Tuesday, January 22, 2008

Dari Epistemologi Historis, Kembali ke Makam Yesus

Catatan pengantar
 
Tulisan di bawah ini adalah sebuah tanggapan Ioanes Rakhmat terhadap tulisan Yonky Karman (YK), Menimbang Historiografi Keagamaan, dan tulisan Deshi Ramadhani (DR), Mendisiplinkan Faktualitas Makam Yesus. Tulisan-tulisan YK dan DR ini (yang dapat diminta langsung pada penulis masing-masing) merupakan tanggapan-tanggapan terhadap tulisan Ioanes Rakhmat sebelumnya, Penulisan Sejarah dan Penelitian Makam Keluarga Yesus, yang telah terbit dalam lembaran Bentara Kompas 31 Mei 2007. Karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, pihak Kompas sampai kini (22 Januari 2008) belum bisa menerbitkan ketiga tulisan ini.


Tanggapan terhadap YK

Dalam tulisan tanggapannya, YK tampak jelas menyatakan bahwa saya memandang sejarah bisa ditulis objektif seratus persen, yang menurutnya tidak mungkin bisa dilakukan karena dalam penulisan sejarah prasuposisi si sejarawan selalu berperan. Hemat saya, dalam hal ini YK telah tidak cermat membaca tulisan saya yang lalu (Kompas, 31 Mei 2007), yang di dalamnya dengan terang saya menyatakan, “[J]elas tidak ada uraian sejarah yang objektif sepenuhnya, dan selalu akan ada faktor subyektif dari si sejarawan yang ikut berperan.” YK dengan tajam juga menyatakan, “Penganjur Yesus sejarah mengklaim berhasil merekonstruksi Yesus yang historis dan objektif. Padahal, rekonstruksi itu didorong isu-isu kontroversial di masa modern, bukan kontroversi religius dan politis semasa Yesus hidup. Kontroversi modern dimasukkan ke dalam rekonstruksi itu. Yesus dikeluarkan dari lingkungan sosial-Nya dan masuk ke dalam perdebatan modern.” Hemat saya, pernyataan tajam YK ini menunjukkan dirinya tidak mengetahui betul apa yang telah dan sedang dilakukan oleh para peneliti Yesus sejarah dewasa ini.

Para peneliti Yesus sejarah dengan reputasi internasional pada masa kini sudah lama meninggalkan epistemologi objektivis positivis (atau historisisme) dalam usaha-usaha merekonstruksi Yesus yang hidup di masa lalu. Dengan epistemologi objektivis ini, si sejarawan akan mengklaim dapat dengan objektif seratus persen merekonstruksi peristiwa-peristiwa sejarah di masa lalu, tanpa keterlibatan subjektif dirinya di dalamnya. Begitu juga, epistemologi subjektivis (atau fenomenalisme atau narcissisme atau solipsisme historis) sudah tidak diterima lagi. Dengan epistemologi subjektivis ini, semua rekonstruksi sejarah akan dipandang hanya sebagai proyeksi dari lokasi sosial dan kepentingan-kepentingan sosio-politis kultural dan religius si sejarawan sendiri. Inilah yang dituduhkan YK di dalam pernyataannya di atas.

Tuduhan ini, sekali lagi, sama sekali salah sasaran. Para peneliti Yesus sejarah masa kini dengan sadar memegang epistemologi pasca-modernis yang disebut realisme kritikal atau interaktivisme atau relasionisme atau dialektika historis. Dengan epistemologi interaktivis ini, sesuai dengan namanya, setiap rekonstruksi peristiwa di masa lampau dipandang dihasilkan dari interaksi berimbang antara fakta-fakta sejarah objektif di masa lalu dan faktor-faktor subjektif dari si sejarawan sendiri (antara lain, lokasi sosialnya, prasuposisi teologis dan ideologisnya, metodologi penelitian yang dipakainya, serta kriteria otentisitas yang dipilihnya untuk memilah-milah bahan bukti literer tekstual maupun bahan bukti material). Dengan epistemologi interaktivis ini, objektivitas dan subjektivitas berdialektika menghasilkan potret-potret sejarah. Si sejarawan perekonstruksi Yesus sejarah yang memakai epistemologi interaktivis ini akan bersungguh-sungguh berupaya memasuki dunia sosial dan sistem sosial yang di dalamnya Yesus dari Nazaret dulu hidup dan berkarya. Usaha sungguh-sungguh ini tampak antara lain di dalam pemakaian pendekatan lintasilmu yang melibatkan antara lain antropologi lintasbudaya dan lintaszaman, sosiologi, arkeologi, ilmu sejarah dan kajian-kajian literer tekstual. Usaha serius lintasilmu ini diikuti kesadaran penuh si sejarawan untuk menghindarkan diri dari bahaya anakronisme dan etnosentrisme yang bisa timbul dari subjektivitas si sejarawan yang terlalu besar.

