Monday, March 1, 2010

Yesus dalam Injil Markus


Legion Romawi

* Editing mutakhir 01 Feb 2024


Pada permulaan Injilnya, penulis Injil Markus menyatakan bahwa Yesus adalah sang Messias (= sang Kristus), Anak Allah, yang ke atasnya Roh Allah turun dan selanjutnya berdiam di dalam diri-Nya sejak pembaptisan-Nya oleh Yohanes Pembaptis (Markus 1:1, 9-11). 

Sebagai seorang yang didiami dan dikuasai Roh Allah, Yesus pada awal karir-Nya berkonfrontasi dengan Iblis dan dia menang (1:12-13). 

Selanjutnya, dalam masa kegiatan-Nya di Galilea di muka umum setelah Yohanes pembaptis ditangkap (1:14; 6:14-29), Yesus memberitakan suatu kabar baik (=injil) bahwa dalam masa pelayanan-Nya di muka umum kerajaan Allah sedang mendatangi umat Israel, dan umat diminta untuk bertobat dan percaya kepada injil ini (1:14-15).

Ketika Allah menjadi sang Raja bagi umat Israel, Allah akan “menjadikan segala-galanya baik, yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata” (7:37). 


Ketika Allah sedang memerintah sebagai Raja Israel, Yesus menjadi sang Messias di dalam kerajaan ini yang bertindak dengan kewibawaan Allah sendiri (2:5-12). 

Ketika kerajaan Allah ini datang, cinta atau belas kasih ilahi akan dialami oleh umat dalam bentuk kesembuhan dari segala penyakit (1:41). 

Kerajaan Allah yang sedang datang ini dirayakan Yesus bersama murid-murid-Nya dan orang-orang lain dalam perjamuan makan bersama yang terbuka, yang dapat diikuti oleh siapa saja yang mau ikut serta (2:13-17).

Ketika Allah sedang memerintah umat Israel, konfrontasi Yesus dengan Iblis terus berlanjut: Roh Allah yang ada di dalam Yesus berhadap-hadapan dengan roh-roh najis/ jahat, setan-setan dan Iblis. 


Yesus melihat diri-Nya sedang bertarung melawan “seorang yang kuat” (3:27). Seorang yang kuat ini dalam dunia rohani yang tidak kasat mata adalah “Beelzebul” atau “penghulu setan” (3:22). Jika penghulu setan ini mau ditaklukkan, sang penghulu setan ini, kata Yesus, harus “diikat” dahulu, dan kalau sudah berhasil diikat, barulah seisi rumah dapat dirampok (3:27). 

Maka, dalam seluruh kegiatan-Nya di muka umum, Yesus sejak awal pelayanan-Nya terus-menerus berkonfrontasi dengan setan-setan dan mengalahkan setan-setan ini dengan mengusir mereka dari diri orang-orang yang dirasuk mereka. 

Di akhir setiap pengusiran setan yang dilakukan Yesus, setan-setan itu selalu takluk pada Yesus dan mengakui diri-Nya sebagai sang Messias, Anak Allah (1:23-26, 34; 3:11; 5:6-9).

Dalam dunia nyata yang kasat mata, “seorang kuat” yang sedang dihadapi Yesus adalah otoritas Romawi yang sedang menjajah negeri Israel. 


Penjajah Romawi ini diibaratkan penulis Injil Markus sebagai “legion”, seperti dituturkan dalam Markus 5:1-18. Pada perikop ini, “legion” merujuk pada roh-roh najis/jahat yang banyak jumlahnya, yang merasuki seseorang di daerah orang Gerasa, yang sedang dihadapi Yesus. 

Pada pihak lain, kata Latin “Legion” menunjuk pada satuan prajurit pejalan kaki Romawi ditambah pasukan berkuda dalam jumlah besar antara tiga ribu sampai enam ribu orang. 

Dengan demikian jelaslah bahwa kata “legion” dalam perikop Injil Markus ini mengacu pada dua kawasan: pada kawasan rohani, legion ini adalah setan-setan atau roh-roh najis/jahat dalam jumlah banyak; dan pada kawasan dunia yang kasat mata, roh-roh najis/jahat yang banyak jumlahnya ini adalah penjajah Romawi yang sedang menduduki Tanah Israel, dus menajiskan negeri Israel.

Dengan berani dan penuh kuasa, Yesus berkata kepada legion ini, “Hai engkau roh najis/jahat! Keluar dari orang ini!” (5:8). 


Tetapi roh-roh najis/jahat ini meminta dengan sangat kepada Yesus supaya mereka jangan diusir keluar dari daerah itu (5:10). 

Itulah juga yang dikehendaki penjajah Roma, yakni ingin terus menguasai Tanah Israel. 

