Saturday, October 9, 2010

DNA Sintetik dan Kehidupan Artifisial Telah Berhasil Diciptakan Ilmuwan!

Update 16 Juni 2015:

Baru-baru ini sejumlah ilmuwan biologi sintetik telah berhasil menciptakan DNA sintetik yang memiliki sepasang basa artifisial (diberi nama Z dan P) yang kemudian dikondisikan untuk berevolusi, sehingga akhirnya (dari milyaran untaian DNA sintetik) menghasilkan DNA sintetik yang memiliki molekul-molekul dengan properti khusus sehingga dapat distimulasi untuk mengenali, menemukan dan mengikat sel-sel kanker. Selanjutnya, sebagai langkah ke depan, metode ini akan dapat digunakan untuk membunuh sel-sel kanker, sebuah alternatif medik yang tentu saja ditunggu untuk dapat diterapkan dengan mudah dan dengan biaya murah. Tentang ini, lihat reportase “Artificial DNA can evolve to expertly pick out cancer cells, New Scientist, 4 June 2015, pada http://www.newscientist.com/article/mg22630244.400-artificial-dna-can-evolve-to-expertly-pick-out-cancer-cells.html#.VYBP31K5I8I; untuk kajian ilmiahnya, lihat Liqin Zhang, Zunyi Yang, Steven A. Benner, et al., Evolution of Functional Six-Nucleotide DNA, Journal of the American Chemical Society 137 (21), 2015, pp. 6734-6737, pada http://pubs.acs.org/doi/abs/10.1021/jacs.5b02251

=================

Pada pertengahan tahun 2010, J. Craig Venter dkk, dari The J. Craig Venter Institute (JCVI) (Medical Center Drive, Rockville, USA; dan Science Center Drive, San Diego, USA), telah berhasil menciptakan sebuah genom/DNA sintetis yang dapat mereplikasi diri ketika sudah ditransplantasikan ke dalam suatu tempurung sel bakteri yang sudah dikosongkan dari DNA alamiahnya yang ada sebelumnya. 

Usaha yang berujung pada penciptaan DNA buatan ini sudah dimulai sejak tahun 1995 ketika JCVI mulai memetakan sekuen genetik dari genom Mycoplasma genitalium, sebuah bakteri dengan komplemen gen yang terkecil dari antara organisme yang dikenal, yang dapat tumbuh secara independen dalam sebuah laboratorium.


 J. Craig Venter
  
Tim ilmuwan dari JCVI ini pertama-tama menciptakan suatu genom bakterial melalui sintesis larutan-larutan kimiawi, yang percampurannya diatur oleh informasi sekuen genetik yang sudah dibuat sebagai file digital melalui sebuah komputer. Informasi genomik digital ini memberi instruksi genetik kepada campuran zat-zat kimiawi ini untuk berreaksi menghasilkan sebuah kehidupan, sungguh-sungguh suatu kehidupan buatan/artifisial, yang berasal dari zat-zat kimiawi yang mati.

Informasi digital genomik ini diperoleh dengan mengkopi informasi genetik yang terdapat dalam suatu genom alamiah yang sudah ada, dalam hal ini genom alamiah yang terdapat di dalam Mycoplasma mycoides. Untuk mencirikan bahwa yang dihasilkan adalah genom sintetis, dan untuk membedakannya dari genom alamiah, genom sintetis Mycoplasma mycoides diberi “tanda-tanda” (watermarks) yang non-fungsional, yang tak berpengaruh, sehingga genom sintetis ini dapat dibedakan dari genom alamiah yang liar.



Sebagai langkah kedua, tim ini menggunakan sebuah teknik transfer nuklir yang sudah dikenal (yang dipakai dalam IVF) untuk mentransplantasi genom sintetis Mycoplasma mycoides ini ke dalam suatu bakteri alamiah Mycoplasma capricolum yang sudah dibersihkan dari DNA alamiah yang ada semula di dalam selnya. Ketika sudah ditransplantasikan, genom Mycoplasma mycoides langsung membuat sel-sel bakterial penerimanya “bekerja” dan 14 gene di dalam genome sintetis Mycoplasma mycoides lenyap. 

