dan kebangkitan besar keagamaan pada masa kini merupakan suatu pertahanan terakhir dari agama-agama yang tidak dapat berlangsung lama, sebab akhirnya sekularitas akan menang.

Meskipun demikian, Berger mengakui bahwa pada masa kini kekuatan sekularisasi tetap bekerja dan “berinteraksi dengan kekuatan kontra-sekularisasi.”/18/ 

Desekularisasi paling nyata dalam Islam dan kekristenan evangelikal yang dalam penilaian Berger merupakan dua agama yang bangkit paling dinamis dalam dunia masa kini. 

Penyebab utama desekularisasi di lihat Berger ada di dalam psikologi: modernitas condong merongrong kepastian-kepastian yang selama ini diyakini dan diterima begitu saja dari agama-agama, yang dinilai telah memelihara dan menenteramkan manusia di sepanjang sejarah mereka. Hilangnya kepastian tidaklah bisa ditolerir oleh jiwa manusia; karena itu, gerakan-gerakan keagamaan yang mengklaim sanggup memberikan kepastian hidup memiliki daya tarik yang sangat besar.

Di lain pihak, dalam pengamatan Berger, Eropa Barat (dan Eropa Tengah) merupakan suatu kekecualian, sebab di sana sekularisasi bukan menghilang, tetapi tetap kuat. 
Dalam penilaiannya, di Eropa Barat teori sekularisasi lama tampak masih tetap berlaku. 

Kekecualian kedua berupa suatu subkultur elitis internasional yang terdiri atas orang-orang yang telah menerima pendidikan tinggi gaya Barat, khususnya dalam bidang humanitas dan ilmu-ilmu sosial, yang memiliki pemikiran dan gaya hidup yang sudah tersekularisasi. 

Subkultur elitis itulah pembawa dan pendukung utama nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan era Pencerahan yang sekular progresif, dan mereka sangat berpengaruh di bidang pendidikan, media dan hukum. 

Dalam sebuah tulisan lainnya yang ditulis tahun 2008, berjudul “Religious America, Secular Europe?”, Berger menyatakan, 

“Kebanyakan bagian dunia dewasa ini dicirikan oleh suatu ledakan gerakan-gerakan keagamaan yang fanatik dan bersemangat. Eropa adalah suatu kekecualian geografis terhadap ciri ini…. Kekecualian lainnya bersifat sosiologis, yakni adanya kalangan cendekiawan lintas-bangsa yang sangat tersekularisasi.”/19/ 

Tak pelak lagi, tulis Berger, “teori sekularisasi adalah suatu ekstrapolasi, suatu penarikan kesimpulan dari situasi Eropa yang diterapkan ke bagian-bagian lain dunia ini— suatu generalisasi yang dapat dimengerti tetapi akhirnya tidak valid.”

Dalam tulisan tahun 2008-nya ini Berger memerinci faktor-faktor apa saja yang membuat Eropa (khususnya Eropa Barat dan Eropa Tengah, dan lebih khusus lagi negara-negara Eropa yang didominasi Protestantisme) tetap sekular kendatipun di belahan-belahan dunia lainnya, khususnya Amerika Serikat, arus desekularisasi atau religiositas sangat kuat.

Pertama, di Eropa gereja-gereja besar pada umumnya secara resmi dibangun oleh negara sehingga gereja-gereja di sana adalah gereja negara. Kalau masyarakat tidak menyukai negara, ketidaksukaan ini tak terhindarkan lagi juga diarahkan kepada gereja.

Kedua, kendatipun ikatan antara gereja dan negara diperlemah setelah Revolusi Perancis, masyarakat Eropa terus saja memandang gereja-gereja sebagai suatu jenis pelayanan publik oleh negara, dan hal ini berakibat pada kelambanan atau ketidakmampun gereja-gereja di Eropa untuk terlibat persaingan demi pertumbuhan di dalam kompetisi pasar bebas keagamaan dalam masyarakat yang dicirikan oleh pluralisme. 

Keadaannya berbeda di Amerika Serikat, di mana bukan hanya gereja-gereja, tetapi juga sekte-sekte dan denominasi-denominasi berfungsi sebagai lembaga-lembaga yang ke dalamnya orang masuk secara sukarela. 

Sebagai “voluntary associations”, gereja-gereja di sana dengan bebas masuk ke dalam persaingan pasar bebas keagamaan dalam era pluralisme dewasa ini, dan hal ini menjadi salah satu penyebab sekularisasi tidak melanda Amerika Serikat yang sistem pemerintahannya memberlakukan hubungan terpisah antara gereja dan negara.

Ketiga, Pencerahan yang berlangsung di Eropa, yang dapat dilihat terwakili oleh Pencerahan di Perancis (dan bukan oleh Pencerahan di Inggris), memiliki ciri anti-klerikal yang tajam, dan juga anti-Kristen dengan sangat terbuka. 

Versi Pencerahan Perancis yang semacam itu disimbolkan oleh pekik Voltaire yang terkenal: “Hancurkan sang keburukan!” (écrasez l’infâme), maksudnya: Hancurkan Gereja Katolik! 

Walaupun Revolusi Perancis gagal mencapai apa yang diteriakkan Voltaire, namun pemisahan antara gereja dan negara yang terjadi di tahun 1905 menunjukkan kalangan progresif dan anti-klerikal di Perancis, yang mengusung “ideologi nalar”, telah mendapatkan suatu kemenangan yang sangat menentukan, dengan mengalahkan kalangan konservatif dan Gereja Katolik. 

Setelah gereja dipisahkan dari negara, maka Republik Perancis menjadi sebuah Republik sekular, sebuah Republik laїque, sebuah Republik yang telah dibersihkan sama sekali dari semua simbolisme keagamaan. 

Ideal laїcite Perancis berpengaruh kuat pada pemikiran dan praktek demokratis di seluruh benua Eropa dan juga di Amerika Latin. 

Republik Perancis kini mengklaim monopoli ideologis yang sebelumnya dipegang gereja. 

