Friday, July 24, 2009

Fundamentalisme dan
Teks-teks Skriptural Eksklusif Kristen

Sabda Yesus, “Akulah satu-satunya flyover menuju sang Bapa” (parafrasis Yohanes 14:6)

Fundamentalisme adalah suatu ideologi keagamaan eksklusif yang dibangun di atas teks-teks skriptural eksklusif yang dipahami secara literalistik ahistoris, dan yang mendorong suatu umat beragama untuk hidup secara eksklusif dan mengisolasi diri serta memandang diri sendiri sebagai kelompok yang benar satu-satunya, dan memandang kelompok-kelompok berbeda sebagai musuh yang harus dipertobatkan atau dibinasakan demi menciptakan suatu dunia di masa depan yang sama sekali lain, yang hanya dihuni oleh kalangan mereka sendiri. Dengan demikian, fundamentalisme minimal mencakup hermeneutik kitab suci, psikologi dan gaya hidup, serta politik pembinasaan lawan dan penghancuran dunia lama yang akan digantikan oleh suatu dunia yang sama sekali lain yang datang dari “atas” (dikenal sebagai “politik apokaliptik”). Unsur-unsur yang membentuk fundamentalisme ini saling berkaitan. Jelas, setiap upaya kritis untuk menghadapi atau mendekonstruksi fundamentalisme mengharuskan orang untuk masuk ke bidang-bidang hermeneutik kitab suci, psikologi, antropologi kultural, politik dan ekonomi. Pada kesempatan ini, untuk membedah dan mendekonstruksi fundamentalisme dalam kekristenan fokus dibatasi pada hermeneutik kitab suci.

Ada sekian teks skriptural eksklusif utama dan gagasan teologis Kristen dasariah yang umumnya mendorong lahir dan terpeliharanya fundamentalisme Kristen. Teks-teks tersebut dan gagasan-gagasan teologis yang relevan beserta penjelasannya akan disajikan di bawah ini, dan dampak teks-teks tersebut bagi kehidupan orang Kristen akan juga digambarkan dengan singkat. Setelah itu, keabsahan teks-teks dan gagasan-gagasan teologis utama ini akan langsung dipertanyakan atau teks-teks tersebut akan didekonstruksi.

1a) Gagasan teologis besar Kristen: pengampunan dosa dan keselamatan hanya via kematian Yesus di kayu salib 


Tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa soteriologi salib, yakni ajaran bahwa keselamatan manusia diperoleh hanya lewat kematian Yesus di kayu salib, telah secara signifikan menjadikan kekristenan sebagai suatu agama yang eksklusif, yang tidak bisa mengakui atau menerima kebenaran yang ada dalam agama-agama lain, dan menghasilkan orang Kristen yang sama sekali tidak bisa toleran terhadap klaim-klaim kebenaran autentik yang diwartakan agama-agama lain kepada dunia.

Mengapa soteriologi salib bisa menghasilkan agama Kristen dan orang Kristen semacam itu? Karena, menurut pandangan orang Kristen, soteriologi salib menawarkan satu-satunya jalan keselamatan yang paling realistik, paling cocok, paling manjur dan paling memberi pengharapan bagi kondisi manusia. Orang Kristen kerap dengan naif mengklaim, tidak ada agama lain yang menawarkan soteriologi sejenis ini. Sebetulnya, orang Kristen yang semacam ini perlu bertanya dengan rendah hati kepada orang yang menganut Buddhisme mengenai para Boddhisatva dan apa yang mereka lakukan sehubungan dengan keselamatan manusia. Tetapi, bagaimana pun juga, kita pada kesempatan ini perlu bertanya, Apa yang diajarkan dan ditawarkan soteriologi salib kepada dunia, sehingga soteriologi ini diklaim orang Kristen sebagai suatu soteriologi yang sangat khas dan istimewa bahkan satu-satunya di dunia ini?

Menurut suatu mitos Kristen, sejak “kejatuhan” Adam dan Hawa, maksudnya: sejak pelanggaran dan perlawanan dua nenek moyang manusia ini di Taman Eden terhadap ketetapan Allah di permulaan kehidupan manusia di muka bumi ini yang mengakibatkan mereka berdua (juga ular dan bumi) terkena kutuk dan penghukuman Allah, semua orang keturunan mereka selanjutnya di segala tempat dan di segala zaman telah ikut berdosa dan harus juga menanggung azab dan kematian sebagai akibatnya (Kejadian 3:14-19; Roma 6:23). Ini adalah doktrin tentang “dosa warisan” atau “dosa asal” yang ditulis Rasul Paulus dalam Roma 5:12-19 sebagai dosa dan hukuman yang terus “menjalar kepada semua orang.”

Di samping dosa warisan yang tidak bisa dielakkan oleh semua manusia, termasuk oleh bayi yang baru dilahirkan, manusia juga berbuat dosa pribadi terus-menerus dan tidak bisa berbuat baik dan benar sama sekali untuk menyenangkan hati Allah. Menurut ajaran Kristen, “gambar dan rupa Allah” yang semula pada waktu penciptaan ditanamkan ke dalam kodrat manusia (Kejadian 1:26; 2:22; 5:1) telah hilang lenyap dari diri mereka sejak “kejatuhan” Adam dan Hawa. Kemuliaan Allah telah hilang dari diri setiap orang, tegas Rasul Paulus (Roma 3:23); akibatnya kapan pun juga manusia tidak akan bisa melakukan kebajikan dan kebenaran lagi (Roma 3:10-12; kutipan dari Mazmur 14:1-3; 53:2-4). Rasul Paulus dengan negatif menyatakan sesuatu tentang dirinya sendiri, tentang manusia pada umumnya, “Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik” (Roma 7:18). Sejalan dengan rusaknya citra ilahi dalam diri manusia, hati nurani manusia pun ikut rusak, “suara hati” tidak bisa menyelamatkan manusia; begitu juga, ketika hukum Taurat diberikan kepada manusia, hukum ini juga sama sekali tidak bisa mendatangkan keselamatan pada manusia. Itulah yang diajarkan Rasul Paulus dalam Roma 2:1-3: 20.

