Friday, February 29, 2008

Doktrin-doktrin Pokok Fundamentalisme Prostestan

Doktrin-doktrin Pokok Fundamentalisme Protestan: Sebuah Evaluasi Kritis


Oleh Ioanes Rakhmat





“Apakah tempat duduk ini sudah diselamatkan!?” Fundamentalisme sesat, tak terkendali.



N.B. Baca juga Ciri-ciri Fundamentalisme Kristen Dewasa Ini, 29 Februari 2008.


Fundamentalisme Protestan yang muncul pada awal abad ke-20 tidak dapat dilepaskan dari kandungan paradigma pemikiran Reformasi Protestan evangelikal (abad ke-16) ketika para tokoh terkemuka dari kalangan evangelikal dalam paradigma ini berkonfrontasi reaktif terhadap nilai-nilai paradigma zaman Pencerahan (abad ke-17 dan ke-18). 

Nilai-nilai ini melahirkan kemodernan dengan nilai-nilai modernnya yang diadaptasi ke dalam teologi modern dan teologi liberal, antara lain pengagungan rasionalitas yang menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern serta “progress” bagi peradaban manusia dan sekularisasi. Dalam paradigma Pencerahan ini, manusia tiba pada kesadaran dan pemikiran kesejarahan yang linier yang berorientasi ke masa depan, yang bertentangan dengan nilai-nilai zaman Barok (Renaissance) yang berorientasi ke masa lampau.

Nama “fundamentalisme” berasal dari brosur-brosur yang diterbitkan sebanyak 12 bagian dari 1909-1919 (1910-1915) yang diberi nama The Fundamentals: A Testimony to the Truth (“fundamentals” di sini artinya tentu hal-hal yang mendasar dari iman Kristen) oleh tokoh-tokoh terkemuka kalangan Protestan evangelikal dan para teolog konservatif dari Princeton Theological Seminary, dengan dukungan dana penerbitan dari dua orang Kristen awam./1/ 


Para pendukung gerakan ini disebut orang-orang “fundamentalis” (istilah ini diciptakan oleh seorang Baptis, C.C. Law, pada tahun 1920). 

Ada lebih dari satu definisi tentang “fundamentalisme” sebagai gerakan. Antara lain, fundamentalisme adalah “gerakan abad ke-20 yang terkait erat dengan tradisi kebangunan rohani dari Protestantisme evangelikal arus utama yang dengan militan melawan teologi modernis dan perubahan kebudayaan yang dihubungkan dengannya.”/2/ Dan, sederhana namun menggigit, seorang fundamentalis adalah “seorang evangelikal yang berang terhadap sesuatu.”/3/ 




Sedang berang terhadap sesuatu....


Definisi-definisi dari pakar non-fundamentalis ini disetujui oleh orang-orang fundamentalis sendiri. Dan “sesuatu” yang membuat mereka berang jelas adalah, seperti ditegaskan oleh seorang fundamentalis sendiri, “Protestantisme liberal radikal yang telah berupaya baik mensekularisasi kekristenan maupun mengkristenkan sekularisme pada saat yang bersamaan.”/4/

Apa yang mereka sedang lawan dan tentang mati-matian, terlihat dalam pokok-pokok yang mereka pandang fundamental bagi iman Kristen. Pokok-pokok ajaran dasariah yang dipertahankan dalam The Fundamentals mencakup:


1. pengilhaman dan ketidaksalahan (Infallibility) Alkitab;
2. keilahian Kristus dan kelahiran-Nya dari perawan Maria;
3. pendamaian melalui kematian Yesus Kristus;
4. kebangkitan harfiah/jasmaniah Yesus Kristus; dan
5. kedatangan Yesus Kristus dengan segera.

Dari sekian tulisan dalam The Fundamentals, dua puluh tujuh membahas Alkitab, sembilan tentang apologetika, delapan mengenai pribadi Yesus Kristus, dan tiga tentang kedatangan Kristus kedua kalinya. 