Berbeda dari versi Pencerahan Perancis, versi Pencerahan Amerika, yang mengusung “politik kebebasan”, tidak berciri anti-klerikal dan juga tidak anti-Kristen. Dengan demikian, Pencerahan Amerika tidak dapat berfungsi sebagai suatu legitimasi bagi sekularitas entah di dalam negara atau di dalam masyarakat.

Keempat, sejalan dengan masing-masing versi Pencerahan di Perancis dan di Amerika Serikat yang berbeda satu sama lain, kalangan intelektual Perancis memainkan suatu peran penting sebagai pembawa ideal-ideal, cita-cita dan gagasan-gagasan Pencerahan yang sekular. 

Di Amerika Serikat keadaannya berbeda, sebab di negara ini sejak awal masyarakatnya komersial dan karenanya pragmatis dan tidak menunjukkan suatu penghormatan terhadap kalangan cendekiawan yang dikenal sebagai “kelas yang suka mengoceh”. 

Well, suatu ejekan diarahkan ke kalangan intelektual Amerika: “Jika anda sangat cerdas, mengapa anda tidak kaya raya?” 

Namun, belakangan kalangan intelektual Amerika “terEropanisasi” dalam sikap mereka terhadap agama dan hal-hal lain. Namun mereka juga harus berbantahan dengan kalangan populer yang sangat kuat memusuhi mereka, dan ada relatif sedikit intelektual Amerika yang akhirnya memihak kalangan yang semula memusuhi mereka.

Kelima, kalangan intelektual mendefinisikan hal-hal apa saja yang termasuk dan yang tak termasuk “kebudayaan kalangan atas terpelajar” (high culture); kalangan inilah yang di Eropa telah menciptakan suatu high culture

Orang-orang di luar kalangan intelektual mendapatkan ciri dan tanda kebudayaan mereka dari kalangan intelektual ini. 

Di Eropa, untuk menjadi modern, untuk memiliki suatu wawasan kebudayaan yang berorientasi ke masa depan dan bukan berorientasi mundur ke masa lampau, orang harus menjadi sekular. Modern berarti sekular. Hal ini tidak terjadi di Amerika Serikat, setidaknya sampai waktu belakangan ini, ketika kalangan intelektual Amerika mengalami Eropanisasi, seperti baru ditulis di atas, yakni mulai sekitar tahun 1950-an dan memuncak di tahun 1970-an.

Keenam, ada dua wahana kelembagaan di Eropa yang menyebarkan gagasan-gagasan Pencerahan dari kalangan intelektual ke penduduk umumnya; dua wahana ini tidak ada di Amerika Serikat. 

Wahana pertama adalah sistem pendidikan yang dikontrol oleh negara secara terpusat. Kasus paling jelas tentang ini adalah Perancis: di negara sekular ini kurikulum dikendalikan oleh menteri pendidikan di Paris, korpus para guru dilatih di lembaga-lembaga negara dan dari situ menyebar ke seluruh negara. Ketika pendidikan primer dan sekunder menjadi pendidikan wajib, para guru ini memiliki kekuasaan yang sebelumnya mereka tak miliki untuk mendidik anak-anak di dalam sekularitas yang tercerahkan. 

Model penyelenggaraan pendidikan di seluruh negara Eropa lainnya sangat dekat dengan model pendidikan di Perancis, ketimbang dengan model pendidikan di Amerika Serikat yang baru belakangan ini dikendalikan oleh pemerintah lokal. 

Wahana kedua adalah partai-partai politik dan serikat-serikat pekerja yang sekarang ini tumbuh pesat karena peran yang dimainkan di dalamnya oleh kalangan cendekiawan yang mendukung berbagai ideologi Kiri dengan kecondongan kuat ke arah sekularisme. Subkultur ini, yang tak ada analoginya di Amerika Serikat, dengan sadar diri mengambil posisi anti-klerikal dan anti-Katolik. 

Konflik antara kalangan Kiri sekuler dan kalangan Kanan religius paling kuat berlangsung di negara-negara Katolik di Eropa, kendatipun ada juga analogi-analoginya yang kurang tajam di lingkungan Protestan.

Ketujuh, tidak seperti di Amerika Serikat, di Eropa gereja-gereja tidak menjadi tanda-tanda kelas sosial (markers of class) sehingga orang Eropa tidak membutuhkan gereja untuk menandakan status dan peringkat sosial ekonomi mereka. 

Di Amerika Serikat, denominasi yang sangat majemuk berkombinasi dengan mobilitas geografis yang tinggi sehingga menghasilkan suatu sistem unik simbolisme kelas. Dengan demikian, di dalam setiap komunitas Amerika berkembang suatu sistem pemeringkatan gereja-gereja yang secara langsung bersentuhan dengan status dan kelas sosial anggota-anggota gereja. 

Di Amerika, ada konvergensi antara agama dan kelas sosial, sesuatu yang tidak ada analoginya di Eropa. 

Selain itu, di Amerika gereja-gereja etnis juga tumbuh dengan marak karena mereka harus melakukan pelayanan dan pertolongan kepada kalangan imigran yang masuk, yang memiliki etnisitas yang sama dengan etnisitas kebanyakan anggota gereja yang melayani. Jadi, ada identifikasi antara etnisitas dan agama, yang analoginya tidak ditemukan di Eropa, kalaupun ada hanya sedikit.

Talal Asad

Dalam buku yang ditulis tahun 2003, Formations of the Secular,/20/ Talal Asad antara lain melakukan analisa evaluatif atas teori sekularisasi yang dirumuskan José Casanova dalam bukunya yang sudah dirujuk di atas, Public Religions in the Modern World

Menurut Talal Asad, teori sekularisasi yang dikembangkan Casanova terbukti seluruhnya salah atau paling sedikit mengalami rongrongan. 

Asad menulis tiga unsur yang membangun teori sekularisasi yang, sebagaimana sudah ditulis di atas, dikembangkan Casanova, yang merupakan unsur-unsur penting dalam membangun modernitas, yakni: (1) diferensiasi struktural ruang-ruang sosial yang makin bertambah, yang mengakibatkan pemisahan agama dari politik; (2) privatisasi agama di dalam kawasannya sendiri; (3) kemunduran signifikansi sosial dari kepercayaan, komitmen dan pranata-pranata keagamaan. 