Tetapi Yesus tidak mau berkompromi. Roh-roh najis/jahat itu dimintanya keluar dari orang yang mereka rasuki, lalu roh-roh najis/jahat ini pindah ke dalam babi-babi dan merasuki babi-babi ini. Lalu babi-babi yang kerasukan legion ini terjun ke dalam danau dan semuanya (2.000 ekor) mati lemas. Kekaisaran Romawi, jadinya, hanya pantas dibenamkan.

Itulah tujuan akhir perjuangan Yesus: kerajaan Allah Yahudi akan pasti mengalahkan kekaisaran Romawi yang sedang menduduki Tanah Israel. 

Dalam keyakinan Yesus, sudah sepatutnya Tanah Israel dikembalikan kepada bangsa Israel yang dulu, melalui Bapak Leluhur mereka, Abraham, telah mereka terima dari Allah sebagai Tanah Perjanjian. 

Kaisar Romawi tidak berhak atas Tanah Israel; sebab Tanah Israel adalah kepunyaan Allah Yahudi, Allah bangsa Israel. Karena itu tanah ini harus Kaisar kembalikan kepada bangsa Israel, pewaris sah Tanah Perjanjian, dan penguasa Romawi harus meninggalkan tanah ini (12:17).

Tetapi, pertarungan dan kemenangan Yesus atas legion Romawi baru berlangsung dalam wilayah simbolik, dalam kawasan rohani saja. 


Dalam kawasan nyata dunia ini, Roma sangat kuat menguasai Tanah Israel, dan mengontrol Bait Allah. Karena begitu besar jumlahnya dan sangat kuat, Yesus tahu bahwa untuk melawan Roma, Dia harus melakukan perlawanan tersembunyi, tidak terang-terangan, dan harus dimulai dulu dengan pertarungan sengit di kawasan rohani melalui pengusiran setan dan penyembuhan penyakit untuk memperkuat dan memberdayakan rakyat Yahudi. 

Karena itulah, untuk menyamarkan pesan-pesan-Nya di hadapan orang banyak, Yesus memakai banyak wacana perumpamaan ketika Dia berbicara tentang kerajaan Allah yang sedang datang (4:11). 

Begitu juga, setiap Yesus selesai mengusir setan atau menyembuhkan orang sakit, Dia meminta roh-roh najis/jahat dan orang-orang yang sudah disembuhkan-Nya untuk merahasiakan baik peristiwa yang sudah terjadi maupun identitas diri Yesus sendiri (1:34b; 1:44; 3:12; 5:43; 7:36; 8:26). 

Yesus tidak mau perlawanan-Nya kepada Roma, sekalipun diawali dulu di dunia rohani, dapat segera terbaca oleh orang banyak dan oleh penguasa Yahudi dan penguasa Romawi. Waktunya masih jauh di depan untuk Dia dapat terang-terangan menyatakan identitas diri-Nya berkaitan dengan tindakan-tindakan Allah di antara rakyat Yahudi.

Tetapi, karena para penguasa keagamaan, yakni orang-orang Farisi dan orang-orang Herodian, sejak awal tidak bisa menerima kalau Yesus banyak kali menyembuhkan orang sakit pada hari Sabat, mereka menghendaki Yesus segera dibunuh (3:1-6; lihat juga 12:12; 14:1-2). 


Bagi mereka, memelihara Sabat jauh lebih penting daripada menyembuhkan orang pada hari Sabat. Tetapi bagi Yesus, jika menyembuhkan orang sakit adalah suatu perbuatan yang baik karena menyelamatkan nyawa orang, maka penyembuhan pada hari Sabat boleh dan bahkan harus dilakukan (3:4). 

Karena alasan keagamaan ini, di samping juga karena Yesus mengklaim memiliki otoritas ilahi untuk mengampuni dosa (2:5-12), mereka tidak berada pada pihak Yesus, tetapi menjadi lawan-lawan Yesus yang pada akhirnya, bersama pihak penguasa Romawi, mengakhiri kehidupan Yesus.

Pada akhirnya, setelah Yesus menolak Bait Allah dan otoritas Yahudi dan otoritas Romawi yang ada di belakang Bait ini dengan membuat aksi keributan yang disertai ucapan-ucapan-Nya yang keras di serambi Salomo (11:15-18) dan setelah Dia selesai menyelenggarakan suatu ritual perjamuan (terakhir) yang menggantikan ritual resmi penghapusan dosa di Bait Allah (14:22-25), penguasa Yahudi tak bisa mengulur-ulur waktu lagi dan segera mereka menangkap Yesus (14:43-49). 