Kalau isi seluruh tulisan di dalamnya diperiksa, maka kelihatan bahwa tujuan utamanya adalah membela dan memuliakan pandangan-pandangan tradisional mengenai Alkitab. Hampir sepertiga dari keseluruhan tulisan menekuni pokok ini, dan di dalam semua uraiannya pengilhaman dan infallibilitas atau inerrancy Kitab Suci dengan kuat dipertahankan./5/

Tokoh-tokoh Kristen fundamentalis sendiri menyatakan doktrin “inerrancy” dan “infallibility” Alkitab pada dasarnya berkaitan dengan keabsahan dan otoritas Alkitab. 

Mereka memandang Alkitab sebagai kumpulan tulisan yang “diilhamkan Allah” (kata Yunani theopneustos sebetulnya lebih tepat diterjemahkan “dibuat hidup oleh Allah”) dan karenanya bebas dari kesalahan apapun di dalam semua pernyataan dan penegasannya sebagaimana terdapat dalam naskah-naskah aslinya (padahal, faktanya, kita tidak mempunyai satupun autograf atau naskah asli dokumen-dokumen dalam Alkitab). Mereka mengklaim bahwa doktrin fundamentalis tentang Alkitab ini sendiri berasal dari gerakan evangelikal arus utama abad 19 yang mempertahankan konsep “pengilhaman harfiah sepenuh-penuhnya” sebagaimana dikembangkan oleh para teolog dari Princeton Theological Seminary.

Memang pada 1878, dalam mengantisipasi gerakan fundamentalis, dalam Niagara Bible Conference dikeluarkan suatu “Pengakuan Iman Niagara” yang pasal pertamanya berbunyi demikian:

“Kami percaya ‘bahwa segala tulisan suci diilhamkan Allah’; yang kami pahami sebagai tulisan suci adalah kitab yang dinamakan Alkitab; kami tidak memahami pernyataan itu seperti yang kadang-kadang secara keliru dipahami bahwa yang diilhami adalah karya-karya orang-orang pandai. 

Tetapi yang kami pahami adalah bahwa Roh Kudus memberikan kata-kata dari tulisan-tulisan itu sendiri kepada orang-orang suci zaman lampau. Dan bahwa pengilhaman Allah ini tidak berlangsung dalam tingkatan-tingkatan yang berbeda-beda, melainkan berlangsung sama rata dan sepenuhnya untuk semua bagian tulisan-tulisan ini, tulisan-tulisan sejarah, puisi, pengajaran dan nubuat para nabi, dan bahkan sampai pada kata-kata yang paling kecil dan juga infleksi suatu kata, asalkan semuanya itu di dalam naskah-naskah aslinya.”/6/ 

Jelas, pernyataan ini
adalah rumusan “kepercayaan”, rumusan “pengakuan iman”,/7/ bukan suatu pernyataan atau kesimpulan ilmiah yang dihasilkan melalui penelitian kritis ilmiah. 

Selain itu, sekali lagi, merujuk ke naskah-naskah asli Alkitab adalah suatu usaha yang sia-sia, sebab Alkitab, khususnya Perjanjian Baru, disusun tidak dari autograf-autograf atau naskah-naskah asli, melainkan dari naskah-naskah salinan dari salinan dari salinan.

Lalu, mengapa Alkitab “dipercaya” dan dipertahankan sampai begitu rupa? 

Jelas, pada awal kelahiran fundamentalisme, pemahaman semacam itu dimaksudkan untuk menolak dan menyerang pendekatan historis kritis terhadap Alkitab yang memakai prinsip-prinsip penalaran dan kesadaran sejarah zaman Pencerahan.





Tak mau mendengar dan mengetahui hal-hal lain. Cukup Alkitab saja.


Apakah pandangan fundamentalis ini sesuatu yang baru? Jelas, bukan! Tentu sudah ada pemahaman di dalam gereja-gereja perdana semacam ini, bahkan di dalam dunia Perjanjian Lama ketika dituturkan bahwa Roh Allah datang dan memenuhi nabi-nabi yang sedang mengalami ekstasi, dan juga di dalam teologi Yahudi.