Dari tiga unsur ini, ternyata hanya unsur pertama dan unsur ketiga yang dinyatakan Casanova terbukti benar, sedang unsur yang kedua (privatisasi agama) ternyata tak terjadi. 

Namun dalam pandangan Asad, seluruh unsur dalam teori sekularisasi Casanova gagal terpenuhi, sebagaimana diuraikan berikut ini.

Asad menyatakan, 

“Banyak pengamat masa kini mempertahankan bahwa ledakan agama politis secara global di dalam masyarakat-masyarakat modern dan yang sedang menuju modern membuktikan bahwa tesis sekularisasi salah. Para pembela teori sekularisasi umumnya berkilah bahwa fenomena ini hanyalah menunjukkan adanya suatu perlawanan luas terhadap modernitas dan suatu kegagalan proses modernisasi. Respons ini menyelamatkan tesis sekularisasi dengan membuatnya normatif: supaya suatu masyarakat menjadi modern, masyarakat ini harus sekular, dan untuk menjadikannya sekular, masyarakat ini harus menyingkirkan agama ke wilayah-wilayah nonpolitis karena penataan semacam ini esensial bagi masyakarat modern.”/21/ 

Asad mengakui bahwa Casanova dalam bukunya itu memang menolak normativitas teori sekularisasi dan tautologi yang diperlihatkan Asad ini.

Bagi Casanova, deprivatisasi agama bukanlah suatu penolakan terhadap teori sekularisasi jika deprivatisasi ini terjadi dalam cara-cara yang konsisten dengan persyaratan mendasar terbentuknya masyarakat modern, termasuk pemerintahan demokratis. 

Dengan kata lain, kendatipun privatisasi agama di dalam wilayahnya sendiri adalah bagian dari apa yang dimaksud dengan sekularisasi, privatisasi ini bukanlah bagian esensial dari modernitas. Yang menjadi argumen di sini adalah ihwal apakah deprivatisasi keagamaan mengancam modernitas atau tidak, bergantung pada bagaimana agama menjadi suatu pranata publik, menjadi suatu pranata yang terdeprivatisasi. 

Jika suatu agama memajukan konstruksi masyarakat sipil (seperti di Polandia) atau memajukan debat publik di sekitar isu-isu liberal (seperti di Amerika Serikat), maka agama politis ini seluruhnya sejalan dengan modernitas. 

Sebaliknya, jika suatu agama politis berusaha merongrong masyarakat sipil (seperti di Mesir) atau kebebasan individu (seperti di Iran), maka agama politis ini seseungguhnya suatu pemberontakan terhadap modernitas dan nilai-nilai universal zaman Pencerahan.

Tetapi posisi Casanova ini dinilai Asad bukanlah suatu posisi yang sepenuhnya koheren. Sebab, Asad bertanya, jika peran yang absah dari agama yang sudah terdeprivatisasi dijalankan dengan efektif, maka apa yang terjadi dengan unsur-unsur lain dalam teori sekularisasi Casanova, yakni unsur yang pertama dan unsur yang ketiga yang dinyatakan Casanova bertahan?

Menurut Asad, ketika agama menjadi suatu bagian integral dari politik modern, agama tidak akan mengambil sikap tidak perduli terhadap debat tentang bagaimana ekonomi bangsa harus dijalankan, atau terhadap debat mengenai proyek-proyek keilmuan mana yang harus didanai dari dana publik, atau terhadap debat tentang apa yang harus menjadi tujuan-tujuan lebih luas dari suatu sistem pendidikan nasional. 

Masuknya agama dengan cara yang sah ke dalam perdebatan-perdebatan itu menghasilkan “blasteran” (hybrid) modern, akibatnya prinsip diferensiasi struktural (bahwa agama, ekonomi, pendidikan, dan sains ditempatkan di dalam wilayah-wilayah sosial yang otonom) tidak lagi dapat dipertahankan. 

Dengan demikian, tandas Asad, unsur pertama teori sekularisasi Casanova gagal terpenuhi. 

Lebih jauh, mengingat bahwa masuknya agama ke dalam perdebatan politis akan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang efektif, dan bahwa komitmen-komitmen yang fanatis muncul dari perdebatan-perdebatan ini, maka jadi kurang masuk akal jika orang mengukur signifikansi sosial dari agama hanya berdasarkan indeks berapa banyak orang yang mengunjungi gereja. Dengan demikian, unsur ketiga dari tesis sekularisasi Casanova tak terpenuhi.

Mengakhiri analisisnya, Asad menegaskan bahwa jika teori sekularisasi makin tampak tidak masuk akal dalam pandangan banyak orang, hal ini terjadi bukan hanya karena agama dewasa ini memainkan suatu peran vital di dalam dunia modern bangsa-bangsa, tetapi juga karena kategori-kategori “agama” dan “politik” ternyata berhubungan satu sama lain dengan lebih dalam ketimbang yang kita pikirkan, suatu penemuan yang terjadi bersamaan dengan pemahaman kita yang makin bertumbuh mengenai kekuatan-kekuatan negara-bangsa yang modern. Konsep sekularisasi tak dapat bekerja tanpa gagasan tentang agama.

Rodney Stark dan Roger Finke

Stark dan Finke, dalam buku mereka yang ditulis tahun 2000, berjudul Acts of Faith: Explaining the Human Side of Religion,/22/ menggarisbawahi satu hal yang menurut mereka merupakan satu-satunya prediksi dari teori sekularisasi, yakni lenyap atau matinya kepercayaan keagamaan dan kesalehan pribadi orang perorangan ketika modernitas memasuki semua bidang kehidupan. 