YK menekankan bahwa semua kisah Injil tentang mukjizat harus dilihat sebagai kisah-kisah sejarah, bukan semata-mata sebagai kisah-kisah teologis dengan kerugma atau pesan teologis. YK ingin menjadikan teologi Kristen sebagai historiografi Kristen, dan karena itu ia bisa berkata-kata tentang “historiografi injil kanonis” (sementara, kebanyakan pakar biasa menulis “teologi Injil kanonis”). Memasukkan teologi ke dalam historiografi sudah tidak bisa dilakukan lagi dalam historiografi modern, seperti saya sudah tegaskan dalam tulisan yang lalu. Tetapi baiklah, kita turuti saja kemauan YK ini, lalu kita akan sama-sama lihat apa akibat-akibatnya. Sebagai contoh baiklah kita ambil Matius 27:52-53, yang teksnya berbunyi demikian, “… dan kuburan-kuburan terbuka dan banyak orang kudus yang telah meninggal bangkit. Dan sesudah kebangkitan Yesus, merekapun keluar dari kubur, lalu masuk ke kota kudus dan menampakkan diri kepada banyak orang.” Nah, kalau berita Matius ini dipandang sebagai sejarah faktual, bukan teologi, apakah kita siap secara intelektual untuk membayangkan peristiwa yang menyeramkan ini pernah terjadi? Sebaliknya, kalau catatan Matius ini kita dekati menurut literary genre-nya sebagai gambaran apokaliptik kebangkitan Yesus, pesan teologisnya akan dapat kita peroleh dengan baik.

Lalu, ada satu akibat lainnya. Kalau mukjizat-mukjizat dimasukkan ke dalam sejarah sebagai peristiwa-peristiwa sejarah, dan menjadi bagian dari sejarah empiris insani dan natural, semua mukjizat itu tidak bisa hanya sekadar diimani, tetapi harus tunduk pada penelitian-penelitian rasional objektif empiris dan laboratoris, untuk dapat diketahui apakah memang dapat terjadi atau tidak dapat terjadi, seperti biasa dilakukan kepada segala bentuk peristiwa dalam sejarah! Jika mukjizat-mukjizat menjadi bagian dari sejarah, semua mukjizat ini juga harus tunduk kepada hukum-hukum logika naturalis historis dan harus dapat diulang di waktu-waktu lain dan di tempat-tempat yang berbeda. Apakah YK siap dengan ini?

Satu catatan terakhir untuk YK. Saya tidak tahu bagaimana mendamaikan dua pernyataan pertama YK berikut ini dengan sebuah pernyataan berikutnya lagi: “Memang Injil bersifat biografis dan sarat dengan propaganda, namun itu tidak berarti tanpa referensi historis.”; “Karena itu, narasi Injil tidak murni sejarah dan tidak boleh dibaca seperti membaca liputan di surat kabar.”; “Namun, genre sastra injil lebih tepat disebut narasi sejarah (narrated history).” Adalah kewajiban YK, untuk menunjukkan di dalam Injil-injil kanonis mana unsur-unsur “biografi”-nya, mana unsur-unsur “propaganda”-nya, mana unsur-unsur “tidak murni sejarah”-nya, dan mana yang narrated history-nya, sementara dia telah menegaskan bahwa dalam “historiografi injil kanonis” teologi adalah bagian dari sejarah. Apakah YK mampu menunjukkan unsur-unsur yang sudah disebutnya ini?

Tanggapan terhadap DR 

Pertama, penyejajaran novel Dan Brown, The Da Vinci Code (DVC), dengan penemuan dan pengkajian prosopografis makam keluarga Yesus adalah sebuah kesalahan sangat serius dalam mengenal jenis masing-masing subjek. DVC jelas adalah sebuah novel fiksi; sedangkan penemuan dan penelitian makam keluarga Yesus adalah sebuah temuan objektif arkeologis dan kajian saintifik lintasilmu yang masih sedang berlangsung.

Kedua, baik Simcha Jacobovici maupun James Cameron, bukanlah para sejarawan, bukanlah para pakar sains, melainkan para pembuat film. Sebagai para pembuat film tanpa training dalam penulisan sejarah, mereka tidak bisa dipaksa untuk menjadi sejarawan. Interpretasi yang sehat atas karya mereka yang berupa sebuah film dokumenter The Lost Tomb of Jesus harus bisa memperlihatkan di mana kekuatan film mereka dan di mana kelemahannya, di mana fakta dan di mana fiksinya.