Di dalam sel yang sudah menerima genom sintetis ini, tim ilmuwan JCVI tidak menemukan sekuen apapun di dalam genom sintetisnya yang dapat diidentifikasi sebagai sekuen Mycoplasma capricolum (sel penerima transplantasi); kenyataan ini memperlihatkan bahwa genom alamiah Mycoplasma capricolum sudah diganti seluruhnya oleh genom sintetis selama proses transplantasi berlangsung. Sel-sel yang hanya berisi genom sintetis ini ternyata mereplikasi diri, memperbanyak diri dalam bentuk dan sifat yang sama dengan sel semula, dan menunjukkan kemampuan bertumbuh secara algoritmis. 

Craig Venter menyatakan, “Ini adalah sel sintetis pertama yang telah dibuat, dan kami menyebutnya sintetis karena sel ini seluruhnya dihasilkan dari suatu kromosom sintetis, yang dibuat dari empat botol larutan kimiawi pada sebuah synthesizer kimiawi, yang diawali oleh informasi di dalam sebuah komputer.” Ketika ditransplantasikan, DNA sintetis ini memang memakai sitoplasma alamiah non-sintetis dari sel-sel penerima, sitoplasma yang sudah dikosongkan dari DNA alamiah aslinya. 

Penciptaan DNA sintetis, dan proses mentransplantasi DNA sintetis ini ke dalam suatu sel bakteri yang kemudian mampu tumbuh dan mereplikasi diri, yang telah dilakukan oleh tim JCVI, sesungguhnya adalah suatu langkah revolusioner dalam sains biologi molekuler dan teknik perekayasaan genetik. 

Tim ini menyatakan, “Pendekatan kami dalam menghasilkan genom sintetis berkontras tajam dengan berbagai macam pendekatan lain terhadap perekayasaan genetik yang memodifikasi genom alamiah melalui beranekaragam susupan, substitusi, atau penghilangan. Karya kami ini menyediakan sebuah bukti atas bekerjanya konsep kami dalam menghasilkan sel-sel yang didasarkan pada sekuen-sekuen genomik yang dirancang oleh komputer. Pemetaan sikuen DNA dari sebuah genom sel memungkinkan instruksi-instruksi genetik penghasil kehidupan disimpan sebagai sebuah data digital. Genome sintetis yang digambarkan di sini memiliki hanya modifikasi yang terbatas jika dibandingkan dengan genom alamiah Mycoplasma mycoides. Bagaimanapun juga, pendekatan yang kami telah kembangkan ini harus dapat diaplikasikan pada sintesis dan transplantasi lebih banyak genom baru sementara desain genom mengalami kemajuan.”

Tim JCVI menyatakan bahwa “jika metode yang digambarkan di sini dapat digeneralisasi, maka desain, sintesis, perpaduan, dan transplantasi kromosom sintetis tidak akan lagi menjadi suatu hambatan bagi kemajuan biologi sintetis.”  

Menyusul hasil karya revolusioner ini, tim JCVI memiliki rencana untuk menerapkan teknik rekayasa genetik yang serupa dalam menghasilkan sel-sel sintetis lainnya: sebuah ganggang yang akan bisa menyerap karbon dioksida dan mengeluarkan hidrokarbon untuk bahan bakar biologis; produksi vaksin dalam tempo yang lebih cepat; pembersihan air dan limbah air; dan pemakaian energi cahaya untuk menciptakan gas hidrogen dari air. 

Tentu langkah revolusioner tim JCVI ini dalam dunia sains biologi molekuler menimbulkan sejumlah masalah filosofis dan etis yang sangat serius. Craig Venter sendiri menyatakan, “Hemat kami, ini adalah sebuah langkah penting, baik secara saintifik maupun secara filosofis. Dengan pasti langkah kami ini telah mengubah pandangan-pandangan saya mengenai definisi tentang kehidupan dan tentang bagaimana kehidupan bekerja.” Tim ini mengantisipasi invensi mereka akan terus mengangkat isu-isu filosofis yang memiliki implikasi sosial dan etis yang luas, dan mereka mendorong wacana yang sinambung tentang ini. 