Pada bagian akhir bab 3 buku mereka (yang diberi judul “Secularization, R.I.P”), keduanya menandaskan, 

“Setelah hampir tiga abad kegagalan telak nubuat-nubuat dan misrepresentasi baik atas masa lampau maupun atas masa kini, tampaknya sudah waktunya untuk membawa doktrin sekularisasi ke makam teori-teori yang gagal, dan di sana berbisik, ‘Requiescat in pace.’”/23/ 

Ketimbang teori sekularisasi, menurut keduanya, yang “diperlukan adalah suatu korpus teori untuk menjelaskan variasi keagamaan, untuk memberitahu kita kapan dan mengapa beranekaragam aspek keberagamaan bangkit dan tumbang, atau stabil. Dalam hal ini, teori sekularisasi tidak berguna sama seperti suatu elevator hotel tak berguna apabila hanya bisa turun.”/24/

Mengenai teori sekularisasi, kedua pengkaji agama ini mengajukan beberapa catatan, di antaranya berikut ini. 

Pertama, teori sekularisasi selalu ditempatkan di dalam suatu kerangka teoretis yang lebih luas dari teori modernisasi, dan tak pernah berdiri sendiri. 

Menurut teori sekularisasi, ketika modernisasi berlangsung, yakni ketika industrialisasi, urbanisasi, dan rasionalisasi berkembang, maka religiositas harus menurun. Sejarah telah memperlihatkan bahwa modernisasi adalah suatu proses yang relatif konstan, gradual dan panjang; proses modernisasi tidak berlangsung turun naik. 

Jika sekularisasi adalah suatu hasil dari proses modernisasi atau salah satu aspeknya, maka sekularisasi tidak berlangsung turun naik, melainkan juga akan memperlihatkan trend kemunduran religius yang berlangsung relatif konstan, gradual dan jangka panjang, sejalan dengan trend serupa yang bergerak naik ke atas di dalam aspek-aspek modernisasi seperti perkembangan ekonomi, urbanisasi, dan pendidikan. 

Kalau modernisasi adalah suatu kurva yang bergerak ke atas, linier dan jangka panjang, maka sekularisasi dianggap mengikuti jejak kurva ini secara timbal-balik, yakni membentuk suatu kurva linier, jangka panjang dan bergerak ke bawah. Dengan demikian, “teori sekularisasi tidak sejalan entah dengan stabilitas (jumlah penganut agama) atau dengan pertambahan: teori sekularisasi memerlukan suatu pola kemunduran keagamaan yang umum dan berlangsung jangka panjang.”/25/ 

Dengan demikian, tidak otomatis bahwa suatu modernisasi yang berlangsung di suatu negara akan langsung menjadikan penduduk negara itu sekular; baik modernisasi dan sekularisasi memerlukan suatu waktu yang panjang, berlangsung gradual dan relatif konstan.

Kedua, meskipun teori sekularisasi pada dasarnya, menurut Stark dan Finke, memprediksi lenyapnya kepercayaan dan kesalehan religius individu, belakangan ini muncul berbagai usaha dari para sosiolog agama untuk menyelamatkan teori sekularisasi dengan memasukkan aspek-aspek baru yang ditekankan dalam teori sekularisasi yang dibarui, berhubung ada fakta-fakta di lapangan yang tidak menyenangkan, yang tidak mendukung teori sekularisasi yang diformulasikan pada awal kemunculannya. 

Belakangan ini, sebagai sebuah versi makronya, sekularisasi disamakan dengan deinstitusionalisasi, seperti dalam pandangan Karel Dobbelaere yang sudah diulas di atas dan dalam pandangan David Martin./26/ 

Deinstitusionalisasi mengacu kepada suatu kemunduran atau lenyapnya kekuasaan sosial dari institusi keagamaan berhubung di dalam masyarakat telah bermunculan berbagai lembaga sosial lain yang sudah terdiferensiasi dan terspesialisasi, khususnya lembaga-lembaga politik dan pendidikan, yang tidak berada di bawah kendali dan dominasi lembaga-lembaga keagamaan sebelumnya. 

Jika teori sekularisasi belakangan ini mengganti fokusnya pada deinstitusionalisasi dan bukan pada kesalehan keagamaan individu yang terbukti di lapangan tidak lenyap kendatipun modernisasi sedang berlangsung, revisionisme semacam ini, bagi Stark dan Finke, “bukan hanya secara historis salah, tetapi juga tidak jujur.”/27/ 

Keduanya mempersoalkan sebuah pernyataan yang dibuat Karel Dobbelaere bahwa “keberagamaan orang seorang bukanlah sebuah indikator yang sah dalam mengevaluasi proses sekularisasi.”/28/

Ketiga, berbagai jenis teori sekularisasi mengajukan sebuah klaim, tersirat di dalam semua jenis teori ini dan tersurat di dalam kebanyakan teori, bahwa dari antara semua aspek modernisasi, sains modern adalah suatu aspek yang mendatangkan akibat-akibat paling mematikan bagi agama. 

Dalam perspektif itu, era Pencerahan dipandang telah melahirkan suatu pandangan rasional terhadap dunia ini yang didasarkan pada standard bukti empiris, pengetahuan ilmiah mengenai fenomena alamiah, dan penguasaan atas jagat raya melalui teknologi. 

Sekitar tahun 1960-an dan 1970-an, sedikitnya tiga sosiolog agama mempertahankan argumen rasionalis ini, yakni Peter L. Berger, David Martin dan Brian R. Wilson./29/

Lilliane Voyé dan Karel Dobbelaere di tahun 1993 menjelaskan bahwa karena sains modern adalah “suatu perspektif yang sepenuhnya sekular tentang dunia ini” dan telah menguasai banyak kurikulum pendidikan, maka hal ini berakibat pada “desakralisasi isi pembelajaran dan pandangan dunia para pelajar.” 

Lebih lanjut, Voyé dan Dobbelaere mengklaim bahwa “keberhasilan sains menyingkirkan semua jenis antropomorfisme dari pemikiran kita telah mengubah konsep tradisional tentang ‘Allah sebagai suatu pribadi’ menjadi suatu kepercayaan pada suatu daya-kehidupan, suatu kuasa roh, dan hal ini juga telah dengan bertahap memunculkan agnostisisme dan ateisme—yang menjelaskan kemunduran praktek-praktek religius dalam jangka panjang.”/30/ 

Tetapi, menurut Stark dan Finke, adalah suatu keyakinan yang salah jika orang percaya bahwa sains modern akan menyingkirkan agama sebagai takhayul dan membuat para saintis menjadi relatif tidak religius. 