Ketiga, ketika mengulas dokumen Kisah Filipus (Acts of Philip) minat Bovon bukanlah pada rekonstruksi historis kehidupan Mariamne yang, dalam Kisah Filipus, adalah sebutan untuk Maria Magdalena, melainkan pada sejarah tradisi yang memuat nama itu. Memang Kisah Filipus memuat bahan-bahan legendaris dan fabel; tetapi tidak berarti di dalamnya tidak ada rujukan-rujukan kepada sejarah. Misalnya, dalam Kisah Filipus dinyatakan bahwa Rasul Filipus mati dan dikuburkan di Hieropolis; ini adalah sebuah catatan sejarah yang sama dengan catatan sejarah Uskup Polykrates dari Efesus dalam suratnya kepada Santo Viktor yang ditulis kira-kira tahun 189-198. Kalaupun Kisah Filipus (abad 4) tidak dipakai, sebutan Mariamne untuk Maria Magdalena masih kita bisa temukan dalam dokumen-dokumen kuno lainnya: 1) Fragmen Yunani dari Injil Maria (akhir abad 2); 2) Tulisan Hippolytus, Refutatio Omnium Haeresium 5.1.7 (awal abad 3); 3) Origenes, Contra Celsum 5.62; dan 4) (dalam aksara Latin) tulisan Priscillian, Apologeticum 1.

Keempat, para arkeolog, paleografer, sejarawan, ahli Kitab Suci, ahli paleo-DNA, ahli statistik, ahli forensik, dan para pakar lain yang sedang meneliti makam keluarga Yesus tidak pernah memakai rujukan dalam Injil Filipus tentang Yesus yang mencium Maria Magdalena (mungkin pada mulutnya) dalam usaha-usaha mereka untuk membuktikan bahwa makam Talpiot itu adalah makam keluarga Yesus. Lagipula, dapat dipastikan Yesus dalam sejarah bukanlah seorang mistikus yang suka memberi “ciuman mistik” kepada para muridnya pada mulut mereka.

Kelima, pemeriksaan mitokondria DNA memang telah dilakukan hanya kepada human residue dari dalam osuarium “Yesus anak Yusuf” dan osuarium “Mariamene e Mara” (=Maria Magdalena); dan tidak dilakukan kepada human residue di dalam semua osuarium lainnya. Ini terjadi bukan karena para peneliti makam keluarga Yesus ini ingin membuktikan bahwa Yesus dan Maria Magdalena tidak bersaudara secara maternal, dan karena itu mereka adalah pasangan suami-istri. Masalahnya adalah karena di dalam semua osuarium lainnya sudah tidak bisa didapatkan human residue sedikitpun, karena bagian dalam dari semuanya telah dibersihkan dengan mesin penghisap debu ketika mau dipamerkan. Pemeriksaan DNA mungkin masih bisa dilakukan terhadap human residue dari osuarium “Yakobus anak Yusuf, saudara dari Yesus”; tetapi sementara ini, hal ini tidak bisa dilakukan karena osuarium ini dan tulang-belulang di dalamnya masih ditahan oleh pemerintah Israel.

Keenam, Prof. Andrey Feuerverger melakukan kajian statistik tidak dengan memperhitungkan enam nama, melainkan empat nama saja (“Yesus anak Yusuf”; “Maria”; “Maria Magdalena”; dan “Yoses”). Probabilitas 1:600 lahir dari kajian statistik atas empat nama ini. Jika osuarium “Yakobus” dimasukkan ke dalam perhitungan Feuerverger, probabilitasnya menjadi 1:30.000. Perhitungan statistik yang dilakukan John Koopmans atas ketujuh nama (termasuk nama “Yakobus”) menghasilkan peluang 1:42.723.672; namun harus dicatat, angka ini dihasilkan setelah melipatgandakan penduduk kota Yerusalem pra-tahun 70 sampai 30 kali angka rata-rata sebenarnya (50.000 orang). Data statistik ini menunjukkan betapa uniknya makam Talpiot itu sebagai makam keluarga Yesus.