Jelas, mitos Kristen ini memberi gambaran yang sangat suram, buruk dan negatif mengenai citra kodrati manusia pasca-“kejatuhan” Adam dan Hawa. Tidak ada harapan keselamatan apapun pada diri manusia jika mereka mengandalkan kekuatan dan kemampuan diri sendiri untuk mencapai keselamatan. Perbuatan manusia, sebaik dan sebenar apapun, menurut mitos ini, tidak memiliki nilai dan potensi soteriologis apapun, karena sehabis melakukan perbuatan baik manusia yang sama juga akan melakukan perbuatan jahat, bahkan dalam porsi yang lebih besar. Inilah kondisi riil seluruh umat manusia yang tidak berisi pengharapan apapun, kondisi riil yang diungkap Rasul Paulus demikian, “Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak kukehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat ” (Roma 7:19).

Maka, lanjut mitos Kristen ini, Allah, dengan memerhatikan realitas kondisi manusia yang semacam ini, pada akhirnya berinisiatif memberi jalan keluar kepada manusia untuk mereka dapat menerima keselamatan. Yakni dengan Dia mengharuskan Yesus Kristus menempuh jalan sengsara, via dolorosa, dan akhirnya mati dibunuh di kayu salib oleh lawan-lawannya, sebagai kurban pengganti satu-satunya untuk semua manusia berdosa, sekali untuk selamanya (efapaks; Ibrani 7:27; Roma 6:9-10). Inilah vicarious sufferings yang dijalani dan dipikul Yesus Kristus, supaya/demi manusia terbebas dari hukuman atas dosa yang diwariskan Adam dan Hawa dan yang diperbuatnya sendiri. Dengan percaya bahwa pada diri Yesus Kristus yang disalibkan Allah telah menumpahkan api kemurkaan-Nya atas dosa manusia, manusia, tanpa perlu berbuat apapun, menerima keselamatan sungguh-sungguh hanya sebagai anugerah dan rakhmat, sola gratia. Inilah yang diberitakan dan ditawarkan soteriologi salib.

Dengan demikian, dalam penilaian orang Kristen, soteriologi salib adalah soteriologi yang paling realistik dan paling cocok dalam memecahkan masalah keberdosaan dan kebobrokan total diri manusia, sebab soteriologi ini tidak mendasarkan keselamatan manusia pada amal ibadah dan perbuatan baik yang sesungguhnya, menurut pandangan Kristen, tidak dapat dihasilkannya. Soteriologi salib juga dinilai gereja Kristen paling memberikan pengharapan bagi masa depan manusia, karena dengan memercayai soteriologi ini manusia dapat dengan tenteram mempercayakan diri mereka sepenuhnya kini dan selamanya kepada Allah yang sudah terbukti sebagai Allah yang pengampun, pemurah dan penuh rakhmat di dalam diri Yesus Kristus. Karena jalan salib dan kematian Yesus Kristus sudah terjadi dulu di awal tahun tiga puluhan abad pertama Masehi, maka soteriologi ini pasti manjur dan berkhasiat bagi manusia untuk membentuk perilaku moral mereka, sebab, jika tidak demikian, sia-sialah azab dan kematian Yesus dulu. Tidak berlebihan jika dikatakan orang Kristen percaya bahwa soteriologi salib bekerja secara magis.

1b) Dekonstruksi teks 


Hemat penulis, soteriologi salib atau jalan keselamatan melalui azab, kesengsaraan dan kematian Yesus di kayu salib memuat permasalahan-permasalahan etis teologis berat yang sangat sulit diatasi, atau bahkan tidak dapat diatasi sehingga merongrong validitas inti iman Kristen.

Pertama, kalau dosa manusia itu (dosa warisan ataupun dosa pribadi) dipandang Allah sebagai suatu tindak kekerasan yang dilakukan manusia terhadap sesamanya dan terhadap diri Allah sendiri, maka apakah tindak kekerasan yang Allah sendiri telah lakukan terhadap Yesus (dengan mengharuskannya menempuh jalan penderitaan, via dolorosa, dan mengalami kematian mengenaskan di kayu salib) akan bisa menghapus kekerasan dosa-dosa manusia? Apakah suatu tindak kekerasan bisa meniadakan suatu tindak kekerasan lainnya? Apakah tindak kekerasan Allah terhadap Yesus bisa mengeliminasi tindak kekerasan yang manusia lakukan terhadap sesamanya dan terhadap Allah? Bukankah pendapat kita adalah bahwa kekerasan akan menimbulkan kekerasan baru, bukan menghapuskannya? Bukankah dosa manusia tidak bisa dihapuskan oleh kekerasan ilahi? Bukankah dosa Allah tidak bisa menghapus dosa manusia? Bukankah dosa hanya menumpuk dosa, bukan melenyapkannya?