Pada situsweb JCVI, tertulis demikian, “Kemampuan untuk dengan rutin menulis perangkat lunak kehidupan, akan mendatangkan suatu era baru dalam sains, dan bersamaan dengan ini, akan dihasilkan produk-produk dan aplikasi-aplikasi baru seperti bahan bakar biologis, teknologi air bersih, dan vaksin-vaksin dan obat-obatan baru. Sains di bidang ini telah memberikan suatu dampak pada beberapa bidang tersebut dan akan terus demikian sejauh bidang sains baru ini yang memiliki kekuatan luar biasa digunakan dengan bijaksana. Tinjauan dan dialog yang intensif dan terus-menerus dengan semua segi kehidupan masyarakat, dari Kongres ke bioetikus sampai ke masyarakat awam, perlu dilakukan untuk membuat bidang kajian ini berkembang.”

Mark Bedau, professor filsafat dan humanitas, dari Reed College, Oregon, USA, menyatakan, “Kita kini memiliki sebuah kesempatan yang tak pernah ada sebelumnya untuk mempelajari kehidupan. Ketika kita sekarang telah memiliki suatu kendali penuh atas informasi dalam sebuah genom, tersedialah bagi kita suatu kesempatan fantastis untuk menyibak rahasia-rahasia yang masih tertinggal mengenai bagaimana informasi genetik ini bekerja.” Katanya juga, “Suatu genom buatan telah mempercepat jalannya hari untuk kita tiba pada saat di mana bentuk-bentuk kehidupan dapat seluruhnya dibuat dari bahan-bahan material yang mati. Pada dirinya sendiri, hal ini akan merevitalisasi pertanyaan-pertanyaan abadi tentang signifikansi kehidupan—apa kehidupan itu, mengapa kehidupan itu penting, dan peran apa yang harus dimainkan manusia di masa depan kehidupan?” 


Pendek kata, kehidupan dimulai oleh suatu reaksi kimiawi di dalam alam, bukan saja di Bumi tetapi juga di antariksa, yang berlangsung natural. Selanjutnya kehidupan yang sudah dihasilkan oleh larutan-larutan kimiawi yang berreaksi, harus berkembang, dan hukum selanjutnya yang mengatur perkembangan ini adalah hukum evolusi biologis alamiah, yang bekerja melalui seleksi alamiah. Kini, berkaitan dengan kehidupan dalam alam, ada dua nama besar: J. Craig Venter dan Charles Darwin.

Poin terpentingnya adalah: J. Craig Venter dkk telah berhasil menciptakan kehidupan, LIFE, lewat persenyawaan zat-zat kimiawi yang mati. Life begins not with soul, but with chemistry. Bahwa Venter menggunakan sitoplasma alamiah, sama sekali bukan persoalan, sebab DNA alamiah dalam sitoplasma alamiah ini sudah dikosongkan sama sekali, dan DNA artifisial yang hidup menggantikannya. Di mana tempat suatu allah sang pencipta dalam asal-muasal dan proses kehidupan dalam alam, kelihatan jelas akan makin sempit dan tersisih. 

(Tulisan ini, dalam versi pendek, telah terbit di Koran Tempo edisi 22 Oktober 2010 hlm. A11 dengan judul “Ketika Kehidupan Buatan Berhasil Diciptakan”; bisa juga dibaca di situs ini.)


Sumber-sumber
 
(1) http://www.sciencemag.org/cgi/content/abstract/science.1190719.
(2) http://io9.com/5543843/scientists-create-artificial-life-+-synthetic-dna-that-can-self+replicate.
(3) http://www.nature.com/nature/journal/v465/n7297/pdf/465422a.pdf.
(4) http://www.nature.com/nbt/journal/v28/n7/full/nbt0710-687.html.
(5) http://www.jcvi.org/cms/research/projects/first-self-replicating-synthetic-bacterial-cell/overview/