Ketujuh, yang berkepentingan terhadap semua osuarium makam Talpiot dan osuarium “Yakobus” bukanlah CIA, tetapi IAA (Israel Antiquities Authorities). IAA berhasil mendapatkan dari Oded Golan foto osuarium Yakobus yang bercap “Expiry 76”; angka 76 ini menunjukkan bukan tahun pengambilan foto itu, tetapi batas kedaluwarsa kertas foto yang dipakai. Kepastian kuat bahwa osuarium “Yakobus” berasal dari makam Talpiot diperoleh dari pemeriksaan (dengan mikroskop elektron) “sidik jari” lapisan mineral patina osuarium ini yang “match” dengan “sidik jari” lapisan mineral patina dari dinding-dinding makam Talpiot dan dari semua osuarium yang ditemukan di dalamnya. Dalam artikel Amos Kloner (‘Atiquot, 1996) memang ditulis bahwa osuarium Yakobus itu “tidak berinskripsi” (Plain); tetapi identifikasi ini dibuat tergesa-gesa di lapangan (“field description”) dan bisa keliru, tidak dihasilkan dari penelitian yang seksama. Joseph Gat (seorang penggali makam Talpiot), misalnya, sebulan setelah penemuan makam itu di tahun 1980, telah keliru menyatakan bahwa hanya ada empat osuarium dari makam Talpiot yang berinskripsi, padahal sebetulnya (sesudah diteliti kembali) ada enam osuarium berinskripsi.

Kedelapan, gagasan bahwa makam Talpiot berisi tulang-belulang dari 35 orang atau lebih, bukan didasarkan pada kajian antropologis apapun atas tulang-belulang yang ada di dalam makam Talpiot, melainkan suatu tafsiran demografis yang diajukan Amos Kloner yang merupakan jumlah rata-rata individu per kuburan dari seluruh kuburan di sekitar Yerusalem yang sudah ditemukan.

Penutup: sebuah catatan pastoral 

Sebagai penutup, saya ingin menegaskan bahwa penemuan makam Talpiot dan penelitian-penelitian yang sedang dijalankan terhadap makam ini sama sekali tidak mengganggu iman Kristen pada kebangkitan Yesus, apabila kita mendasarkan diri pada berita Perjanjian Baru dalam 1 Korintus 15:35-58, bahwa Yesus yang bangkit, adalah Yesus yang bangkit dalam tubuh atau raga kemuliaan, raga surgawi, raga rohani, yang tidak akan bisa mati lagi. Hanya dengan raga kemuliaan yang tidak bisa mati lagi ini, dan bukan di dalam raganya yang lama yang dapat mati lagi, Yesus Kristus dapat menjadi Tuhan yang hidup, yang hadir di dalam doa dan kehidupan orang Kristen kapanpun dan di manapun.***


Tulisan kedua 

Tulisan saya di lembaran Bentara Kompas, 5 April 2007, yang berjudul Kontroversi Temuan Makam Keluarga Yesus, telah menyulut berbagai kontroversi dan reaksi meluas. Sebuah tanggapan terbuka terhadap tulisan itu, berjudul Historisasi Makam Kosong Yesus, telah dimuat di lembaran yang sama dalam koran yang sama pada 5 Mei 2007, ditulis oleh Deshi Ramadhani, seorang dosen tafsir Perjanjian Lama dari STF Driyarkara, Jakarta. Berikut ini (sudah terbit di Bentara Kompas, 31 Mei 2007) adalah sebuah tanggapan terhadap tulisan Deshi Ramadhani ini. 

Penulisan sejarah 

Jika ilmu sejarah dipahami dalam pengertian modern, penulisan sejarah adalah penulisan tentang sebuah peristiwa di masa lampau yang asal-usul kejadiannya harus dicari hanya pada penyebab-penyebab empiris natural, sosiologis dan kultural. Penulisan sejarah bukanlah penulisan sebuah teologi. Di dalam teologi (khususnya di dalam agama-agama monoteistik), penyebab-penyebab sebuah kejadian dalam dunia dijelaskan tidak terlepas dari keterlibatan Allah di dalamnya, keterlibatan faktor non-empiris supernatural, non-sosiologis dan non-kultural. Adalah asumsi dasariah dalam teologi bahwa Allah bertindak dalam kehidupan dunia manusia; teologi hanya bisa dijalankan jika asumsi ini diterima. 

Sedangkan asumsi dasariah dalam penulisan sejarah adalah segala sesuatu dapat terjadi dalam dunia ini hanya karena sebab-sebab empiris natural, sosiologis dan kultural. Jikalau seorang sejarawan menulis sebuah uraian sejarah dengan ke dalamnya dia melibatkan intervensi Allah ke dalam dunia kodrati, maka dia berhenti menjadi seorang sejarawan, berubah menjadi seorang teolog, dan karya tulisnya berubah menjadi sebuah teologi. Beberapa ilustrasi dapat diajukan.