Juga sudah jelas bahwa bapak-bapak gereja (Ortodoksi) memegang keyakinan yang serupa. Demikian juga dalam teologi Kristen Abad Pertengahan./8/ 

Bahkan ---- sebagaimana ditegaskan orang-orang fundamentalis sendiri ---- Yesus sendiri mengutip Perjanjian Lama dan memandangnya sebagai tulisan-tulisan yang diilhami Allah dan bahkan Dia sendiri mengacu pada bagian-bagian Kitab Suci yang “diragukan kebenarannya” dan menerimanya sebagai tulisan-tulisan yang menyaksikan kejadian-kejadian yang sungguh-sungguh terjadi (Adam, Yunus, dan orang-orang lainnya)./9/

Sebelum tiba zaman Pencerahan yang melahirkan modernitas, adalah sesuatu yang wajar saja kalau orang berpikir demikian, sama seperti mereka percaya begitu saja bahwa dunia ini diciptakan dalam enam hari dalam arti harfiah.

Lalu, apakah sebelum lahirnya fundamentalisme pada awal abad ke-20 orang-orang zaman pramodern yang memandang Alkitab seperti itu juga terkategori orang-orang fundamentalis? Tidak, tidak bisa dikatakan bahwa mereka yang hidup pada zaman pramodern, zaman pra-kritis dalam studi Kitab Suci, adalah orang-orang fundamentalis.

Tetapi, orang-orang yang sudah memasuki zaman modern dimana studi-studi Alkitab sudah memakai metode-metode kritis, tetapi masih berkeras memandang Alkitab secara pra-kritis, mereka adalah orang-orang fundamentalis. 

Dalam hal ini, bukan Alkitab yang mereka pertahankan dan mutlakkan, melainkan doktrin keagamaan pramodern mereka mengenai Alkitab, dan dari doktrin ini memancar segala segi lain yang dipertahankan dalam tradisi keagamaan mereka./10/

Bagaimana dengan Martin Luther? Jelas, dia bukan seorang fundamentalis, sebab baginya meski pun Alkitab
adalah firman Allah satu-satunya (sola Scriptura), dalam hermeneutik Luther tidak setiap bagian Alkitab yang berdiri sendiri-sendiri adalah firman Allah; bagian-bagian itu adalah firman Allah hanya sejauh menyaksikan Firman Allah yang menjelma, yaitu Yesus Kristus. Kewibawaan Alkitab dalam pandangan Luther terletak disitu, bukan pada doktrin inerransi dan infallibilitas harfiah Alkitab.

Doktrin mengenai kebangkitan Yesus secara jasmaniah didesakkan untuk melawan pandangan modernisme yang melihat Yesus hanya sebagai “guru moral” yang meninggalkan pesan-pesan moral-Nya, khususnya Khotbah di Bukit./11/

Bagi kalangan fundamentalis, Yesus adalah sang penyelamat yang hidup yang dapat mengubah kehidupan orang pada masa kini; Dia bukan seorang guru etika yang sudah mati. Bagi mereka, kebangkitan yang dilihat hanya sebagai “kebangkitan spiritual” sama sekali tidak memadai, karena tidak sesuai dengan kesaksian Injil (orang-orang fundamentalis mengacu pada Lukas 24:36-43; Yohanes 20:20-29). Beberapa catatan perlu dikemukakan.

Dalam Alkitab, perihal kebangkitan Yesus diberitakan bukan hanya dalam Injil-injil, tetapi juga, misalnya, dalam surat Paulus kepada jemaat di Korintus (1 Korintus 15:35-58). Disitu, Paulus berbicara tentang tubuh kebangkitan sebagai “tubuh rohaniah” (sōma pneumatikon), sedangkan tubuh yang ditaburkan adalah “tubuh jasmaniah” atau “tubuh alamiah” (sōma psukhikon).

Jelas, Paulus membedakan dua jenis tubuh itu, yang di antara keduanya terdapat diskontinuitas radikal.

Orang fundamentalis gagal melihat kemajemukan kesaksian Alkitab sendiri mengenai kebangkitan Yesus.

Selain itu, dengan studi kritis, terlihat bahwa kesaksian Perjanjian Baru tentang kebangkitan Yesus berkembang dalam beberapa tahap, dan tahap yang paling awal (madah kristologis pra-Paulinis dalam Filipi 2) menyatakan kebangkitan Yesus itu dengan sebutan “Allah sangat meninggikan Dia” (2:9) tanpa ada rujukan apapun kepada kebangkitan jasmaniah. Baru pada tahap yang belakangan kebangkitan itu dituturkan dalam Injil-injil (Matius, Lukas dan akhirnya Injil Yohanes) dengan terinci dan makin materialis atau fisikal./12/

Kalaupun orang-orang fundamentalis menekankan kebangkitan Yesus secara jasmaniah dengan mendasarkannya
pada pengalaman orang percaya pada kehadiran-Nya di masa kini sebagai penyelamat yang hidup yang mengubah hidup manusia, maka ada beberapa persoalan di sini.