Bagi mereka, para saintis tetap religius sebagaimana orang lain manapun, dan adalah suatu mitos jika orang beranggapan bahwa agama dan sains tidak sejalan. Mereka juga mengklaim telah menunjukkan dengan data empiris bahwa “konflik antara agama dan sains pada dasarnya adalah fiktif, dan bahwa para saintis tidaklah kentara irreligius.”/31/

Penutup

Setelah mencermati semua uraian di atas tentang teori sekularisasi dan tentang desekularisasi dunia pada umumnya (kecuali Eropa Barat dan Eropa Tengah), pada bagian penutup ini, tiga poin penting mau diajukan dan disoroti melalui pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban.

Pertama, apakah betul bahwa tradisi keagamaan Yudeo-Kristen, khususnya tradisi kekristenan Reformatoris Protestan, adalah tradisi yang di atasnya dibangun modernitas yang menimbulkan sekularisasi, dan yang di dalamnya juga sains modern, sebagai bagian sangat menentukan dari proses sekularisasi, dilahirkan? 

Peter L. Berger, Steve Bruce, David Martin, Brian R. Wilson, adalah para sosiolog agama yang menjawab pertanyaan ini dengan positif. Rodney Stark dan Roger Finke dapat juga dimasukkan ke dalam kelompok para sosiolog ini kendatipun keduanya menolak jika sains modern dipandang sebagai suatu unsur penting dalam teori sekularisasi yang mendatangkan akibat paling mematikan bagi agama. 

Lilliane Voyé dan Karel Dobbelaere justru memandang sains modern telah menyingkirkan suatu konsep teologis antropomorfis yang dipertahankan dalam tradisi keagamaan Yudeo-Kristen, lalu melahirkan agnostisisme dan ateisme.

Kebanyakan orang Kristen masa kini juga akan memberi sebuah jawaban positif yang sama terhadap pertanyaan di atas. 

Perhatikan sebuah kutipan berikut:

“Sebagaimana suatu generasi baru para sejarawan, sosiolog, filsuf sains telah buktikan, agama alkitabiah bukanlah musuh sains melainkan matriks intelektual yang pertama-tama memungkinkan munculnya sains. Tanpa wawasan-wawasan kunci yang kekristenan jumpai terpelihara dalam Alkitab dan menyebar ke seluruh Eropa, sains tidak akan pernah ada…. Bukti ini tak dapat diperdebatkan: Ini adalah teologi rasional baik dari Abad Pertengahan Katolik maupun Reformasi Protestan—yang diilhami oleh kebenaran-kebenaran implisit dan eksplisit yang diwahyukan dalam Alkitab Yahudi— yang bermuara pada penemuan-penemuan sains modern.”/32/ 

Dan juga sebuah kutipan lain berikut ini:

“Kepercayaan pada rasionalitas Allah tidak hanya bermuara pada metode induktif tetapi juga pada kesimpulan bahwa jagat raya ini diatur secara rasional oleh hukum-hukum yang dapat ditemukan. Asumsi ini sangat penting dan vital bagi riset saintifik karena di dalam suatu dunia pagan atau dunia politeistik, yang melihat dewa-dewanya sering terlibat dalam perilaku yang irasional dan cemburuan di dalam suatu dunia yang non-rasional, setiap investigasi sistematis atas dunia yang semacam ini akan tampak sia-sia. 

Hanya dalam pemikiran Kristen, yang mendalilkan ‘eksistensi suatu Allah tunggal, sang Pencipta dan Pengatur jagat raya, yang berfungsi di dalam suatu cara yang secara normal dan tertata dapat diprediksi,’ adalah mungkin bagi sains untuk ada dan beroperasi.”/33/

Tetapi Richard Carrier, pakar pengkaji sains dalam dunia kuno dan kekristenan, telah merontokkan semua jawaban di atas yang memandang kekristenan sebagai satu-satunya pranata keagamaan yang bertanggungjawab bagi kelahiran sains modern. 

Dalam tulisannya yang berjudul “Christianity Was Not Responsible for Modern Science”, Carrier menunjukkan bahwa sains modern justru memiliki pijakan yang kuat di dalam pandangan dunia pagan yang menjadi konteks luas kelahiran kekristenan perdana, bukan di dalam kekristenan sendiri. 

Carrier menulis, 

“Kekristenan menguasai penuh seluruh dunia Barat dari abad kelima sampai abad kelima belas, namun di dalam jangka waktu seribu tahun itu tidak terjadi Revolusi Saintifik. Suatu penyebab yang gagal menghasilkan akibat yang diprediksikan, meskipun terus-menerus aktif selama seribu tahun, biasanya dipandang sebagai penyebab yang ditolak, bukan dikonfirmasikan.”/34/ 

Carrier menyimpulkan, antara lain, bahwa

“[N]ilai-nilai yang diperlukan bagi kemajuan sains, yakni merangkul keingintahuan sebagai suatu kebajikan moral, mengangkat empirisisme ke status otoritas tertinggi di dalam semua perdebatan tentang fakta, dan menghargai pengejaran kemajuan” dipegang oleh banyak pagan kuno “dengan sangat kuat dan terus-menerus sehingga mereka semuanya membuat kemajuan-kemajuan yang sinambung di dalam penemuan-penemuan dan metode-metode saintifik. Kontras dengan itu, Kekristenan untuk waktu yang lama tidak pernah menghargai nilai-nilai ini, dan malah dalam banyak kasus mengutuk nilai-nilai ini.”/35/ 

Tandas Carrier, 

“[G]agasan baru ini bahwa Kekristenan bukan hanya bertanggungjawab tetapi juga diperlukan bagi munculnya sains modern pastinya adalah sebuah gagasan delusional. Suatu delusi menjadi patologis ketika kepercayaan ini dipertahankan dengan keyakinan mutlak bahkan di hadapan bukti yang kuat dan meyakinkan yang menyatakan hal sebaliknya.”/36/

Kedua, apakah betul, seperti dipertahankan Rodney Stark dan Roger Finke, bahwa para saintis modern sama religiusnya dengan orang lain manapun, dan bahwa tidak ada konflik apapun antara sains modern dan agama (Kristen)? 