Ketika seorang pakar sejarah Indonesia sedang menulis misalnya tentang Perang Diponegoro, dan di dalam tulisannya itu dia menyatakan bahwa Pangeran Diponegoro mendapatkan keberanian dan mampu mengembangkan taktik dan strategi tempur melawan kolonial Belanda karena Allah dan bala tentara surgawi membantu sang Pangeran secara langsung, sang ahli sejarah ini bukan sedang menulis sejarah, melainkan sedang menulis sebuah teologi atau sebuah epos religius. Tentu saja dalam perjuangannya Pangeran Diponegoro bisa saja dipengaruhi sangat kuat oleh imannya kepada Gusti Allah, dan karenanya bisa saja dia mengklaim bahwa Allah telah membantunya dalam perang melawan Belanda. 

Tetapi, ketika seorang sejarawan modern menulis tentang Perang Diponegoro, maka dia akan menyatakan bukan bahwa Gusti Allah dengan kuasa-Nya telah membantu dan menopang Pangeran Diponegoro, melainkan bahwa sang Pangeran sangat dipengaruhi oleh ideologi keagamaannya. Seorang sejarawan tidak berurusan dengan Allah yang dipercaya Pangeran Diponegoro, tetapi dengan ideologi religius sang pangeran sebagai sebuah variabel sosio-kultural historis yang ikut berperan dalam kiprah-kiprah kejuangannya.

Kitab Kisah Para Rasul adalah sebuah dokumen dalam Perjanjian Baru yang mengisahkan kelahiran dan pertumbuhan gereja-gereja Kristen perdana berkat kerja keras para rasul, terutama rasul Paulus, berawal di Palestina lalu meluas ke kawasan dunia Laut Tengah kuno di luar Palestina, sampai ke kota Roma. Dilihat dari perspektif modern tentang penulisan sejarah, apa yang dituturkan penulis kitab Kisah Para Rasul ini bukanlah sebuah tulisan sejarah, tetapi sebuah teologi karena di dalamnya dilaporkan bahwa kelahiran dan perluasan gereja Kristen oleh para rasul itu terjadi karena Roh Kudus atau Roh Yesus Kristus menyertai mereka dan melalui mereka mengadakan banyak mukjizat. “Mirakulisasi” atau pengajuan klaim bahwa suatu kejadian adalah mukjizat (Latin: miraculum) ilahi diperlukan hanya dalam teologi, bukan dalam penulisan sejarah. Tentu ada beberapa catatan sejarah faktual di dalam dokumen yang dinamakan Kisah Para Rasul ini; tetapi secara keseluruhan dokumen ini bukanlah dokumen sejarah dalam pengertian modern.

Ketika seorang dokter Kristen sedang menangani seorang pasien yang sedang sakit berat, dan dia diharapkan dapat menyembuhkan sang pasien, dia tidak bisa berdiam diri secara pasif saja menyerahkan sang pasien kepada Yesus untuk secara ajaib menyembuhkannya. Jika dia melakukan hal ini, dia bisa dituntut dan diajukan ke pengadilan dengan suatu tuduhan bahwa dia telah tidak menjalankan tugas profesionalnya sebagai seorang dokter yang wajib (karena dia berada di bawah sumpah!) melakukan serangkaian prosedur medik ilmiah untuk mengobati sang pasien. Seorang dokter bisa percaya bahwa mukjizat bisa terjadi dalam dunia ini; tetapi, ketika dia menjalankan profesinya sebagai seorang dokter, dia wajib mewujudkan kesembuhan untuk pasiennya dengan memakai segenap kemampuan profesionalnya dan mengikuti semua prosedur keilmuan yang dikuasainya. Sebagai seorang dokter, dia tidak boleh menyerah pada keganasan penyakit yang sedang diderita pasiennya, tetapi harus tetap tekun dan taat asas melaksanakan tugas-tugas profesionalnya sebagai seorang dokter.

Begitulah, seorang sejarawan yang melakukan kajian sejarah terhadap figur Yesus harus tetap konsisten berjalan pada jalur ilmiah dari ilmu sejarah, ilmu yang memperhitungkan hanya faktor-faktor empiris natural, sosiologis dan kultural. Taat asas dalam prosedur keilmuan bidangnya, adalah suatu syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang mengklaim diri ilmuwan. Pencampuradukan profesi seorang sejarawan dengan profesi seorang teolog akan menimbulkan ketidakdisiplinan ilmiah, perancuan kategoris dan penyesatan informasi. Meskipun jelas tidak ada uraian sejarah yang obyektif sepenuhnya, dan selalu akan ada faktor subyektif dari si sejarawan yang ikut berperan, namun si sejarawan harus pasti dalam satu hal, yakni bahwa dia akan memperhitungkan hanya faktor-faktor empiris natural, sosiologis dan kultural, dalam dia menyusun suatu historiografi.  