Kedua, bukankah teologi tentang penebusan dosa melalui penderitaan dan kematian biadab Yesus di kayu salib telah melegitimasi dan malah telah melakukan sakralisasi terhadap perbuatan biadab para pemimpin Yahudi dan gubernur Romawi Pontius Pilatus terhadap Yesus dari Nazaret yang sebetulnya tidak bersalah? Dengan kata lain, bukankah ketika gereja sedunia merayakan Jumat Agung (hari peringatan kematian Yesus), mereka sebenarnya sedang melegitimasi dan menyakralisasi kekejaman dan kekerasan serta kebiadaban sekelompok penguasa keagamaan dan politis kepada Yesus dari Nazaret? Bukankah tidak ada kekerasan yang sakral sehingga kekerasan ini boleh dilakukan?

Demikian juga, bukankah ketika gereja merayakan Paskah (hari peringatan kebangkitan Yesus), tanpa mereka sadari mereka sebenarnya juga memberi legitimasi teologis terhadap serangkaian tindak kekerasan yang ditimpakan pada Yesus sejak dia diadili, lalu dipaksa berjalan ke Golgota dengan disiksa dan akhirnya disalibkan di situ? Bukankah Paskah berarti pembenaran terhadap serentetan tindakan biadab terhadap Yesus yang berakhir di hari Jumat Agung, hari kematian Yesus di kayu salib? Legitimasi teologisnya demikian: Ya, benar, Yesus memang harus disengsarakan, dizalimi, lalu dibunuh dengan kejam, supaya semua tindakan kejam ini bisa memuncak pada tindakan Allah membangkitkan Yesus di hari Paskah. Jika demikian, bukankah Paskah itu bukan suatu warta gembira, bukan suatu warta kemenangan (bahwa maut telah dikalahkan!), melainkan suatu legitimasi teologis yang tidak bermoral atas serangkaian tindak kekerasan yang sebelumnya dialami Yesus? Bukankah tanpa via dolorosa yang dijalani Yesus, tidak akan ada kebangkitannya? Dengan demikian, bukankah kebangkitan Yesus membenarkan kesengsaraannya? Ya, supaya Yesus dibangkitkan, supaya ada kemenangan atas maut, Yesus harus dizalimi dan disengsarakan! Bukankah, dengan demikian, merayakan Paskah berarti membenarkan Pontius Pilatus dan para penguasa Yahudi dalam berlaku keras dan biadab terhadap Yesus?

Teologi Paskah, dengan demikian, mengunci kekristenan dalam suatu dilema dan kontradiksi pelik: pada satu pihak, Paskah dapat berarti Allah, dengan membangkitkan Yesus, menolak semua kekerasan yang telah dialami Yesus sebelumnya; namun di lain pihak, Allah memerlukan jalan kekerasan dijalani Yesus supaya Yesus menanggung hukuman yang seharusnya ditanggung manusia, dan dengan membangkitkan Yesus, Allah membenarkan semua perlakuan keras yang telah dialami Yesus ketika dia diharuskan Allah menempuh via dolorosa.

Ketiga, kisah-kisah injil Kristen tentang masa-masa kesengsaraan Yesus, yang dijalaninya sejak dia ditangkap, lalu diadili, kemudian dipaksa berjalan ke Kalvari sambil disiksa sementara dia memikul kayu salibnya sendirian (versi Yohanes 19:17), dan kemudian disalibkan di sana, secara bertahap menggeser kesalahan yang sebetulnya ada pada pihak Roma (Gubernur Pontius Pilatus) ke pihak Yahudi yang direpresentasikan para penguasa Bait Allah. Penggeseran tanggungjawab ini akhirnya menjadikan seluruh bangsa Yahudi turun-temurun sebagai pihak yang satu-satunya bersalah terhadap Yesus, yang harus menanggung akibat kematian Yesus (Matius 27:25), sebagai pihak yang telah melakukan pembunuhan terhadap Tuhan (deicide). Inilah motif anti-Yahudi yang terdapat paling kuat dalam kisah-kisah pengadilan Yesus dalam injil-injil Kristen. Motif ini kemudian, di zaman modern, melahirkan anti-Semitisme yang menimbulkan antara lain pembunuhan jutaan orang Yahudi (Holokaus) oleh rezim Hitler di Eropa pada abad XX.

Anti-semitisme ini sering tanpa disadari dibela gereja Kristen ketika mereka, misalnya, mempersalahkan orang Yahudi sebagai pembunuh Tuhan, dan karena itu mereka (orang Yahudi), dalam pandangan gereja, telah kehilangan anugerah ilahi yang semula diberikan kepada mereka. Dengan merayakan masa-masa kesengsaraan Yesus (dalam minggu-minggu Pra-Paskah) dalam ibadah gereja, gereja Kristen sebenarnya terus-menerus memelihara dan mewariskan ideologi anti-Semitisme, tanpa mau tahu atau tanpa menyadari bahwa anti-Semitisme ini telah menghilangkan begitu banyak nyawa orang Yahudi dalam zaman modern ini.

Begitulah, di dalam inti terpenting dogma Kristen tentang jalan keselamatan manusia lewat Yesus Kristus yang disalibkan terkandung unsur-unsur demonik yang harus diwaspadai. Sudah seharusnya, soteriologi salib (soteriologia crucis) diusahakan diganti dengan suatu soteriologi lain, misalnya soteriologi yang berpusat bukan pada azab dan kematian Yesus (disebut sebagai soteriologi doloris atau soteriologi nekrosentris), melainkan soteriologi yang berpusat pada kehidupan Yesus (soteriologi biosentris) atau soteriologi yang berpusat pada kata-kata atau ajaran-ajaran Yesus (soteriologi logosentris).