Pengalaman kehadiran Yesus pada masa kini jelas adalah pengamalan kehadiran Roh, bukan pengalaman akan kehadiran diri Yesus secara jasmaniah yang dapat dipandang dan disentuh. 

Jadi, mengapa untuk memberi landasan pada pengalaman spiritual ini harus ada doktrin yang dimutlakkan bahwa Yesus bangkit secara jasmaniah? Bukankah Yesus yang bangkit dalam tubuh rohaniah-Nya lebih mungkin untuk dapat juga hadir secara rohaniah pada masa kini?

Lagi pula, pengalaman keagamaan dihadiri Yesus ini berlangsung dalam suatu lingkungan orang percaya yang memegang tradisi kepercayaan tertentu, dan pengalaman semacam ini bukan satu-satunya pengalaman keagamaan yang dengannya mereka mengalami “makna” Yesus buat kehidupan mereka di masa kini. 

Yesus memberi banyak makna, tidak cuma lewat kematian dan kebangkitan-Nya, tapi juga lewat kehidupan, ajaran, contoh, komitmen, wejangan-wejangan dan kisah-kisah metaforis-Nya (dikenal sebagai perumpamaan-perumpamaan-Nya). Yesus yang begitu kreatif, telah disusutkan menjadi seorang literalis fundamentalis yang tidak kreatif oleh kalangan Kristen fundamentalis.

Di sini terlihat bahwa penekanan doktrinal pada kebangkitan jasmaniah Yesus oleh orang-orang fundamentalis tidak bertolak dari kesaksian Alkitab yang dipahami dengan teliti dan menyeluruh, melainkan bertolak dari pengalaman keagamaan dalam arus tradisi Kekristenan tertentu yang coba dibenarkan melalui harmonisasi tulisan-tulisan Kitab Suci dan muncul dari motivasi melawan modernisme yang menerapkan pendekatan kritis terhadap Kitab Suci.

Akhirnya, satu hal penting perlu dikemukakan. Meski pun doktrin tentang kebangkitan fisikal Yesus ini ditekankan oleh orang-orang fundamentalis, tetapi makna teologisnya tidak ditekankan sekuat yang diberikan pada kematian Yesus di kayu salib untuk menebus dosa-dosa manusia./13/

Mestinya, doktrin kebangkitan Yesus akan mendorong orang-orang fundamentalis untuk terjun ke dalam persoalan-persoalan masyarakat untuk mengusahakan pembaruan kehidupan sebagaimana Kristus yang mati disalibkan dibaharui kembali dalam kebangkitan-Nya.

Sebaliknya, mereka aktif untuk memperjuangkan keselamatan pribadi orang seorang saja melalui penginjilan tanpa menyentuh persoalan-persoalan kemasyarakatan, dan melupakan bahwa kebangkitan Yesus didahului oleh kematian-Nya dalam tangan pemerintah penjajah Romawi di abad pertama yang melihat Yesus sebagai seorang tokoh keagamaan yang potensial mengganggu stabilitas Pax Romana. Lewat kerjasama dengan para pemuka keagamaan Yahudi dan para penguasa Bait Allah, Yesus akhirnya ditangkap dan segera dieksekusi. 

Jalan kehidupan Yesus yang inspiratif, yang di dalamnya Yesus aktif memberdayakan rakyat Yahudi yang ditindas, dipalang dan diblokir oleh orang Kristen fundamentalis, dan mereka tak mau memasuki dan ikut menjalaninya.




Saya memiliki buku tua tebal ini, tetapi berstatus klasik, karya William James, The Varieties of Religious Experience: A Study in Human Nature (London, etc.: Longmans, Green And Co., 1902, 1929). Sudahkah anda membacanya dengan cermat? Klik gambar untuk memperbesar.