Kisah-kisah tentang mukjizat 

Yang ditemukan dalam Alkitab bukanlah mukjizat-mukjizat, tetapi kisah-kisah tentang mukjizat. Pembaca masa kini bukanlah penyaksi mukjizat-mukjizat yang dikisahkan di dalamnya, tetapi hanya sebagai para pembaca kisah-kisah itu. Kisah-kisah tentang mukjizat harus diterima apa adanya, yakni sebagai kisah-kisah. Memperlakukan kisah-kisah tentang mukjizat sebagai sama dengan fakta-fakta mukjizat empiris obyektif adalah suatu lompatan yang terlampau jauh, melampaui keterbatasan kisah-kisah yang ditulis sebagai karya-karya sastra. Lagi pula, dalam Perjanjian Baru, kisah-kisah tentang mukjizat Yesus ditulis bukan oleh para saksi mata. Selalu akan ada kesenjangan antara apa yang dikisahkan dan apa yang faktual telah terjadi. 

Sebagai kisah-kisah, kisah-kisah tentang mukjizat dapat dianalisis secara rasional ilmiah, dengan mengajukan antara lain pertanyaan-pertanyaan berikut: dalam konteks sosial-kultural historis dan religius apa kisah-kisah itu ditulis; faktor-faktor apa yang berperan di dalam penulisan kisah-kisah itu; untuk kisah-kisah tentang mukjizat dalam Perjanjian Baru, adakah kisah-kisah paralel yang dapat ditemukan dalam dunia Greko-Romawi; apa tujuan penulisan kisah-kisah tentang mukjizat dalam konteks luas dunia Greko-Romawi; di tempatkan dalam konteks zamannya dan dalam konteks temuan-temuan arkeologis mutakhir dan kajian-kajian antropologis lintas-budaya, apakah ada hal-hal yang dikisahkan yang tidak mungkin terjadi dalam sejarah; termasuk ke dalam jenis sastra ( literary genre) apakah kisah-kisah tentang mukjizat itu; dalam konteks seluruh dokumen sastra yang memuat kisah-kisah mukjizat itu, apa fungsi sastrawi dari kisah-kisah tentang mukjizat itu, dan mengapa kisah-kisah ini muncul dalam suatu konteks sastra tertentu dan bukan dalam suatu konteks sastra lainnya.

Mengajukan serangkaian pertanyaan rasional semacam di atas, bukanlah melakukan demirakulisasi (= penghilangan mukjizat) atas kisah-kisah tentang mukjizat, tetapi suatu keharusan prosedural metodologis untuk merekonstruksi sejarah kehidupan dari orang-orang atau komunitas-komunitas yang membuat kisah-kisah tentang mukjizat tersebut.

Yesus memberi makan 5000 orang hanya dengan 5 ketul roti dan 2 ekor ikan. Jika demikian halnya, mengapa kelaparan masih merupakan problem besar dunia masa kini? 

Ambil sebuah contoh, yakni kisah tentang Yesus memberi makan lima ribu orang (laki-laki) dengan lima roti dan dua ekor ikan (Matius 14:13-21 dan paralelnya). Di sini kita berhadapan dengan kisah Injil tentang mukjizat Yesus, bukan dengan mukjizat Yesus itu sendiri. Hanya dalam Injil Yohanes dikatakan bahwa Yesus sendiri langsung membagi-bagikan makanan itu kepada lima ribu orang itu (Yohanes 6:11); sedangkan dalam Injil-injil lainnya para murid Yesuslah yang membagi-bagikan makanan yang sebelumnya mereka telah terima dari Yesus. Bukan tempatnya di sini untuk mengajukan semua pertanyaan di atas kepada kisah ini. Pembahasan tuntas kisah mukjizat ini anda dapat temukan dalam tulisan saya di sini.

Terhimpunnya dalam satu hari orang laki-laki sampai lima ribu orang (belum termasuk perempuan dan anak-anak) bukanlah kejadian mudah; ini adalah sebuah tindakan yang tidak mungkin dilakukan Yesus dengan aman-aman saja, mengingat baik Herodes Antipas (penguasa Galilea dan Perea) maupun Roma (penjajah seluruh tanah Palestina zaman Yesus) akan segera bereaksi secara represif militeristik terhadap setiap usaha menghimpun massa dalam jumlah besar, seperti telah terjadi pada Yohanes Pembaptis yang dibunuh Herodes Antipas karena kekuatirannya atas massa pengikut Yohanes Pembaptis (baca tuturan tentang ini dalam Flavius Yosefus, Antiquities 18.116 dyb) dan pada kegiatan-kegiatan sejenis lainnya seperti telah dilaporkan juga oleh sejarawan Yahudi yang sama, Yosefus. 