2a) “Segala sesuatu… bertekuk lutut pada Yesus” (Filipi 2:10-11)  


Pada bagian akhir dari sebuah madah kristologis yang dikutip Rasul Paulus dalam surat Filipi 2:5-11, terdapat sebuah pernyataan yang triumfalistik bahwa “dalam nama Yesus [akan] harus bertekuk lutut segala (pan) yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala (pasa) lidah mengaku: ‘Yesus Kristus adalah Tuhan’ bagi kemuliaan Allah, Bapa!”, pernyataan yang dalam Perjanjian Lama dikenakan hanya kepada Allah (Yesaya 45:23). Acuan kepada “segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi” dan kepada “segala lidah” jelas menunjukkan bahwa pernyataan ini adalah suatu pernyataan eskatologis, pernyataan tentang apa yang akan terjadi di akhir zaman ketika segala sesuatu ditaklukkan kepada Yesus yang bertindak sebagai “Tuhan semesta” yang kekuasaannya berlaku efektif atas segala sesuatu dalam jagat raya ini, dan yang namanya berada “di atas segala nama”, bukan suatu pernyataan tentang apa yang sekarang terjadi.

Gambaran atau keyakinan bahwa Yesus Kristus di akhir zaman akan menjadi sang penguasa atas segala sesuatu berhubungan erat dengan gambaran atau keyakinan bahwa di akhir zaman dia juga akan bertindak sebagai sang Hakim dunia yang akan menghakimi semua orang, baik yang sudah mati maupun yang masih hidup (bdk. 1 Tesalonika 4:13-18; 2 Timotius 4:8; Matius 25:31-46). Pada sisi lain, dalam Matius 28:18 ditulis bahwa Yesus Kristus, setelah kebangkitannya, telah menerima “segala kuasa (pasa eksousia) di surga dan di bumi” dan dia yang memiliki segala kuasa ini berada atau hadir di tengah jemaatnya (Matius 18:20) dan menyertai mereka “sampai pada akhir zaman” (Matius 28:20). Maka lengkaplah gambarannya bahwa Yesus Kristus, sang Tuhan gereja, adalah juga sang Tuhan semesta, dan padanya sejak sekarang hingga akhir zaman segala kuasa terletak! Memakai ungkapan dari Kitab Wahyu, Yesus Kristus adalah “Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terakhir, Yang Awal dan Yang Akhir” (Wahyu 21:6; 22:13; Wahyu 1:8, 17; 2:8), suatu gelar yang dalam Perjanjian Lama diberikan hanya kepada Allah YME (lihat Yesaya 44:6; 48:12). 

Karena selalu ada inter-relasi antara dunia simbolik keagamaan dan kehidupan nyata sehari-hari atau realitas sosial, kepercayaan kristologis yang triumfalistik dan superior semacam ini tentu saja kapanpun juga akan menciptakan suatu komunitas Kristen yang memandang dirinya berada di atas semua komunitas keagamaan lainnya, dan mengungguli mereka. Kalau Tuhan mereka, Junjungan mereka, adalah Tuhan semesta, representasi Allah, sang Hakim di akhir zaman, pemilik segala kuasa di seluruh alam semesta, di bumi maupun di surga, pada masa kini maupun di akhir zaman, dan seluruh dunia akan takluk di bawah kakinya, maka merekapun sebagai komunitas yang dibangun sang Tuhan yang semacam ini berhak mengklaim posisi dan kedudukan superior berhadapan dengan komunitas-komunitas agama-agama lain.

2b) Dekonstruksi teks: membaca Filipi 2:10-11 dalam konteks sastrawinya 


Kalangan Kristen yang sangat suka memakai teks Filipi 2:10-11 untuk memotivasi mereka menjadi penakluk dunia yang dibawa ke kaki Yesus untuk bertekuk lutut telah mencopot teks ini dari kaitan sastrawinya dengan teks-teks yang mendahuluinya. Kalau teks ini mau dibaca dan dipahami seutuhnya, kita harus pertama-tama membacanya dalam konteks sastranya, yakni keseluruhan teks Filipi 2:5-11 yang, seperti sudah dikatakan di atas, merupakan sebuah madah kristologis. 

Madah ini dimulai dengan pernyataan bahwa Yesus Kristus semula ada “dalam rupa Allah” (en morfēi theou), tetapi kemudian (kita boleh sebut, dalam inkarnasi) dia “mengosongkan dirinya sendiri” (heauton ekenōsen) dengan “mengambil rupa seorang hamba (morfē doulou) dan menjadi sama dengan manusia (en homoiōmati anthrōpōn).” Nah, ini adalah teologi kenosis, teologi pengosongan diri.