Juga, mestinya pengalaman dihadiri Roh Yesus Kritus yang diklaim kalangan fundamentalis ini akan membuat mereka terbuka juga pada pengalaman-pengalaman spiritual sejenis” yang dialami orang-orang dari tradisi keagamaan lain. Nyatanya, orang-orang fundamentalis tidak menunjukkan sikap dan pengertian semacam itu. Tidak mungkin pengalaman tentang kehadiran “The Wholy Other” akan memisahkan orang seorang dari orang-orang lain dari tradisi keagamaan yang berbeda yang juga mengalaminya.

Satu hal perlu dicatat. Studi-studi neurosaintifik atas berbagai pengalaman keagamaan yang dialami oleh orang-orang yang menghayati agama-agama yang berbeda bermuara pada sebuah kesimpulan bahwa otak manusia memang dikonstruksi dan terprogram secara neurologis untuk manusia dapat mengalami berbagai pengalaman kerohanian, misalnya merasakan kehadiran satu sosok rohani atau merasakan sedang berjalan menuju dunia lain, dan seterusnya.

Di lingkungan kekristenan evangelikal, pengalaman batiniah keagamaan masa kini berupa kehadiran Yesus sebagai sang penyelamat yang hidup yang membuka hubungan pribadi dengan orang percaya, memerlukan pemahaman bahwa Yesus adalah Allah yang datang ke dalam dunia tanpa dosa (karena itu, Dia harus dilahirkan dari Perawan Maria). Demikianlah argumentasi kalangan fundamentalis untuk doktrin mereka mengenai keilahian Yesus,/14/ sementara di dalam doktrin Ortodoksi mengenai Yesus diakui bahwa Dia adalah “Allah dan Manusia”.

Selain itu, dalam surat-surat 1 dan 2 Yohanes, ditulis bahwa orang yang tidak mengakui kemanusiaan Yesus adalah kalangan anti-Kristus. Yakni, para penganut agama gnostik doketisme.

Pada awal kelahiran fundamentalisme, doktrin keilahian Yesus itu (bahwa Yesus itu Allah) diajukan untuk melawan pemahaman modernis liberal dan deisme (yang tidak dapat menerima gagasan tentang suatu Allah yang datang ke dalam dunia, menjelma, dan campur tangan dalam dunia manusia) yang melihat Yesus hanya sebagai manusia biasa, pengajar moral, yang menjadi teladan bagi manusia./15/

Karena itu dapat dipahami bahwa sisi kemanusiaan Yesus yang diakui Ortodoksi tidak ditampilkan dalam doktrin fundamentalis ini. Dari sudut ini, juga dapat dipahami kalau mereka tidak mempedulikan kesaksian Perjanjian Baru yang juga menekankan kemanusiaan Yesus di samping, dalam tahap-tahap kemudian, keilahian-Nya.

Kepercayaan pada rasionalitas dan “progress” sebagai nilai-nilai modern menempatkan manusia sebagai insan otonom yang dapat membangun masa depan mereka sendiri dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sekularisasi yang menyertai kemodernan menyebabkan agama tidak berperan di wilayah publik dan politik, dan Allah dipandang tidak diperlukan lagi untuk membangun manusia dan masyarakat.

Dalam konteks semangat zaman yang seperti itu, fundamentalisme tampil dengan menekankan doktrin pendamaian dan penebusan dosa melalui pengorbanan Yesus di kayu salib, di samping itu juga untuk melanjutkan perlawanan terhadap Katolisisme yang memegang soteriologi yang sinergistis, bahwa iman (sebagai karunia) dan karya dan perbuatan manusia bersinergi untuk mendatangkan kebaikan dan keselamatan manusia.

Di samping itu, dengan doktrin ini juga orang fundamentalis menolak apabila Yesus hanya dilihat sebagai guru moral yang ajaran-ajaran-Nya bermanfaat untuk membimbing manusia. Bagi mereka, yang diberikan Yesus bukan hanya ajaran-ajaran-Nya, tetapi juga diri-Nya untuk kebaikan dan keselamatan manusia. Mereka mengerdilkan ajaran-ajaran sosok Yesus orang Nazareth; dan sebagai gantinya, mereka memegahkan dan memuliakan ajaran-ajaran aliran kekristenan mereka sendiri.