Setelah melakukan pemeriksaan atas diri-Nya, Mahkamah Agama dengan suara bulat menjatuhkan vonis mati kepada Yesus (14:64b). 

Kalau sebelumnya Yesus selalu berupaya menjaga kerahasiaan identitas diri-Nya, maka ketika Dia sudah langsung berhadapan dengan otoritas Yahudi yang sedang mengadili-Nya, Dia tidak lagi menyembunyikan jatidiri-Nya, melainkan dengan terus terang mengaku bahwa Dia adalah sang Messias, Anak Manusia yang akan duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa (14:61-62). 

Celakanya, barangsiapa mengaku diri sebagai sang Messias, Raja bangsa Yahudi, Utusan Allah yang diurapi, di suatu negeri yang sedang dijajah Kekaisaran Romawi, orang yang mengaku ini dipandang sebagai seorang pemberontak. Inilah tuduhan politis yang diajukan para pemimpin Yahudi ketika mereka membawa dan menyerahkan Yesus kepada Pontius Pilatus, gubernur Romawi. 

Sang gubernur, ketika memulai pemeriksaannya terhadap Yesus, bertanya kepada-Nya, “Engkaukah raja orang Yahudi?” (15:2).

Ini rupanya yang menjadi tujuan akhir semua tindakan Yesus, yakni supaya Dia pada akhirnya dapat berhadapan langsung baik dengan otoritas tertinggi Yahudi maupun dengan otoritas Romawi, dan dapat menyatakan dengan terang-terangan bahwa diri-Nya adalah sang Messias Yahudi, baik di hadapan otoritas Yahudi (14:62) maupun di hadapan gubernur Pontius Pilatus (15:2). 


Dengan kata lain, ketika Yesus sudah berada di hadapan kedua otoritas tertinggi ini, Yesus ingin diri-Nya diakui sebagai Raja Yahudi yang sedang menegakkan pemerintahan Allah atas tanah dan bangsa Yahudi.

Tetapi bukan pengakuan akan kemessiasan-Nya yang diterima Yesus. Tentu saja, karena untuk seseorang diakui resmi sebagai sang Messias, sistem kepercayaan Yahudi memiliki sekian persyaratan yang tidak dipenuhi Yesus.


Bagi otoritas Yahudi yang mengadili-Nya, Yesus tidaklah lebih dari seorang “penghujat Allah” yang patut dihukum mati (14:63); dan bagi Pontius Pilatus yang memeriksa-Nya, Yesus tidaklah lebih dari seorang pemberontak yang patut “disalibkan” (15:15b). 

Setelah diperolok-olok sebagai raja orang Yahudi dan kepadanya dikenakan sebuah mahkota duri (15:16-20a), Yesus pun disalibkan (15:24), dan sementara tersalib Dia pun menerima berbagai hujatan dari orang yang lalu-lalang dan dari para imam dan ahli Taurat (15:29-32). 

Bahkan menurut penulis Injil Markus, ketika disalibkan Yesus bukan saja ditinggalkan oleh murid-murid pria (14:50), tetapi juga oleh Allah sendiri sehingga Dia berseru, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (15:34).

Pengakuan dari kepala pasukan Romawi ketika dia melihat cara Yesus mati bahwa Yesus “sesungguhnya adalah Anak Allah” (15:39) sebetulnya bukanlah sebuah pengakuan otentik akan kebesaran sang Messias yang bernama Yesus, tetapi sebuah satir penghinaan lebih jauh dari pihak Romawi terhadap orang yang mengklaim diri sebagai sang Messias Yahudi namun menemui kematian dengan cara yang sangat memalukan: mati disalibkan. 


Dalam pandangan orang Yunani-Romawi, seorang anak Allah adalah seorang yang terhormat dan mulia, duduk di takhta kerajaan, bukan mati terhina disalibkan. Dalam dunia Laut Tengah kuno, sosok-sosok besar adiinsani, superhuman, dimuliakan bukan sebagai para penjahat yang disalibkan, tetapi sebagai sosok-sosok setengah ilahi, sosok demigod, sosok semideus (Latin) atau hēmitheos (Yunani) atau sosok insan ilahi theios anēr (Yunani).

Begitu juga, dalam pandangan Yahudi orang yang mati disalibkan adalah orang yang terkena kutuk Allah (lihat Galatia 3:13; Ulangan 21:23), suatu “batu sandungan”; dan bagi masyarakat Yunani-Romawi, percaya pada sang Messias yang mati disalibkan adalah suatu “kebodohan” (1 Korintus 1:23).