Menurut madah kristologis ini, kenosis Yesus ini begitu dalam, sampai ke tingkat yang paling rendah, dengan dia, yang sebetulnya “dalam rupa Allah”, menjadi seorang manusia dalam status budak (doulos; suatu status sosial yang sangat rendah dalam struktur sosial masyarakat Yunani-Romawi). Lebih jauh dikatakan, bahwa dalam statusnya sebagai manusia budak, Yesus terus “merendahkan dirinya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (thanatou staurou). Dalam kenosisnya, manusia budak yang bernama Yesus ini bahkan jauh lebih direndahkan bahkan dipermalukan dengan dia mati disalibkan. Hukuman mati dengan cara penyaliban adalah suatu bentuk hukuman mati Romawi yang dikenakan kepada para kriminal, yang dalam pandangan Yahudi adalah suatu bentuk kutuk ilahi (Ulangan 21:23; Galatia 3:13).

Jadi, kristologi kenotik ini menempatkan Yesus dalam suatu situasi kehidupan dan kematian yang sangat direndahkan, dipermalukan dan terkutuk. Kenosis sampai ke tingkat yang paling memalukan ini adalah suatu ekstrimitas. Nah, penyusun madah kristologis ini membuat suatu ekstrimitas lainnya (sebagai lawan dari ekstrimitas yang pertama) dengan menggambarkan Yesus yang sudah berkenosis sangat dalam ini diberi pahala oleh Allah dengan “Allah sangat meninggikan dia (tentu maksudnya: melalui kebangkitan dan pengangkatannya ke surga, untuk berada bersama Allah) dan mengaruniakan kepadanya nama di atas segala nama, ….” (Filipi 2:9-10). Jadi, tema perendahan dan tema pemuliaan/peninggian Yesus dalam madah kristologis ini lahir dari suatu gaya bahasa biner oposisional yang dipakai penulisnya dalam teksnya. 

Nah, peninggian atau pemuliaan Yesus Kristus sampai dia menjadi representasi Allah YME sendiri, yang kepadanya segala sesuatu akan bertekuk lutut dan segala lidah akan mengakui ketuhanannya, terjadi hanya setelah dia melakukan kenosis sampai ke titik paling rendah dalam kehidupan manusia.

Jadi, sudah seharusnya kalangan Kristen yang memakai Filipi 2:10-11 sebagai landasan untuk menegakkan triumfalisme dan superiorisme mereka dalam berhadapan dengan umat-umat beragama lain tidak melupakan kristologi kenosis yang diajukan madah kristologis ini. Sebelum merasa besar dan super, sekarang maupun di akhir zaman, sudah seharusnya gereja juga mengosongkan dirinya, melepaskan sifat takabur mereka, membuang perasaan paling benar sendiri, meninggalkan pemujaan pada kekayaan dunia, melepaskan gerak imperialis dan ekspansionis mereka, menyamakan diri dengan orang-orang yang berstatus rendah dan terbuang dalam masyarakat, supaya dengan itu semua mereka dapat menghayati bagaimana menjalani kehidupan kenotik Yesus. 

Hanya dengan memahami teks Filipi 2:10-11 dalam konteks sastrawinya, teks ini tidak akan melahirkan suatu fundamentalisme Kristen atau suatu superiorisme dan triumfalisme Kristen yang bisa menyengsarakan dunia non-Kristen sekaligus juga dunia Kristen.

3a) “Tidak ada nama lain yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kisah Para Rasul 4:12) 


Kisah Para Rasul (KPR) 4:12 lengkapnya berbunyi demikian, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia [=Yesus Kristus], sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain [oude gar onoma estin heteron] yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” Ini juga adalah suatu teks skriptural eksklusif triumfalis yang menjadi suatu landasan mengapa orang Kristen evangelikal fundamentalis “petantang-petenteng” menyatakan agama Kristen (versi mereka) sebagai agama yang benar satu-satunya dan Yesus Kristus mereka sebagai sang penyelamat satu-satunya untuk umat manusia sejagat raya di bawah matahari. 

Frasa “tidak ada nama lain” dari teks KPR ini, kita tahu, telah dipakai Paul F. Knitter sebagai judul sebuah bukunya namun dengan diberi tanda tanya olehnya, No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes Toward the World Religions (terbit pertama kali 1985). Orang Kristen evangelikal tentu saja banyak yang tidak senang dengan buku kritis Knitter ini, karena dalam penilaian mereka Knitter telah meragukan atau menolak kebenaran berita kitab suci Kristen, tanpa mereka memperhatikan dan mengikuti dengan serius argumen-argumen kuat dan kritis yang diajukan Knitter.

Teks KPR 4:12 ini tidak akan menjadi suatu teks problematik jika ihwal “tidak ada nama lain yang olehnya kita diselamatkan” hanya diberlakukan untuk kalangan dalam sendiri, yakni kalangan Kristen. Tetapi, karena KPR ditulis bertolak dari suatu rencana induk (master plan) yang dituangkan dalam KPR 1:8 (“Kamu akan menjadi saksi-Ku [saksi Yesus Kristus] di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi”) untuk mengkristenkan seluruh kawasan Yunani-Romawi (yang berpusat di kota Roma) pada zaman penulisnya, teks ini mengklaim bahwa “di bawah kolong langit” tidak ada penyelamat lain selain Yesus Kristus. Jadi kebutuhan misiologis ekspansif untuk mengkristenkan seluruh bumi memerlukan suatu dukungan dan pembenaran dari, atau melahirkan, suatu soteriologi (=ajaran tentang keselamatan) yang eksklusif dan berlaku global.