Terakhir, tentang doktrin kedatangan segera Yesus untuk kedua kalinya. Penekanan pada kedatangan yang segera ini memperlihatkan keprihatinan orang-orang fundamentalis pada kecenderungan para teolog dan orang Kristen liberal untuk menerima gagasan tentang “kemajuan” (progress) dan memperbincangkan perihal mengenai “membangun” Kerajaan Allah di bumi melalui prestasi-prestasi sosial kemasyarakatan seperti yang dikembangkan oleh “social Gospel” dengan gagasannya tentang “demokratisasi” Kerajaan Allah dan “mengkristenisasikan tatanan sosial” (antara lain Albrecht Ritschl, Walter Rauschenbusch dan Horace Bushnell). Bagi orang fundamentalis, “social Gospel” telah memodernisasi Injil yang sebenarnya./16/

Pendekatan terhadap Alkitab yang
pramodern menyebabkan mereka juga tidak melihat bahwa eskatologi (= ajaran tentang akhir zaman) Perjanjian Baru lebih dari satu macam dan mengalami perkembangan, dari pengharapan eskatologis yang memandang Yesus segera datang kembali sampai pada pandangan bahwa kedatangan-Nya tidak diketahui kapan atau pada pandangan Dia sudah datang kembali dalam kehadiran Roh Kebenaran atau paraklētos.

Ketika gereja perdana mulai melembaga eskatologi bergeser, diganti oleh lebih banyak tugas penataan organisasi pelayanan gereja di dalam dunia yang masih berlangsung (seperti tercermin dalam Surat-surat Pastoral dan surat-surat Katolik dalam Alkitab).

Satu hal teramat penting yang tidak boleh diabaikan adalah bahwa “eskatologi” fundamentalis ini dipahami oleh orang-orang fundamentalis secara ideologis, karena mereka mengembangkannya terkait dengan “nasib” Negara Israel modern (berdiri 14 Mei 1948) yang mereka dukung sepenuhnya dalam percaturan politik dan militer di Timur Tengah yang melibatkan negara-negara adidaya modern, demi wawasan mereka tentang suatu perang (nuklir) “Armageddon” apokaliptik./17/

Dalam skema “dispensasionalisme” fundamentalis (dari kata latin “dispensatio”, artinya “pembagian” atau “pembabakan”, yakni pembabakan sejarah mulai dari zaman Adam dan Hawa, Nuh, sampai pada akhir zaman dengan “pengangkatan” ke sorga), perang apokaliptik Armageddon akan merupakan peristiwa paling menentukan untuk pengangkatan mereka ke sorga di akhir zaman.

Tampak bahwa fundamentalisme Kristen pada awal berdirinya tidak mengembangkan suatu teologi yang utuh dan sistematis. Lagi pula, mustahil mereka dapat melakukannya mengingat mereka tampil sebagai gerakan reaksioner.

Lima pokok doktrin yang diklaim dan dipertahankan orang-orang fundamentalis sebagai doktrin-doktrin ortodoks yang universal nyatanya lebih banyak bersifat reaktif dan perlawanan, serta ditafsir dalam semangat keagamaan mereka sendiri yang juga tidak lepas dari pengaruh zaman dan kebudayaan di dalam mana mereka hidup.

Fundamentalisme adalah suatu, bukan satu-satunya, bentuk kekristenan di dalam zaman modern yang berpijak pada tradisi dan pengalaman keagamaan tertentu mereka sendiri yang menjadi norma dalam mereka menafsirkan Kitab Suci dan memahami tradisi-tradisi gereja, dengan tujuan untuk melawan segala bentuk modernisme./18/


Yang menjadi tulang punggung gerakan fundamentalis adalah doktrin pramodern mereka tentang Alkitab di tengah-tengah zaman modern; doktrin ini memang ukuran utama untuk mencirikan dan melabelkan fundamentalisme. Tetapi fundamentalisme sebenarnya jauh melebihi itu saja.

Fundamentalisme adalah suatu gerakan yang membangun suatu citra khas mereka sendiri mengenai dunia luar; dunia luar mulai dari zaman Alkitab sampai zaman sekarang. Citra tentang dunia luar yang mereka bangun itu memperlihatkan bahwa mereka tidak memahami seluruh sejarah kekristenan, mulai dari zaman gereja rasuli sampai pada gereja masa kini./19/

Ketika masyarakat Amerika dibanjiri nilai-nilai dan filosofi serta ilmu pengetahuan modern, maka perubahan-perubahan besar terjadi dengan cepat dalam semua bidang kehidupan dan nilai-nilai tradisional bergeser.