Munculnya kalangan yang secara ideologis memegang suatu pandangan dunia yang dapat dilabelkan sebagai “the New Atheism”, yang dimulai oleh Sam Harris, seorang neurosaintis, yang menulis sebuah buku berjudul The End of Faith (terbit 2004),/37/ menunjukkan bahwa pada awal abad ke-21 ini para saintis yang menyatakan identitas mereka sebagai ateis mulai bermunculan dan mempublikasi pandangan-pandangan saintifik mereka. 

Nama-nama berikut ini dan buku-buku yang mereka telah tulis masuk ke dalam “gerakan” para saintis modern yang dapat digolongkan sebagai “new atheists” dan ideologi mereka sebagai “the New Atheism”:/38/ 

Michael Onfray yang menulis buku berjudul Atheist Manifesto: The Case Against Christianity, Judaism, and Islam (orisinal dalam bahasa Perancis terbit 2005; terjemahan Inggrisnya terbit 2007);/39/ 

Richard Dawkins, seorang biologiwan yang terkenal, yang menulis buku The God Delusion (terbit 2006);/40/ 

Christopher Hitchens yang menulis buku God Is Not Great (terbit 2007);/41/ 

dan seorang fisikawan terkenal yang cerdas, Victor J. Stenger, yang telah menulis buku-buku Has Science Found God? (terbit 2003),/42/ God: The Failed Hypothesis (terbit 2007),/43/ Quantum Gods (terbit 2009),/44/ dan The New Atheism: Taking a Stand for Science and Reason (terbit 2009),/45/ 

dan John W. Loftus yang mengedit buku bagus The Christian Delusion: Why Faith Fails (terbit 2010)./46/

Hampir semua orang yang namanya disebut di atas adalah orang-orang yang menunjukkan dalam kajian-kajian saintifik mereka bahwa kalau seorang saintis itu konsisten bergerak dalam jalur pemikiran dan argumentasi saintifik, sang saintis ini kemungkinan sangat besar akan menjadi seorang ateis terbuka. Jangan dianggap mereka sedikit jumlahnya. 

Richard Dawkins menyatakan, “[K]alangan ateis jumlahnya jauh lebih banyak, khususnya di antara kalangan elitis yang terdidik, ketimbang yang disadari orang banyak.”/47/ 

Sekaligus juga mereka menunjukkan bahwa sains modern tidak bisa sejalan dengan agama; keduanya berkonflik. 

Victor J. Stenger khususnya, dalam bukunya God: The Failed Hypothesis, telah menguji keberadaan Allah adikodrati sebagai sebuah hipotesis melalui metode pengkajian saintifik dengan ditopang bukti-bukti empiris. 

Hasilnya: Stenger mendapati bahwa hipotesis bahwa Allah itu ada (“God hypothesis”), tidak berhasil dibuktikan kebenarannya sama sekali; jadi, sebuah hipotesis yang gagal.

Ketiga, mungkinkah dalam kultur sosial masyarakat Indonesia sekularisasi dapat berlangsung dengan deras dan memasuki semua lini kehidupan ketika Indonesia sedang bergerak untuk menjadi sebuah negara modern, sementara umat-umat beragama di negeri ini, khususnya Islam (85 % dari totalitas penduduk Indonesia), masih sangat terikat dengan memori kolektif mereka? 

Untuk bisa mengalami arus deras sekularisasi mereka perlu, seperti diteorikan oleh Danièle Hervieu-Léger, menjadi komunitas-komunitas yang mengalami amnesia, lupa akan memori kolektif mereka, memori yang menyatukan mereka dengan nenek-moyang religius mereka dulu, kini dan di masa depan, sekaligus mengabsahkan keberadaan mereka. 

Mengingat umat Islam di Indonesia sebagian terbesar berwatak tradisional dan sangat terikat dengan Tanah Arab (dalam hal ini, apakah Muslim NU suatu kekecualian? Ya, tampak begitu.), mustahil atau sangat sulit bagi mereka untuk menjadi umat yang menderita amnesia, penyakit “positif” hilangnya atau putusnya ingatan dengan tanah leluhur, yang akan menjadi suatu pintu lebar bagi masuknya sekularisasi. 

Selain itu, jika teori sekularisasi yang diperbaiki oleh Pippa Norris dan Ronald Inglehart digunakan, yang sangat menekankan “sekuritas eksistensial”, makin sulit lagi untuk Indonesia menjadi sebuah negara modern yang tersekularisasi, mengingat sebagian terbesar penduduk Indonesia masih hidup dalam kemiskinan sehingga rentan terhadap segala macam ancaman yang dapat merongrong dan menghancurkan ketahanan kehidupan mereka. 

Kalangan miskin lebih memilih datang kepada Allah dan para rohaniwan dan para dukun, ketika mereka sakit, ketimbang harus pergi ke dokter dengan kewajiban membayar jasa sang dokter dan membeli obat-obat yang harganya mahal! 

Lebih jauh lagi, jika memang benar rasionalisme adalah suatu unsur terpenting untuk sebuah bangsa bisa menjadi bangsa yang modern dan sekular, Indonesia makin tampak lebih sulit lagi untuk menjadi modern dan sekular, sebab bagian terbesar penduduk Indonesia yang majemuk boleh dikata memakai 99 persen dari waktu mereka untuk beragama dulu, baru sesudah itu 1 persen untuk memakai akal budi dalam praktek kehidupan mereka sehari-hari. 

Ringkas kata, Indonesia masih sangat jauh dari modernitas dan sekularisme, jika kedua hal ini dipantau pada bagian terbesar rakyat Indonesia.