Sejak berdirinya anekaragam kekristenan di abad-abad pertama M, dan sejak ditulisnya beragam teks kitab suci Perjanjian Baru, gerak misiologis ekspansif ke seluruh muka bumi untuk mengkristenkan dunia sudah menjadi bagian dari penghayatan tugas dan panggilan gereja universal sepanjang sejarah kekristenan, yang lahir dari, atau dilegitimasi oleh, suatu soteriologi eksklusif dan triumfalistik. Politik ekspansionisme wilayah kekuasaan gereja berjalan bergandengan tangan dengan keharusan merumuskan soteriologi semacam ini.

3b) Dekonstruksi teks 


Untuk mendekonstruksi penafsiran triumfalistik eksklusif atas teks KPR 4:12, teks ini harus dibaca dalam terang keseluruhan kitab KPR, dan khususnya harus ditempatkan dalam konteks sastrawi naratifnya (KPR 3-4). Telah diargumentasikan di atas, soteriologi eksklusif dan triumfalistik teks KPR 4:12 ini didorong atau dilegitimasi oleh suatu politik misiologis ekspansionis yang telah dicanangkan dalam KPR 1:8. Kalangan kekristenan evangelikal takut sekali jika diingatkan, atau kepada mereka diperlihatkan, bahwa teologi dan juga soteriologi Kristen banyak yang lahir atau disusun dari kepentingan-kepentingan politik gereja perdana maupun gereja masa kini.

Selanjutnya, kita perlu memperhatikan KPR 3-4:22 sebagai konteks naratif KPR 4:12. Ucapan dalam KPR 4:12 ini berasal dari Rasul Petrus dalam suatu wacana pembelaan dirinya ketika dia dan Rasul Yohanes diperiksa atau disidang oleh “para pemimpin Yahudi, tua-tua, dan ahli-ahli Taurat” yang mengadakan sidang di Yerusalem, “dengan juga diikuti Imam Besar Hanas dan Kayafas, Yohanes dan Aleksander dan semua orang lain yang termasuk keturunan Imam Besar” (KPR 4:5-6). Tentu saja, setiap pembaca kritis akan melihat bahwa jumlah dan kalangan yang menyidangkan Rasul Petrus dan Rasul Yohanes, dua “orang biasa yang tidak terpelajar” (KPR 4:13), sangat dibesar-besarkan. Di sini, penulis KPR memakai suatu gaya bahasa hiperbolik, gaya bahasa pembesar-besaran sesuatu, jauh melampaui kenormalan. Gaya bahasa hiperbolik ternyata juga sudah dimunculkan sebelumnya oleh penulis KPR, ketika dia menceritakan bahwa “seorang laki-laki yang lumpuh sejak lahirnya sehingga dia harus diusung” (KPR 3:2), yang “sudah berusia lebih dari empat puluh tahun” (KPR 4:22), disembuhkan oleh Petrus dengan “memakai nama Yesus Kristus” (KPR 3:6). Selanjutnya dituturkan bahwa orang yang sudah disembuhkan ini, dengan “kaki dan mata kaki orang itu menjadi kuat” (KPR 3:7), “melonjak berdiri lalu berjalan kian kemari dan mengikuti mereka ke dalam Bait Allah, berjalan dan melompat-lompat” (KPR 3:8). Penyembuhan sebagai mukjizat semacam ini hanya ada dalam suatu narasi hiperbolik, tidak ada dalam kenyataan sejarah.

Nah, kita bisa rangkum sekarang. Dalam konteks narasi hiperbolik KPR 3-4:22, teks KPR 4:12 dengan demikian juga adalah suatu pernyataan hiperbolik, pernyataan soteriologis dan kristologis yang dibesar-besarkan. Kristologi dan soteriologi yang dibesar-besarkan tidak perlu ditanggapi dengan serius. Selain itu, Rasul Petrus harus membuat pernyataan kristologis dan soteriologis yang eksklusif dan triumfalistik dalam KPR 4:12 ini karena dia sedang membela dirinya di hadapan pemeriksaan oleh orang-orang yang berkedudukan penting dan banyak jumlahnya. Tentu saja, pembelaan diri dalam konteks ini mengharuskannya memakai gaya bahasa hiperbolik, minimal untuk membuatnya percaya diri dan menimbulkan keraguan di dalam diri para penyidiknya. Dalam narasi KPR 3-4:22, frasa “nama Yesus” ternyata muncul 6 kali (KPR 3:6, 16; 4:7, 10, 12). Jadi, tidaklah kebetulan kalau penulis KPR perlu membuat Rasul Petrus membuat pernyataan tentang nama Yesus dan fungsinya dalam pekerjaan penyelamatan ilahi atas umat manusia sejagat raya, dengan memakai gaya bahasa hiperbolik. Sekali lagi, soteriologi hiperbolik tentu saja tidak perlu terlalu serius dipikirkan, apalagi dipercaya mentah-mentah.

4a) Yesus Kristus “satu-satunya jalan” kepada Allah (Yohanes 14:6) 


Sudah merupakan suatu fakta bahwa teks Yohanes 14:6 adalah suatu teks yang paling sering dikutip orang Kristen untuk mendukung keyakinan dan pandangan mereka bahwa agama Kristen adalah satu-satunya agama yang benar dan Yesus Kristus adalah satu-satunya jalan keselamatan, jalan untuk orang dapat sampai kepada Allah. Teks ini, yang ditemukan hanya dalam Injil Yohanes (dan tidak ditemukan dalam Injil Markus, Injil Matius dan Injil Lukas, injil-injil yang ditulis mendahului penulisan Injil Yohanes), diucapkan oleh Yesus sendiri, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.”