Jadi, dilihat dari konteks sosio-politis zaman Yesus, sangat mustahil kalau Yesus bisa menghimpun lima ribu orang laki-laki dengan dirinya tetap aman-aman saja. Selain itu, harus diingat, total penduduk di kawasan-kawasan di sekitar tempat terjadinya pemberian makan lima ribu orang itu jelas tidak mencapai angka lima ribu.

Ada tiga golongan penafsir atas kisah tentang mukjizat pemberian makan lima ribu orang ini. Yang pertama adalah kalangan supernaturalis, yang menyatakan bahwa Yesus, dengan kekuatan supernaturalnya, betul-betul faktual pernah melakukan mukjizat memberi makan lima ribu orang dengan lima roti dan dua ikan, dengan sisa dua belas bakul (dari mana bakul-bakul ini berasal?). Masalah dari tafsiran kalangan supernaturalis ini adalah kesulitan orang entah untuk membayangkan terhimpunnya bergunduk-gunduk roti dan ikan mendadak sehabis makanan-makanan ini (lima ketul roti dan dua ekor ikan) didoakan Yesus, atau pun untuk membayangkan bahwa di tangan para murid yang membagi-bagikan makanan itu akan langsung muncul roti-roti dan ikan-ikan baru tidak habis-habisnya sampai semua orang yang duduk berhimpun mendapat makanan. Para mentalist dan illusionist dalam zaman modern yang piawai memakai trik teknologis dan trik mental untuk memperdaya masyarakat juga pasti tidak bisa mengadakan kejadian semacam ini: mengadakan gundukan roti secara mendadak bergunung-gunung di sekitar diri mereka!

Penafsir kedua adalah dari golongan rasionalis. Mereka menyatakan bahwa prakarsa Yesus dan para murid untuk membagi makanan itu kepada beberapa orang yang sedang duduk di barisan terdepan telah mendorong orang-orang lain di dalam perhimpunan besar itu untuk juga membagi-bagi makanan yang mereka telah bawa dari rumah masing-masing kepada orang-orang lainnya, sehingga akhirnya semua orang mendapatkan roti dan ikan yang cukup, tanpa perlu mukjizat terjadi. Kesulitan tafsiran rasionalis ini adalah teks Injil-injil jelas-jelas tidak berbicara tentang sharing of bread dan sharing of fish semacam itu. Sebaliknya, dalam Injil-injil dikatakan bahwa orang-orang yang berhimpun di situ sama sekali tidak membawa makanan apa pun, kecuali hanya lima roti dan dua ekor ikan (yang ada pada seorang anak).

Tetapi harus diakui bisa saja hal yang dibayangkan kalangan penafsir rasionalis ini secara faktual historis benar; tetapi karena kejadian historis yang semacam ini tidak membuat Yesus tampil sakti mandraguna, maka sejarah diubah oleh para penulis kitab-kitab injil dalam Perjanjian Baru (mulai dari Markus) sehingga lahirlah kisah-kisah hebat tentang Yesus membuat mukjizat pemberian makan 5000 orang ini yang kita dapat baca sekarang dalam injil-injil PB. Sudah menjadi suatu kecenderungan umum di kalangan orang Kristen perdana dulu untuk semakin lama semakin mempermuliakan dan mengagungkan Yesus, bahkan akhirnya sampai menempatkan Yesus setara dengan Allah sendiri, karena mereka dengan tidak mau kalah sedang terlibat dalam suatu persaingan ideologis sengit dengan kalangan-kalangan lain di dunia Yunani-Romawi yang sudah memiliki figur-figur mahaagung mereka sendiri, seperti Kaisar Augustus yang dipandang orang Roma sebagai sang juruselamat dunia yang kelahirannya membawa kabar baik dan keselamatan untuk seluruh kawasan kekaisaran.

Tafsiran ketiga yang paling mungkin diterapkan adalah dengan memperlakukan kisah ini sebagai sebuah kisah teologis mitologis, bukan kisah sejarah. Tafsiran teologis sesuai dengan hakikat setiap Kitab Suci sebagai sebuah kitab keagamaan, sebuah kitab teologis, bukan sebuah kitab sejarah. Bagi teologi penulis Injil Matius, Yesus adalah “Musa yang baru”, yang membawa hukum baru, dan yang mengulangi kembali bahkan melampaui kisah-kisah besar yang pernah dikisahkan tentang Nabi Musa. Kalau dulu untuk memelihara umat Israel yang sedang berada dalam perjalanan di padang gurun di bawah pimpinan Musa (dan Harun) Allah telah memberi mereka makan “daging” dan “roti” (yang disebut manna) (lihat Keluaran 16), kini, untuk umat Allah yang baru, yaitu Israel baru, Yesus sebagai Musa yang baru atau bahkan lebih besar dari Musa juga telah memberi himpunan besar para pengikutnya roti dan daging ikan sampai mereka kenyang, langsung dari tangannya sendiri. Di tangan penulis Injil Matius, Musa adalah tipologi Yesus, Yesus yang muncul kemudian dalam sejarah Israel. Pemberian makan ini hanya ada dalam teks, dalam dunia kisah, dalam dunia ide teologis, bukan dalam sejarah insani faktual.