Meskipun demikian tidak berarti sekularisasi sama sekali belum memasuki Indonesia. 

Kalau kita memakai teori sekularisasi yang dirumuskan oleh Karel Dobbelaere dan José Casanova yang memakai diferensiasi dan segmentasi fungsi-fungsi pranata-pranata sosial dalam masyarakat, yang memunculkan wilayah-wilayah sosial yang tak didominasi norma-norma agama-agama sama sekali, sebagai ciri penting suatu masyarakat sekular, maka Indonesia harus dinyatakan sudah mengalami sekularisasi. 

Diferensiasi, spesialisasi dan segmentasi fungsi-fungsi sosial sudah diterapkan dalam banyak struktur manajerial kenegaraan dan pemerintahan serta dalam lembaga-lembaga swasta di Indonesia khususnya dalam bidang ekonomi, bisnis dan penataan struktural masyarakat. 

Selain itu, seperti diteorikan oleh Peter L. Berger, di Indonesia dijumpai banyak subkultur elitis yang sudah tersekularisasi, yang anggota-anggotanya telah menerima pendidikan Barat modern, langsung atau tidak langsung, dan karenanya menjadi pengusung dan pejuang ideal-ideal, gagasan-gagasan, cita-cita dan nilai-nilai era Pencerahan di Eropa. 

Subkultur elitis di Indonesia ini bukan hanya terdiri dari para ilmuwan yang berwawasan Barat modern, tetapi juga para agamawan yang mengusung dan memperjuangkan ide-ide liberalisme, sekularisme, pluralisme, multikulturalisme, rasionalisme, ekonomi pasar bebas, hukum internasional, kemajuan atau “progress” (“Indonesia maju”) khususnya di bidang iptek, dan penegakan HAM.

3 Desember 2010

* Diperiksa kembali dan editing paragraf 13 Agustus 2021


**  Makalah ini disampaikan pada acara diskusi Komunitas Salihara, Jalan Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, 2 Desember 2010, bertema Agama dan Sekularisme di Ruang Publik.


Catatan-catatan

/1/ Uraian tentang konsep dan sejarah trajektori dua jenis sekularisme ini— yang pertama disebut laisisme, yang menghendaki agama disingkirkan sama sekali dari politik, dan yang kedua disebut sekularisme Yudeo-Kristen yang memandang tradisi Yudeo-Kristen sebagai suatu fondasi unik tatanan publik yang sekular dan pranata-pranata politis demokratis—lihat Elizabeth Shakman Hurd, The Politics of Secularism in International Relations (Princeton & Oxford: Princeton University Press, 2008) 23-45. 

Dalam buku ini, Shakman Hurd “memeriksa cara-cara trajektori khusus sekularisme dikonstruksi secara sosial di dalam situasi dan kondisi historis yang khusus dan menafsirkan konsekuensi-konsekuensi politis dari cara-cara ini bagi hubungan-hubungan internasional” (h. 28).

/2/ Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion (New York: Doubleday & Company, 1969 [1967]) 109-125. 

Gagasan bahwa bangkitnya suatu pandangan dunia rasional telah merongrong fondasi iman kepada suatu dunia adikodrati, hal-hal yang misterius, dan magi, sangat kuat dipengaruhi oleh Max Weber melalui tulisannya, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Diterjemahkan oleh T. Parsons (New York: Scribner’s, 1930 [1904]; London & New York: Routledge Classics, 2001, cetak ulang 2006, dengan introduksi dari Anthony Giddens); idem, The Sociology of Religion (Boston: Beacon Press, 1993 [1922]).

/3/ Peter L. Berger, “A Bleak Outlook Is Seen for Religion” dalam New York Times, April 25, 1968, 3.

/4/ Steve Bruce, Religion in the Modern World: From Cathedrals to Cults (Oxford: Oxford University Press, 1996).

/5/ Steve Bruce, Religion in the Modern World, 230.

/6/ Karel Dobbelaere, “The Secularization of Society? Some Methodological Suggestions”, dalam Jeffrey K. Hadden & Anson Shupe (eds.), Secularization and Fundamentalism Reconsidered: Religion and the Political Order (New York: Paragon House, 1989) 27-44. 

Lihat juga Karel Dobbelaere, “Secularization: A Multidimensional Concept”, dalam Current Sociology 29/2 (1981); idem, “Secularization Theories and Sociological Paradigms: A Reformulation of the Private-public Dichotomy and the Problem of Social Integration”, dalam Sociological Analysis 46 (4) (1985) 377-387; idem, “Some Trends in European Sociology of Religion: The Secularization Debate” dalam Sociological Analysis 48(2) (1987) 107-137; idem, “Towards an Integrated Perspective of the Process Related to the Descriptive Concept of Secularization” dalam Sociology of Religion 60(3) (1999) 229-247. 

Pendapat bahwa diferensiasi fungsional telah melahirkan sekularisasi, telah dipertahankan sebelumnya oleh Émile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life (New York: Free Press, 1995 [1912]).

/7/ Dobbelaere, “The Secularization of Society?”, 29.

/8/ Dobbelaere, “The Secularization of Society?”, 38.

/9/ José Casanova, Public Religions in the Modern World (Chicago: University Chicago Press, 1994).

/10/ José Casanova, Public Religions, 211.

/11/ José Casanova, Public Religions, 212.

/12/ Danièle Hervieu-Léger, Religion as a Chain of Memory. Penerjemah Simon Lee (New Brunswick, New Jersey: Rutgers University Press, 2000). Judul asli: La religion pour memoire (Paris: Cerf, 1993).

/13/ Danièle Hervieu-Léger, Vers un nouveau Christianisme (Paris: Cerf, 1986).

/14/ Pippa Norris dan Ronald Inglehart, Sacred and Secular: Religion and Politics Worldwide (Cambridge, etc.: Cambridge University Press, 2004; cetak ulang 2005) 4. Ketika keduanya menyatakan terlalu prematur untuk menyatakan teori sekularisasi harus sudah dimakamkan, mereka menolak pendapat Rodney Stark dan Roger Finke (lebih jauh, lihat catatan 22 dan 23 di bawah).