Dalam Injil Yohanes, jalan (hē hodos), kebenaran (hē alētheia) dan hidup (hē zōē) adalah hal-hal surgawi yang menjadi kelihatan dan nyata dalam dunia ini di dalam diri Yesus, atau hal-hal yang membawa orang kepada kehidupan surgawi, kepada perjumpaan dengan Allah, ke “rumah Bapa” (Yohanes 14:2). Semua hal surgawi ini, oleh penulis Injil Yohanes diklaim hanya ditemukan pada diri Yesus Kristus sebagai sang Firman (ho logos) yang memiliki kepra-adaan, yang “pada mulanya” ada “bersama-sama” dengan Allah dan yang “adalah” Allah (Yohanes 1:1), dan yang “telah menjadi daging” (Yohanes 1:14); atau sebagai Anak Manusia surgawi yang berpraada (Yohanes 3:13; 6:38; 6:46) yang telah mengambil bentuk daging (Yohanes 6:51). Sebagai suatu hakikat surgawi yang berpraada, Yesuslah, dalam kepraadaannya, satu-satunya “Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa” yang “pernah melihat Allah” (Yohanes 1:18). Jadi, dapat dirangkum, bahwa karena Yesus adalah satu-satunya Hakikat surgawi (a heavenly being) yang berpraada dan satu-satunya yang telah melihat Allah dan bahkan adalah Allah sendiri yang telah menjadi daging, maka hanya lewat Yesuslah manusia bisa tiba ke rumah Bapa, kepada Allah, sebagai capaian terakhir keselamatan. Ringkas kata, bagi penulis Injil Yohanes, orang hanya bisa sampai kepada Allah hanya lewat diri Allah sendiri, yakni Allah yang telah mengambil rupa seorang manusia (“menjadi daging”), yaitu Yesus Kristus.

Benarlah jika dinyatakan bahwa, dibandingkan dengan injil-injil sinoptik (Markus yang ditulis tahun 70, Matius dan Lukas antara tahun 80-85), Injil Yohanes (yang ditulis belakangan, antara tahun 90-100) adalah injil yang paling berpengaruh kuat dalam pembentukan pemikiran kristologis gereja-gereja di kemudian hari, pada abad-abad ke-4 dan ke-5 ketika konsili-konsili ekumenis gereja-gereja (umumnya) Barat (yang berbahasa Latin) diadakan (Konsili Nikea tahun 325; Konsili Konstantinopel tahun 381; dan Konsili Khalsedon tahun 451), yang memandang Yesus sehakikat (Yunani: homoousios; Latin: Una Substantia) dengan Allah, dan bukan makhluk yang diciptakan (dari ketiadaan).

Perselisihan tajam yang sering berakhir dengan pertumpahan darah di jalan-jalan antara Arius dan Athanasius pada zaman patristik boleh dikata adalah perselisihan di sekitar persoalan apakah Yesus itu manusia sepenuhnya (pandangan Arius) atau apakah Yesus itu Allah sepenuhnya (pandangan Athanasius). Perselisihan teologis-kristologis ini memang pernah dicoba diselesaikan dengan suatu rumusan inklusif bahwa Yesus Kristus adalah manusia sepenuhnya sekaligus Allah sepenuhnya.

Tetapi, sampai di abad ke-21 ini, tetap saja terjadi ketegangan dalam kehidupan gereja-gereja sedunia, antara kelompok yang memegang keyakinan bahwa Yesus itu Allah sepenuhnya dan kelompok yang menganut kepercayaan bahwa Yesus itu manusia biasa. Nah, kelompok pertama (yakni kekristenan evangelikal) adalah kelompok yang paling agresif untuk menkristenkan dunia, menjadikan dunia “bertekuk lutut” di kaki Allah yang bernama Yesus, dan kelompok ini menolak untuk mendiskusikan atau mendialogkan klaim eksklusif mereka ini bahwa Yesus adalah Allah yang sesungguhnya, dengan umat-umat beragama lain yang juga tentunya memegang klaim-klaim kebenaran yang bisa sama eksklusifnya. Sedangkan kalangan yang liberal, yang memandang Yesus sebagai seorang manusia biasa (meskipun mungkin memiliki kualitas kehidupan moral yang berada di atas rata-rata manusia kebanyakan), membuka diri untuk berdialog dan melihat kehidupan beragama sebagai suatu ziarah yang tidak pernah selesai.

4b) Dekonstruksi teks 


Seperti telah ditegaskan di atas, teologi skriptural dan ekstra-skriptural apapun ketika dirumuskan tidak bisa dilepaskan dari kepentingan-kepentingan politis si perumusnya atau komunitasnya. Beragama adalah berpolitik (apalagi di dalam suatu dunia yang belum mengenal sekularisme). Demikian juga, Yohanes 14:6, bahkan seluruh bangunan pemikiran kristologis “dari atas” (high christology) dan soteriologi eksklusif triumfalistik dalam injil ini, adalah “sebuah ideologi perlawanan” Kristen (-Yahudi) yang ditemukan dan dirumuskan oleh komunitas Yahudi-Kristen Yohanes ketika komunitas ini sudah dikucilkan dari sinagog (aposunagōgos genētai, seperti kita dapat baca dalam Yohanes 9:22; 12:42; 16:2) dan mengalami penindasan dan penganiayaan (Yohanes 16:2; 16:33b), pemeriksaan, dan pemutusan komunikasi dengan orang Yahudi di sinagog (Yohanes 10:20). Dalam konteks sosio-politis semacam inilah, konteks sosio-politis religius suatu komunitas minoritas yang dianiaya, ditolak dan diasingkan, kristologi “dari atas” atau soteriologi eksklusif dalam Injil Yohanes adalah “an ideology of revolt”, seperti menjadi judul sebuah buku yang ditulis Jerome H. Neyrey, An Ideology of Revolt: John’s Christology in Social-science Perspective (1988). 