Ketimbang memahami dengan sebaik-baiknya modernitas dan menggumuli dengan proaktif peran gereja Kristen di dalamnya, nyatanya mereka serta merta berpaling ke masa lampau, ke dalam kehidupan gereja zaman rasuli untuk mencari pijakan yang “jelas”, “pasti” dan “menjamin jatidiri” mereka. Mengapa?

Karena mereka menganggap nilai-nilai universal yang murni dan abadi dapat ditemukan di situ, di dalam kehidupan umat zaman lampau dan dalam “Injil masa lampau”, dan juga di dalam tradisi-tradisi bapak-bapak gereja dan di dalam gerakan-gerakan evangelikal abad ke-18 dan abad ke-19. Mereka memandang doktrin-doktrin murni, abadi dan universal dari Ortodoksi sudah dirumuskan pada zaman-zaman itu.

Dari sudut filosofis, langkah ini tepat, sebab menunjukkan pengertian bahwa dari dalam sejarah orang dapat menemukan petunjuk-petunjuk untuk kehidupan masa kini. Tetapi, kekeliruan fatal mereka adalah bahwa mereka tidak menyadari (atau tidak mau menyadari dan menerima?) bahwa setiap tanggapan keagamaan apapun dalam suatu zaman tertentu adalah produk zamannya sekalipun ingin mempengaruhi zaman itu.

Untuk mengambil pelajaran dari masa lampau, orang tidak perlu menjadi fundamentalis; tetapi seseorang bisa menjadi fundamentalis ketika dia hanya terpaku pada huruf-huruf tertulis, tanpa menyadari bahwa makna huruf-huruf atau teks-teks diberikan oleh “sistem sosial” di dalam mana teks-teks itu muncul.

Memahami sejarah dengan kritis dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu akan membawa si peneliti pada penemuan keunikan masing-masing peristiwa sejarah yang dihasilkan dari interaksi dan saling pengaruh antar banyak faktor kontemporer.

Pada sisi lain, orang-orang fundamentalis tampil untuk melawan modernitas dan modernisme, tetapi mereka dan pandangan-pandangan mereka juga adalah produk zaman modern atau dihasilkan dari berbagai faktor zaman ini yang berinteraksi. Ini tidak mereka pahami dengan sebaik-baiknya. Mereka anti-modernitas, tetapi makan juga dari modernitas.



Catatan-catatan


/1/ The Fundamentals (Chicago: Testimony Publishing Company, 1910-1915).

/2/ George M. Marsden, “Fundamentalism as an American Phenomenon: A Comparison with English Evangelicalism”, Church History 46 (June 1977) 215, dikutip dalam Ed Dobson, Ed Hindson, Jerry Falwell, The Fundamentalist Phenomenon. The Resurgence of Conservative Christianity (Grand Rapids: Baker Book House, 1986, cetakan 2) 3.

/3/ George M. Marsden, “Defining American Fundamentalism”, Noman J. Cohen (ed), The Fundamentalist Phenomenon (Grand Rapids: Eerdmans, 1990) 22 [22-37].

/4/ Pernyataan ini dikemukakan oleh tokoh-tokoh fundamentalis kontemporer sendiri (1981), di antaranya Jerry Falwell, ketika mengacu kepada Harvey Cox yang menulis buku The Secular City (1965). Lihat Ed Dobson et al., The Fundamentalist Phenomenon, 6. Selain buku itu, ada dua buku Cox lain yang disebut-sebut oleh mereka: The Feast of Fools (1969) dan The Seduction of the Spirit (1973).

/5/ Ed Dobson et al., The Fundamentalist Phenomenon, 3. Cetak miring ditambahkan.

/6/ Teks dikutip oleh Hans Küng (Christianity, 636) dari E.R. Sandeen, The Roots of Fundamentalism. British and American Millenarianism 1800-1930 (Chicago, 1970) 273.

/7/ Pakar fundamentalis masa kini juga melihatnya sebagai “pengakuan iman” seperti nyata dalam pernyataan ini: “Fundamentalists and evangelicals alike hold to a basic belief in the inerrancy of the Scriptures in their original autographs” (Ed Dobson et al., The Fundamentalist Phenomenon, 8). Cetak miring ditambahkan.