Nah, memperlakukan kisah tentang mukjizat Yesus memberi makan lima ribu orang ini sebagai kisah teologis, bukan kisah sejarah, bukanlah melakukan demirakulisasi, tetapi diharuskan oleh sifat-sifat kisah tentang mukjizat ini sendiri. 

Makam keluarga Yesus dan kajian sejarah 

Ada pada kita bukti material objektif arkeologis berupa sebuah makam keluarga di Talpiot yang berisi osuarium yang bertuliskan nama “Yesus anak Yusuf” dan osuarium-osuarium lain yang bertuliskan lima nama lain yang berhubungan erat dengan Yesus sebagai satu keluarga, yang hampir semuanya adalah nama-nama yang ditemukan dalam Perjanjian Baru. Dan ada juga pada kita sebuah osuarium lain yang sudah dapat dipastikan berasal dari makam yang sama, yakni osuarium yang berinskripsi “Yakobus anak Yusuf, saudara dari Yesus”. Ini adalah sebuah fakta objektif material arkeologis, bukan rekayasa Yahudi untuk (seperti dituduhkan banyak orang Kristen belakangan ini) menjatuhkan agama Kristen. 

Juga ada data ilmiah dari ilmu statistik modern bahwa temuan arkeologis makam keluarga di Talpiot ini sangat unik, dengan peluang (menurut Feuerverger yang hanya memperhitungkan empat nama saja) hanya satu kali dari antara enam ratus kasus (1:600). Belakangan, John Koopmans juga melakukan perhitungan statistik serupa, tetapi kali ini dengan memperhitungkan tujuh nama yang ada, termasuk nama “Yakobus anak Yusuf, saudara dari Yesus”, dan dengan melipatgandakan penduduk kota Yerusalem sampai tiga puluh kali dari angka rata-rata yang sebenarnya. Menurut Koopmans, peluangnya adalah 1:42.723.672. Artinya, hanya akan ada satu makam keluarga seperti makam Talpiot dari 42.723.672 keluarga di Yerusalem pra-tahun 70. Angka-angka statistik ini telak menunjukkan tidak akan ada lagi kasus semacam makam Talpiot.

Yang baru dicatat di atas adalah fakta-fakta dan data ilmiah, bukan kesimpulan sejarah. Kesimpulan sejarah hanya akan bisa dihasilkan, apakah makam Talpiot adalah makam keluarga Yesus dari Nazareth (Yesus yang dipercaya orang Kristen sebagai Tuhan dan Kristus), apabila dilakukan pengkajian-pengkajian prosopografis lebih lanjut untuk menemukan “fit” atau “kecocokan” antara data material arkeologis dan data dari teks-teks kuno, termasuk teks-teks Perjanjian Baru. 

Jadi, usaha-usaha membuktikan makam Talpiot adalah makam keluarga Yesus dari Nazareth sama sekali bukanlah usaha-usaha demirakulisasi, melainkan usaha-usaha bidang kajian prosopografis untuk menemukan (melalui kajian ilmiah) kecocokan sejarah antara bukti material arkeologis dan keterangan-keterangan di dalam teks-teks kuno. Biarkan mereka yang sedang melakukan pengkajian prosopografis ini bekerja dengan taat asas di alur disiplin ilmu pengkajian arkeologis dan ilmu sejarah; jangan mereka dikecam atas nama teologi atau doktrin Kristen apapun.

Problem terbesar dalam memakai kata demirakulisasi adalah si pemakai kata ini untuk menuduh saya sama sekali belum membuktikan secara empiris bahwa mukjizat-mukjizat yang dia percaya ada, ada betulan dalam dunia ini, bukan hanya ada dalam kepercayaannya. Kepercayaan terhadap adanya mukjizat, sekuat apapun, ya baru terbatas hanya sebagai kepercayaan, bukan fakta-fakta. Sedangkan, yang saya perlukan untuk membantah tulisan-tulisan saya tentang makam Talpiot adalah fakta-fakta tandingan, bukan kepercayaan-kepercayaan keagamaan, entah kepercayaan yang naif atau kepercayaan yang cerdas. Fakta dan sains harus dilawan dengan fakta dan sains, bukan dengan dogma keagamaan atau iman pada adanya mukjizat.   

by Ioanes Rakhmat