Berikut ini gambaran ringkas sejarah komunitas Yohanes. Semula komunitas Yohanes memberitakan kepada orang Yahudi di sinagog bahwa Yesus adalah sang Mesias Yahudi yang dinantikan, sang Nabi yang dikatakan “seperti” Nabi Musa. Tentu saja pemberitaan mereka ini semula berhasil; banyak orang Yahudi sinagog beralih menjadi anggota komunitas Yohanes. Tetapi para pemuka agama Yahudi di sinagog tidak suka melihat keberhasilan pekabaran injil komunitas Yohanes. Mereka lalu melakukan aktivitas penafsiran kitab suci (midrash) untuk membuktikan bahwa Yesus dari Nazaret tidak memenuhi syarat-syarat religio-politis untuk menjadi atau dipercaya sebagai sang Mesias Yahudi.

Bersamaan dengan aktivitas midrash ini, dengan satu dan lain cara mereka juga berhasil mengucilkan orang-orang Yahudi-Kristen Yohanes dari sinagog. Sebagai reaksi perlawanan, komunitas kecil Yohanes mengajukan klaim-klaim kristologis yang lebih radikal (masih dalam koridor “low christology”): Yesus menggantikan bahkan menghancurkan seluruh bangunan Yudaisme dan semua pilar dan ritusnya, termasuk semua orang suci Yahudi bahkan bangsa Israel sendiri, dan semua hari suci Yahudi dan semua pranata keagamaan Yahudi.

Sebagai respons terhadap klaim-klaim kristologis yang lebih radikal ini, orang-orang Yahudi di sinagog meningkatkan penderaan, pemeriksaan dan pengucilan terhadap anggota-anggota komunitas Kristen Yohanes. Ketika komunitas ini hampir secara psikologis dan fisikal tidak bisa tahan lagi menghadapi serangan dan kebencian orang Yahudi sinagog, yang mereka pandang sebagai keturunan “Iblis”, mereka mencari penguatan dan pegangan ideologis yang lebih bisa menolong dan menguatkan mereka. Di poin inilah mereka menemukannya dalam “high christology”: Yesus adalah Allah; kerajaannya bukan dari dunia ini; ketika dia “turun”ke dalam dunia ini dan “menjadi manusia”, dia ditolak oleh bangsanya sendiri dan oleh dunia yang membencinya; para pengikut Yesus dengan demikian juga mengalami apa yang dialami Yesus: mereka ditolak oleh dunia; dan Yesus menjanjikan kepada mereka untuk, lewat dirinya satu-satunya, akan sampai “ke rumah Bapa”.

Nah, kristologi “dari atas” adalah suatu ideologi perlawanan dan pertahanan diri yang dirumuskan oleh komunitas minoritas Yohanes, ketika komunitas ini ditolak, diasingkan dan didera oleh dunia ini. Semakin suatu komunitas minoritas dianiaya dan terancam musnah, semakin radikal komunitas ini dalam mencari kekuatan dalam suatu ideologi yang eksklusif dan triumfalistik. Yohanes 14:6 adalah bagian dari seluruh bangunan kristologi “dari atas” komunitas ini; teks ini, yang diciptakan oleh penulis injil ini, menghapuskan semua mediator Yahudi sebagai mediator-mediator yang tidak bisa membawa orang kepada keselamatan, tiba pada Allah. Hanya lewat Yesus, Allah komunitas Yohanes, keselamatan akan dialami. (Tetapi klaim bahwa Yesus itu Allah ternyata kebablasan, sehingga ada sebagian anggota komunitas Yohanes yang menganut doketisme, paham yang menolak kemanusiaan Yesus, karena itu ditulislah kritik tajam pada doketisme ini dalam 1 Yohanes 4:2-3; dan 2 Yohanes 7). Jika asal-usul teks Yohanes 14:6 telah dapat dipahami dalam perspektif ilmu-ilmu sosial, teks ini tidak perlu melahirkan fundamentalisme Kristen atau sikap “gagahan-gagahan” orang Kristen.


5. Penutup

Di atas telah dilakukan dekonstruksi kritis atas soteriologi salib, teks-teks triumfalistik skriptural Filipi 2:10-11, Kisah Para Rasul 4:12 dan Yohanes 14:6. Usaha dekonstruksi ini berhasil memperlihatkan bahwa doktrin utama kekristenan tentang keselamatan lewat salib Yesus dan teks-teks eksklusif dan triumfalistik ini, jika dipahami dengan kritis dan dalam konteks sastrawi dan konteks sejarahnya, sama sekali tidak memberi legitimasi skriptural apapun pada fundamentalisme, eksklusivisme dan triumfalisme Kristen. Hanya pemahaman yang tidak kritis dan bodoh terhadap doktrin penyelamatan melalui kayu salib Yesus, dan terhadap teks-teks skriptural eksklusif triumfalistik ini, memungkinkan timbulnya fundamentalisme dan triumfalisme Kristen.

by Ioanes Rakhmat

Icf/22-23 Juli 2009, Yogyakarta