/15/ Norris dan Inglehart, Sacred and Secular, 26.

/16/ Peter L. Berger, “The Desecularization of the World: A Global Overview” dalam Peter L. Berger, ed., The Desecularization of the World: Resurgent Religion and World Politics (Washington, D.C.: Ethics and Public Policy Center, 1999) 2 [1-18]. Tulisan Berger ini adalah sebuah pengadaptasian dari tulisan asli sebelumnya, yang terbit di The National Interest no. 46, Winter 1996/97, Washington, D.C.

/17/ Peter L. Berger, “The Desecularization of the World”, 12.

/18/ Peter L. Berger, “The Desecularization of the World”, 7.

/19/ Peter L. Berger, “Religious America, Secular Europe?” dalam Peter L. Berger, Grace Davie, dan Effie Fokas (eds.), Religious America, Secular Europe? A Theme and Variations (Surrey/Burlington: Ashgate Publishing Limited, 2008) 10 [9-21]. 

Grace Davie telah melakukan suatu kajian sosiologis yang kuat terhadap kasus Eropa sebagai suatu kekecualian dari desekularisasi dunia; lihat bukunya Europe: The Exceptional Case: Parameters of Faith in the Modern World (London: Darton, Longman and Todd, 2002).

/20/ Talal Asad, Formations of the Secular: Christianity, Islam, Modernity (Stanford, California: Stanford University Press, 2003) 181-201.

/21/ Talal Asad, Formations of the Secular, 181 f.

/22/ Uraian bagian ini diangkat dari Rodney Stark dan Roger Finke, Acts of Faith: Explaining the Human Side of Religion (Berkeley, etc.: University of California Press, 2000) 57-79.

/23/ Stark dan Finke, Acts of Faith, 79. Lihat juga Rodney Stark, “Secularization, RIP” dalam Sociology of Religion 60 (3) (1999) [249-273].

/24/ Stark dan Finke, Acts of Faith, 78.

/25/ Stark dan Finke, Acts of Faith, 68.

/26/ David Martin, A General Theory of Secularization (New York: Harper & Row, 1978).

/27/ Stark dan Finke, Acts of Faith, 60.

/28/ Dobbelaere, “Towards an Integrated Perspective of the Processes Related to the Descriptive Concept of Secularization: A Position Paper”, h. 9. Makalah ini dibacakan pada pertemuan tahunan Society for the Scientific Study of Religion di tahun 1997. Kutipan diambil dari Stark dan Finke, Acts of Faith, 60.

/29/ Argumen rasionalis ini dikembangkan sekitar tahun 1960-an dan 1970-an antara lain oleh Peter L. Berger dalam bukunya The Sacred Canopy, David Martin dalam bukunya A General Theory of Secularization, dan Brian R. Wilson dalam bukunya Religion in Secular Society (Harmondsworth, Middlesex, U.K.: Penguin Books, 1966).

/30/ Lilliane Voyé dan Karel Dobbelaere, “Roman Catholicism: Universalism at Stake” dalam Religions sans frontières? Disunting oleh Roberto Cipriani. (Rome: Dipartimento per l’informazione e editorial, 1994) 95 [83-113]. Kutipan diambil dari Stark dan Finke, Acts of Faith, 60 f.

/31/ Stark dan Finke, Acts of Faith, 72.

/32/ Robert Hutchinson, “The Biblical Origins of Modern Science”, dalam The Politically Incorrect Guide to the Bible (Washington, DC: Regnery, 2007) 139.

/33/ Alvin Schmidt, “Science: Its Christian Connections” dalam Under the Influence: How Christianity Transformed Civilization (Grand Rapids, MI: Zondervan, 2001) 221.

/34/ Richard Carrier, “Christianity Was Not Responsible for Modern Science” dalam John W. Loftus, ed., The Christian Delusion: Why Faith Fails. Kata pengantar oleh Dan Barker (Amherst, New York: Prometheus Books, 2010) 397 [396-419].

/35/ Richard Carrier, “Christianity Was Not Responsible for Modern Science”, 413.

/36/ Richard Carrier, “Christianity Was Not Responsible for Modern Science”, 412.

/37/ Sam Harris, The End of Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason (New York: W.W. Norton and Company, 2004).

/38/ Saya sudah mendekonstruksi besar-besaran gerakan Ateisme Baru. Lihat tulisan akademik panjang Ioanes Rakhmat, 
“Apakah Tuhan itu ada? Sebuah jawaban ilmiah kepada para ateis”, Freidenk Blog, 12 Agustus 2014, updated 20 Mei 2018, editing paragraf 29 Agustus 2021, https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2014/08/apakah-tuhan-itu-ada.html?m=0.

/39/ Michael Onfray, Atheist Manifesto: The Case Against Christianity, Judaism, and Islam (E.T., New York: Arcade Publishing, 2007).

/40/ Richard Dawkins, The God Delusion (London, etc.: Bantam Press, 2006).

/41/ Christopher Hitchens, God Is Not Great: How Religion Poisons Everything (New York: Twelve Hachette Book, 2007).

/42/ Victor J. Stenger, Has Science Found God? The Latest Result in the Search for Purpose in the Universe (Amherst, New York: Prometheus Books, 2003).

/43/ Victor J. Stenger, God: The Failed Hypothesis— How Science Shows That God Does Not Exist (Amherst, New York: Prometheus Books, 2007).

/44/ Victor J. Stenger, Quantum Gods: Creation, Chaos, and the Search for Cosmic Consciousness (Amherst, New York: Prometheus Books, 2009).

/45/ Victor J. Stenger, The New Atheism: Taking a Stand for Science and Reason (Amherst, New York: Prometheus Books, 2009).

/46/ John W. Loftus, ed., The Christian Delusion: Why Faith Fails. Kata pengantar Dan Barker. (Amherst, New York: Prometheus Books, 2010).

/47/ Richard Dawkins, The God Delusion, 4.