Tetapi, bagi penulis Injil Markus, kematian Yesus di kayu salib adalah suatu peristiwa penting sebagai saat di mana Allah memilih untuk tidak berada terus di Ruang Maha Kudus dari Bait Allah, melainkan keluar dan meninggalkan ruangan ini dan selanjutnya dapat ditemui langsung oleh umat Yahudi tanpa lewat lembaga Bait Allah dan fungsi imamat sebagai lembaga-lembaga perantara.

Itulah memang tujuan utama Yesus sebenarnya: mendesentralisasi kehadiran Allah ke tengah rakyat jelata Yahudi, tidak boleh tersentralisasi di Bait Allah. 

Tujuan inilah yang mendorong emosi Yesus naik ketika Dia melihat bagaimana sistem Bait atau sistem imamat beroperasi di Bait Allah, yang membuat akses ke Allah dimonopoli segelintir orang yang mengelola Bait Allah dan ritual-ritual di dalamnya. Maka, terjadilah tindak keributan oleh Yesus di portiko Salomo Bait Allah, yang dikatakan-Nya mau Dia robohkan.

Penulis Injil Markus secara simbolik menyatakan desentralisasi kehadiran Allah ke tengah rakyat telah terjadi, ketika dia menulis bahwa pada waktu Yesus mati, “tabir Bait Suci terbelah dua dari atas sampai ke bawah” (15:38). 

Fungsi Bait Allah sebagai suatu lembaga yang menyelenggarakan ritual penghapusan dosa telah digantikan oleh diri Yesus sendiri melalui kematian-Nya di kayu salib, seperti dikatakan oleh Yesus sebelumnya, “Anak Manusia datang untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (10:45).

Dengan demikian, suatu peristiwa sejarah yang kongkret, yang melibatkan Yesus yang mengaku diri sebagai sang Messias Yahudi, yang karenanya dijatuhi hukuman mati baik oleh otoritas Yahudi maupun oleh otoritas Romawi, ditafsirkan drastis oleh penulis Injil Markus menjadi suatu peristiwa teologis adikodrati yang melaluinya, dalam pengakuan penulis Injil ini, Allah menyediakan penebusan bagi banyak orang. 


Untuk menjadi sang penebus, Yesus, dalam keyakinan penulis Injil Markus, "diharuskan Allah" (Yunani: dei) menempuh jalan sengsara (8:31; 9:31; 10:33-34).

Padahal, dalam teologi messianik Yahudi, tidak ada ide bahwa seorang messias menempuh jalan sengsara atau menjadi seorang hamba Tuhan yang menderita.

Bagi sistem kepercayaan Yahudi, atau teologi messianik Yahudi, seorang yang mengaku diri sang Messias haruslah membuktikan kemessiasannya itu dengan mengobarkan perang melawan penjajah bangsa dan negeri, dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri, untuk merebut kemerdekaan dan menyucikan Tanah Israel dari penajisan yang dilakukan bangsa lain. 

Sang Messias Yahudi sejati juga harus mempertahankan dan menjaga kesucian kota Yerusalem dan Bait Allah yang berdiri di kota ini. Tidak ada ide teologis Yahudi bahwa sang Messias Yahudi akan membuat keributan di pelataran Bait Allah dan berkehendak menghentikan fungsi imamat dan berbagai ritual di dalamnya.

Ya, Yesus hanya berhasil menang dalam dunia rohani, dengan Dia mengalahkan setan-setan, dan menenggelamkan satu legion roh najis ke dalam danau. 

Tetapi di kawasan duniawi, Yesus dikalahkan oleh kekaisaran Romawi dan kaki tangan Yahudi mereka, dengan mereka mengeksekusi-Nya di kayu salib yang bagi Yesus sendiri adalah saat yang paling getir di akhir kehidupan-Nya karena Allah dilihat-Nya telah meninggalkan-Nya ketika Dia sedang sekarat.

Bukan saja Yesus kalah dengan mati disalibkan; Allah juga menghilang. Langit tertutup oleh awan-awan gelap. Allah membisu. Tapi tidak berarti Allah non-aktif.

Saat diperhadapkan dengan suatu kabar besar bahwa Yesus telah dibangkitkan dari antara orang mati (16:6), murid-murid Yesus malah mengalami kegentaran dan ketakutan luar biasa, lalu mereka berlari keluar dari makam. Mereka tidak mengerti dan tidak bisa mengatakan apa-apa. Itulah bagian terakhir kisah orisinal Markus tentang jalan kehidupan Yesus, sang Anak Allah (16:8a). 

Akhir kisah yang membuat gelisah, yang mendorong siapapun untuk membuat narasi Markus ini berakhir dengan gembira dan menyampaikan pengharapan lewat perluasan bagian penutupnya (16:8b; dan 16:9-20).

Injil Markus adalah sebuah narasi paradoks. Temukan keabadian dalam narasi ini.