/8/ Menurut Jaroslav Pelikan (“Fundamentalism and/or Orthodoxy? Toward an Understanding of the Fundamentalist Phenomenon”, Norman J. Cohen, The Fundamentalist Phenomenon, 8) Ortodoksi Kristen dapat berbicara mengenai “inerransi” Alkitab hanya karena hermeneutiknya peka terhadap “bermacam-macam arti” (sensus plenior) suatu teks alkitabiah; malah pada Abad Pertengahan suatu teks dapat mempunyai empat bahkan tujuh arti.

/9/ Ed Dobson et al., The Fundamentalist Phenomenon, 8, ketika menguraikan doktrin tentang keilahian Yesus (hal. 8-9).

/10/ James Barr, Fundamentalism (Philadelphia: Westminster Press, 1977, 1978), khususnya bab 2, hlm.11-39; juga pakar-pakar lain yang meneliti fundamentalisme: Hans Küng, Christianity, 636-37; Harvey Cox, Religion in the Secular City, 44; Jaroslav Pelikan, “Fundamentalism and/or Orthodoxy?” 6 [3-21]. 

Cohen menyebutnya “articulus fundamentalissimus” dari semua doktrin fundamentalis; Thomas F. O’Meara, Fundamentalism: A Catholic Perspective. A Theologian Looks at the Fundamentalist Challenge Inside and Outside the Catholic Church (New York, New Jersey/Paulist Press, 1990) 14-18. 

Bahkan O’Meara melihat bahwa dalam fundamentalisme firman Allah tidak terletak pada teks Alkitab melainkan pada subjektivitas dan teologi si pengkhotbah/si penginjil fundamentalis sendiri, dan menolak sabda si pengkhotbah atau si penginjil berarti menolak sama sekali semua penyataan atau revelasi Kristiani (hlm.15,17).

/11/ Ed Dobson et al., The Fundamentalist Phenomenon, 10.

/12/ Tentang tahap-
tahap perkembangan kesaksian Alkitab mengenai kebangkitan Yesus, lihat antara lain Thomas Sheehan, “The Resurrection: An Obstacle to Faith?”, The Fourth R vol. 8, no. 2, (March/April 1995) 3-9. Uraian lengkapnya lihat bukunya The First Coming. How the Kingdom of God Became Christianity? ( New York: Random House, 1988).

/13/ James Barr, Fundamentalism, 28.

/14/ Ed Dobson et al., The Fundamentalist Phenomenon, 9.

/15/ James Barr, Fundamentalism, 28.

/16/ Harvey Cox, Religion in the Secular City, 44; Ed Dobson et al., The Fundamentalist Phenomenon, 75-76.

/17/ Tentang “teologi Armageddon” ini, penulis sudah mengulasnya dengan cukup berpanjanglebar terkait dengan apokaliptisisme alkitabiah, lihat Ioanes Rakhmat, “Apokaliptisisme Alkitabiah dan Teologi Armageddon yang Menyesatkan”, dalam Andar Ismail (Peny.), Mulai dari Musa dan Segala Nabi (Jakarta: Gunung Mulia,1996) 45-70. 

Sikap politik fundamentalisme Amerika Utara terhadap Negara Israel Modern kentara sekali dalam ucapan representatif dari Jerry Falwell, “We are Pro-American, which means strong national defense and the State of Israel”; lihat Jerry Falwell, “An Interview with the Lone Ranger of American Fundamentalism”, Christianity Today XXV, 15 (September 4, 1981) 21.

/18/ Pernyataan Billy Graham (seorang evangelikal) bahwa dia “melawan dengan militan segala bentuk modernisme” membuatnya dipandang sebagai seorang fundamentalis oleh orang-orang yang memang fundamentalis. 

Tetapi ketika Billy Graham kedapatan membuka hubungan dengan badan-badan gerejawi ekumenis, dengan orang-orang liberal dan dengan Roma Katolik, orang-orang fundamentalis sangat keberatan dan ini akhirnya menimbulkan perpecahan dalam tubuh mereka sendiri. Lihat Ed Dobson et al., The Fundamentalist Phenomenon, 116-17.

/19/ James Barr, Beyond Fundamentalism (Philadelphia: Westminster Press, 1984) viii, ix.